Tuhan dan Google
![]() |
Googlism |
Nah, muncul pertanyaan yang menggelitik: Apakah agama ini benar-benar mengancam agama konvensional? Atau Gereja Google adalah agama yang benar? Kedua pertanyaan ini mendorong saya untuk menelusur lebih jauh di situs resmi mereka yang beralamat di http://www.thechurchofgoogle.org* . Pada intinya, Gereja Google ini menjadi wadah mereka secara hiperbolis melihat kemampuan mesin pencari buatan Larry Page dan Sergei Bryn ini. Di satu sisi argumentasi ini benar jika kita mencari informasi yang tersimpan di Internet. Diakui ataupun tidak, ilham pembentukan agama ini mirip benar dengan pembentukan Gereja Maradona di Argentina.
Beberapa temuan di situs tersebut cukup mengulas senyum, melihat bagaimana penggiat agama ini merias Gereja Google terlihat laiknya sebuah agama yang sahih. Lihat saja 10 Perintah Google yang menjiplak 10 Perintah Tahun yang tercantum dalam dua log batu yang dibawa oleh Nabi Musa. Lalu, hari peluncuran Google kali pertama di Internet pun dirancang sebagai perayaan Natal khusus mereka.**
Sepintas tidak ada yang perlu dikhawatirkan mengenai Gereja Google ini, mengingat para Googlists, sebutan untuk pengikutnya, belum disebut mencapai jumlah besar. Namun, pengabaian atas kehadirannya bisa menjadi rekaman ulang fenomena Darwinisme pada abad ke-19. Masa di saat agama besar di Eropa justru banyak ditinggalkan pengikutnya. Padahal di masa itu, agama -- khususnya Kristen -- tengah mencapai masa keemasannya yang menggurita sampai tingkat pemerintahan.
Teori yang 'meloncati' agama Kristen?
Fritz Ridenour membuat pengisahan yang gamblang namun ringkas dalam bukunya berjudul (dialih bahasakan menjadi) "Dapatkah Alkitab dipercaya?". Rideneour mengatakan bahwa buku the Origin of Species yang terbit pada tahun 1859 sangat cepat diterima masyrakat pada masa itu. Ini menjadi fenomena yang mencengangkan, mengingat Darwin bukanlah ilmuwan pertama yang mencetuskan teori Evolusi.
Sebelum Darwin, sudah banyak teori-teori evolusi yang telah dianut orang selama ratusan tahun. Teori-teori evolusi telah dianut orang selama ratusan tahun, namun walaupun ada orang-orang yang berusaha menjelaskan bumi ini dengan cara-cara "ilmiah," mereka tidak mampu menciptakan suatu sistem yang betul-betul masuk akal. Demikian Fritz memaparkan lebih jauh.
Ini tercantum dalam kutipan berikut. [Akan tetapi sistem Darwin betul-betul masuk akal bagi banyak orang, terutama pada tahun 1859, suatu masa rasionalisme yang ekstrim dan saat Alkitab diserang secara gencar oleh "para kritikus yang membuat penilaian kritis terhadap Alkitab, yang menolak segala apa yang kodrati."]
Ridenour melanjutkan bahwa abad ke-19 adalah abad skeptisisme dan rasionalisme dan di mana banyak orang siap menerima sepenuhnya teori evolusi organis yang dilancarkan ilmuwan lain yang seangkatan dengan Darwin, yaitu Lamarck dan DeVries. Namun, dari ketiga ini, Darwin lah yang paling berpengaruh. Konsep evolusi dari Darwin, berkembang menjadi evolusionisme, semacam humanisme agama yang menggantikan Tuhan dengan seleksi alami.
Bahkan, George Bernard Shaw, salah seorang dramawan terkemuka sepanjang masa, pernah berkata bahwa teori Darwin memasyarakat ketika dunia sedang "muak" akan pikiran bahwa segala sesuatu itu terjadi karena "tindakan pribadi yang bersifat sewenang-wenang yang mempunyai watak pribadi yang berbahaya, cemburu, dan kejam ...". Inilah sebabnya mengapa banyak orang cepat menerima teori Darwin dan menempatkannya jauh di luar bidang ilmu dan benar-benar membuatnya menjadi sebuah agama.
Gereja Google vs Kristen
Tulisan ini bukan tindak provokasi menjadikan taling tarung argumentasi Gereja Google dan Kristen, seolah arena tinju. Menurut saya, ada baiknya mengambil hikmah dari fenomena baru agama dunia maya ini. Kisah membelotkan agama telah ada sejak zaman bangsa Israel, sebagaimana tertulis di Perjanjian Lama. Satu kisah yang menarik ialah bagaimana himbauan Hakim Gideon justru menjadi perangkap yang menyesatkan bangsa Israel [dapat dirujuk ke Hakim-Hakim 8:24-27]. Segala perhiasan yang dimintanya untuk ditanggalkan dan dijauhi, sebaliknya malah dijadikan berhala.
Kita harus mengakui, kemajuan teknologi kian menisbikan halangan jarak dan waktu di bumi ini. Saya bisa, secara langsung, menyaksikan pernikahan Pangeran Williams dan Putri Katy bermodalkan situs layanan berbagi video, YouTube. Di sisi lain, saya bisa mengetahui jejak rekam seorang teman di Jakarta dari penelusuran di Google. Kiranya, ketergantungan akut akan layanan ini menjadi tidak seimbang dengan dogma-dogma lisan dan tulisan bahwa Tuhan Yang Maha Tahu. Tetapi, ini dibayang-bayangi dengan pertanyaan yang kerap menggelayuti fikiran kita: Benarkah Tuhan Yang Maha Tahu ada? Mengapa saya tidak bisa melihatnya langsung?
Tentang dua pertanyaan terakhir tersebut, ada baiknya kita merujuk pada Kejadian 4:9-10 yang diucapkan pada Kain sesudah ia membunuh adiknya, Habel.
“Firman Tuhan kepada Kain: "Dimana Habel, adikmu itu?" Jawabnya: "Aku tidak tahu! Apakah aku penjaga adikku?"
Firman-Nya:"Apakah yang telah engkau perbuat ini? Darah adikmu itu berteriak kepada-Ku dari tanah"”
Keturunan pertama dari Adam dan Hawa ini, mencoba melarikan diri setelah kasus kriminal pertama di dunia tersebut. Dengan jelas Tuhan berkata: "Darah adikmu, Habel, berteriak hingga ke langit ..." ***
Nah, bagaimana bila kita, saat ini juga, dapat melihat Tuhan Yang Maha Tahu? Sungguh menarik bahwa bangsa Israel yang telah melihat berbagai mukjizat Tuhan ketika dibebaskan dari Mesir justru kerap berpaling berhala buatan manusia. Hal ini semakin ditegaskan Yesus dalam perumpamannya mengenai si pengemis Lazarus dan si orang kaya dalam kitab Lukas 16 :29-30. Dimana Abraham berkata bahwa penampakan ilahi pada keluarganya tidak akan serta merta mengubah pandangan mereka atas keberadaan Tuhan. Petunjuk alkitabiah yang ada sudah lebih dari mencukupi. Kondisi yang tak jauh berbeda mungkin terjadi juga pada masyarakat kita yang kadung terinfeksi nikmat duniawi.
Pendekatan Gereja Google yang dimiripkan dengan agama Kristen, menjadi daya pikat tersendiri bagi generasi muda. Embrio paham-paham bahwa Googlism menunjukkan kasta mereka sebagai pengguna akut layanan Google, tanpa disadari menjadi satu dasar keyakinan iman, kelak. Kini, hal yang musti diperhatikan ialah landasan bijak untuk menyikapi kehadiran Gereja Google ini. Sebagaimana dikatakan Ridenour, persoalan pokok bukanlah Alkitab lawan ilmu. Persoalan pokoknya ialah rasionalisme lawan iman kepada Tuhan yang hidup. Sang Pencipta kita Yang Maha Tahu dan benar-benar ada, sebagaimana disebutkan dalam Mazmur 1152-4.
“Mengapa bangsa-bangsa akan berkata: "Di mana Allah mereka?"
Allah kita di sorga; Ia melakukan apa yang dikehendaki-Nya!
Berhala-berhala mereka adalah perak dan emas, buatan tangan manusia”
Ananta Bangun
Catatan:
* Melihat top level domain (TLD) situs tersebut (.org), saya cenderung melihat Gereja Google masih sebuah organisasi, alih-alih sebuah agama.
** Entah disengaja maupun tidak, 10 Perintah Google menyatakan bahwa Google adalah Tuhan yang berjenis kelamin wanita (She). Namun, tidak ada ditemui kata Goddess atau Dewi dalam situs resmi Gereja Google ini.
*** Masih banyak catatan lain dalam Alkitab yang menyebutkan daya Tuhan sebagai Yang Maha Tahu. Sila ditambahkan jika berkenan.
Literatur:
http://www.googlism.com/about.htm
http://www.thechurchofgoogle.org
“Dapatkah Alkitab Dipercaya?”. Fritz Ridenour. Penerbit BPK Gunung Mulia. 1995. Judul asli: “Who says?”
Atau dapat dibaca secara online di http://books.google.co.id/books?id=xHSN7aC8t_cC&lpg=PA127&pg=PA161#v=onepage&q&f=false
0 komentar:
Posting Komentar