20.30
![]() |
Saya mengajar di kelas. :) |
Kehidupan sebagai manusia tidak
lepas dari angka. Apakah dalam menaksir jumlah keluarga, nomor induk ataupun
mereka-rekanya dalam ramalan. Pun tidak disangkal lambang numeris ini juga erat
dengan penetapan waktu. Namun, bukan ihwal jam/ pukul ataupun kode tanggal/
bulan yang saya tafsirkan dalam judul tulisan ini.
Frase imut ini saya arsir dari
kumpulan cerita pendek “BER3.1.7AN” karya tiga sahabat: Gadis, Kika dan
Vika. Secara lugas, Gadis memaparkan bahwasanya 20.30 merupakan perenungan
mendalam mengenai napaktilas kehidupan hingga penghabisan usia 20-an menuju
usia 30-an. Ataupun paruh baya, sebagaimana diistilahkan masyarakat kita.
Beberapa menit berselang, sejumput tanya tersampir: Apa saja yang telah saya
perbuat?
Fikir saya pun melayang pada kisah
di Alkitab. Mengenai tiga orang hamba yang dititipkan sejumlah modal (dalam
beberapa versi terjemahan disebut sebagai ‘talenta’) oleh juragan mereka. Di
akhirul kisah, hamba terakhir gagal melipatgandakan itu modal laiknya dua hamba
sebelumnya. Si juragan berang dan menghukum si hamba tersebut. Sebuah
perumpamaan menarik mengenai amarah Tuhan bila bakat atawa talenta yang
dianugerahkan tidak kita kita kembangkan.
Selama kurun usia 20 hingga 27
tahun, kehidupan saya tak ubahnya si hamba ke-3. Menjalani kegiatan tak ubahnya
manusia normal lainnya. Kuliah D-III. Lulus. Nganggur. Kuliah ekstensi S 1.
Wisuda. Lalu melamar pekerjaan. Diterima untuk kemudian keluar lagi. Hingga
perubahan terjadi saat diterima mengabdi pada satu perusahaan media maya di
kota Medan ini. Mental dan fisik benar-benar digembleng keras. Teman yang hari
ini duduk berdampingan, esok harinya telah rahib meninggalkan sepucuk pesan
seluler: “Sampai jumpa lagi. Semoga sukses.”
Diam-diam, saya coba menjabani peran
ganda dengan menjadi reporter di sebuah harian. Berhasil mendapat gaji ganda,
tubuh saya pun sukses memberi lampu merah. Divonis gejala thypus dan musti
istirahat seminggu di ‘pulau kapuk’.
Menjelang usia 30 tahun, saya pun
mengalihkan sumber nafkah ke sekolah. Jadi guru. Suatu keputusan yang amat
mungkin dinilai nekad. Tapi, setidaknya, ada sebentuk bungah terpatri dalam
prasasti hati saya.
Pribadi ‘AKAR’
Adalah menulis yang menjembatani
ilham saya untuk berubah dari jalan hidup monoton yang membosankan itu. Adalah
menulis yang mengangkat dagu saya untuk terdorong menyampaikan pendapat. Adalah
menulis jua yang mempertemukan saya dengan sahabat-sahabat dengan prestasi luar
biasa. Baik dari kalangan jurnalis, blogger, pedagang, petani maupun sesama
rekan guru. Pengaruh mereka, dalam kutipan Gadis di kumpulan cerpen tadi,
adalah tahap metamorfosis. Saya berubah. Demikian juga sekeliling saya.
“Bukankah ini seperti penggenapan petuah Pramoedya Ananta Toer: Dengan menulis
kita tidak akan hilang ditelan zaman,” hemat fikir saya, hingga kini.
Saya sendiri meyakini ‘menulis’
adalah pangkur saya dalam menggali pribadi. Nilai ‘berbagi’ dari sesama teman
blogger juga menjadi senter menerawangi penggalian gelap tersebut. Pada satu
kesempatan, saya temukan satu pribadi yang benar menggugah. Ini saya dapati
dalam buku “Raising Drug-Free Children”
buah karya Veronica Colondam. Terima kasih buat Dian Purba atas kesediaannya meminjamkan buku
berisi ‘pribadi akar’ ini. :)
Akar? Ya, benar. Akar yang luruh
dari mata kita ternyata memiliki nilai andil yang menakjubkan. Menarik benar
rasanya, jika diarsir kembali tulisan kolom oleh Paulus Hartanto, Mpsi.
tersebut. Berikut petikannya dari kolom berjudul “Membangun Anak Untuk Tumbuh
Berakar”:
“ … akar itu tidak seindah daun atau
bunga. Ia juga tidak berwarna-warni indah seperti mereka. Namun, ia memiliki
peran yang sangat penting. Ia bisa menunjang batang pohon dengan sangat kuat.
Ia selalu berusaha mencari air dan mineral yang nantinya menjadi asupan bagi
tanaman.
Dijelaskan pula bahwa akar memiliki
dorongan mencari air yang sangat kuat sehingga ia mampu menjebol trotoar untuk
mendekati air di sebuah hidran. Akar juga mampu menyesuaikan dirinya untuk
masuk ke celah-celah kecil mencari air di dalam relung-relung tanah atau
menghadapi kondisi iklim yang berbeda (mengakar pada batu karang di gunung
bersalju). Tapi yang sungguh mengagumkan adalah ia bekerja dalam hening dan
tidak terlihat dari luar.
Sampai di sini terjadilah
pencerahan! Saya menemukan sebuah kebijaksanaan dari akar. Saya dituntun untuk
sampai pada sebuah kesimpulan bahwa manusia sebaiknya meneladani akar. Ada
hal-hal yang sebaiknya ada pada manusia, yang dapat diakronimkan sebagai AKAR,
yaitu Angan-angan, Konsistensi, Adaptif dan Rendah hati. Sebagai manusia, kita
bisa bertumbuh dengan memperhatikan AKAR kita.
Menjawab tanya sebelumnya: Apa yang
telah saya perbuat? Setidaknya, saya telah membuat pilihan dan menemukan satu
pribadi. Karakter. Pilihan untuk berubah dan menyesuaikan diri dengan runtut
zaman. Sebagaimana petuah bijak yang dicatat Gadis: Bertambah usia itu hukum
alam. Bertambah dewasa dan bertambah baik, kita yang menentukan. Bagi yang
membaca tulisan ini, saya sampirkan kembali pertanyaan 20.30 ini. Buat kamu dan
kita.
0 komentar:
Posting Komentar