Tampilkan postingan dengan label SMK Kesehatan Wirahusada Medan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SMK Kesehatan Wirahusada Medan. Tampilkan semua postingan

10 Prinsip Menulis
![]() |
siswi SMK Kes Wirahusada Medan sedang ngeblog |
Kerap mengaku penulis blog
membuat sejumlah karib mengira saya seorang penasihat tulen. Mereka 'curhat'
amat ingin menulis, namun tak menahu panduan yang baik. Hmm, sebenarnya
(menulis) ini tidak beresiko bahaya laiknya belajar berkendara atau berkuda. Sebaliknya,
dengan banyak membuat salah akan menuntun ke tahap penyempurnaan.
Namun ada sebuah petuah
menulis yang baik dari Robert Gunning. Beliau ini merupakan konsultan pada
lebih dari 100 harian, termasuk The Wall Stree t Journal. Saya temukan
panduan bernama 10 Prinsip Menulis ini di bukunya Luwi Iswara
"Catatan-Catatan Jurnalisme Dasar." Meski dibuat kalangan pewarta,
petuahnya Gunning tersebut dapat diterapkan pada pengalaman menulis
sehari-hari. Termasuk blog.
Berikut paparannya:
1. Usahakan agar kalimat rata-rata pendek
Pembaca kita punya jatah
nafas secukupnya guna memahami tiap rajut aksara karya kita. Alokasi nafas
tersebut berarti tingkat keseriusan pembaca. Kian panjang tata kalimat dalam
tulisan semakin besar peluang memicu kebosanan.
Tetapi, batasi kalimat
pendek kamu. Atur variasinya agar pengunjung blog tidak seolah belajar membaca.
Misalkan: Ini Ibu Budi. Budi pergi ke pasar.
Sebagai pembelajaran, sila
kunjungi dan baca blognya Ndoro Kakung (http://ndorokakung.com)
2. Pilih yang sederhana daripada yang kompleks
Sebenarnya Gunning tidak
mendesak harus sederhana. Namun ada baiknya membatasi penjelasan yang
sederhana dan kompleks. Beberapa pengistilahan khusus mungkin perlu diterangkan
secara kompleks. Tetapi, penyajian sederhana untuk ihwal yang jamak adalah
sikap menulis nan bijak.
3. Pilihlah kata-kata yang lazim
Kecuali judul, di dalam
tubuh tulisan lebih baik mengurangi kata-kata yang berbunga-bunga, genit
ataupun rumit. Mengapa judul bisa? Ibarat etalase, judul ialah peluang pertama
bagi pembaca melirik tulisan kamu.
Agak menelikung sedikit,
panduan untuk membuat judul nan menarik dapat diteladani dari tautan berikut
ini.
4. Hindari kata-kata yang tidak perlu
Lagi, menurut Gunning, kerja
keras dalam merajut aksara dapat tercemari kata-kata yang tidak berarti.
Waspadalah! waspadalah, bang Napi menimpali.
5. Beri kekuatan pada kata kerja
Sejatinya kata-kata yang
dituang dalam tulisan memiliki daya tarik tersendiri. Dalam amatan Gunning,
kata kerja aktif memiliki daya lebih besar daripada pasif. Bijaklah menyerasikan
kedua jenis kata kerja tersebut guna melahirkan tulisan yang baik.
6. Tulislah sebagaimana kamu berbicara
Guna mengurangi komunikasi
yang kaku dalam tulisan, coba kamu siasati dengan memaparkannya seolah
berbincang dengan pembaca. Sesuaikan dengan latar usia ataupun profesi mereka.
Sehingga tulisan alay seperti "Cintaq cma qmuh" tidak tersuguh kepada
pengusaha paruh baya.
7. Gunakan istilah yang bisa digambarkan oleh
pembaca
Tidak semua pembaca memiliki
tingkat pengetahuan setara diri kita. Jangan terkecoh dengan tidak menerangkan
istilah khusus seperti: silabus (khasanah pendidikan), eksplorasi
(pertambangan), layout (penerbitan), dan lainnya. Sila kamu cantum sejumput
pengertian agar pembaca mahfum.
8. Hubungkan dengan pengalaman pembaca anda
Sebagaimana tulisan artikel
blog ini. Upayakan "buah" tulisan bermakna dan menyentuh bagi
pengalaman pembaca kamu. Ego manusia tidak bisa dipungkiri menginginkan yang
berfaedah bagi dirinya. Lowongan kerja, tips melamar pacar, kiat memperbaiki kendaraan,
langkah menjadi Asisten Trainer Pujaan adalah secuil dari banyak panduan yang
menolong pembaca kita.
9. Gunakan sepenuhnya variasi
Gunning menilai gaya
penulisan atau style tidak dapat ditiru, bahkan dengan copy-paste
sekalipun. Dalam amatan saya sendiri ini berarti karakter kita dalam merajut aksara.
Pembaca akan rindu dengan gaya tulisan kita yang sejujurnya. Bukan tiruan yang
dipaksakan.
10. Menulislah untuk menyatakan, bukan untuk
mempengaruhi
Petuah Gunning singkat saja:
Jangan menggunakan kata-kata yang muluk. Utamanya, agar pembaca terheran atau
kagum.
Semoga sepuluh petuah di
atas bermanfaat. Selamat menulis!
Tatkala Menulis
Tatkala menulis seisi dunia merasuk hayat. Selaksa pemaknaan tersebut
dipilah hingga mengalir di nadi karya. Tenang kugores tiap aksaranya. Aku tahu agar tidak menahu sekitarku.
Kesadaranku bersandar di pilar kepercayaan diri. Kuacuhkan saja hasil akhirnya.
Yang terpenting aku berbuat. Kegagalan bisa saja tersampir di pundak. Tapi aku
memang ingin jatuh dan gagal. Namun, gagal untuk yang lebih baik lagi.
[foto - Siti Hajar menulis saat Kaderisasi PMR - SMK Kesehatan Wirahusada
Medan]
Saat menapak di tangga perjuangan. Kutemukan aral tak jua henti menghadang.
Aku mengerti. Keberadaannya kan mendewasakan aku. Selalu kunoktahkan setiap
keberhasilan pada orangtua yang mengasihiku. Serta gurat kegagalan di lontar
daun perjalanan. Ayah, Ibu, ada anakmu disini dengan doa bertalu-talu dalam
sanubari. Sesekali menuliskan doa bagimu agar Yang Maha Kuasa melinangkan
berkat rizki atas tiap peluh juangmu.
[foto - Ayu Andira Kembaren menulis saat Kaderisasi PMR - SMK Kesehatan
Wirahusada Medan]
Kadang, kusungging senyum atas hari berlalu tanpa ayah, ibu dan saudaraku
nun jauh di sana. Tak jarang juga aku mengusap isak tanpa mereka. Kuungkapkan
saja semua bunga perasaan tersebut di lembar kertas. Napaktilas yang kulalui.
Sebenarnya, aku tak sendiri. Hanya kerap aku yang menyendiri dalam laut
fikirku. Menyelami ceritera tulisanku sesungguhnya.
[foto - Samriani Siregar menulis saat Kaderisasi PMR - SMK Kesehatan
Wirahusada Medan]
Aku bisa juga kesal. Terhadap dunia, sejarah, atau lika-liku pengatur waktu
tak menentu. Polah-polah yang membuat jengkel. Ah, ada cercah religi yang
membuatku sumringah. Juga kasih keluarga menjadikan ihwal buruk menjadi indah.
Aku hanya perlu menata sudut pandangku. Segala peristiwa atas diriku ternyata
mengandung makna.
[foto Tirfana Sari menulis saat Kaderisasi PMR - SMK Kesehatan Wirahusada
Medan]
Hari telah lengas kini. Kuteduhkan sejenak hayatku bertudungkan alam.
Kehangatan hari meneladani cinta pagi. Selarik puisi tercipta di relung hatiku.
Sembari menanti senja, kutuliskan saja ia. Kualiri nada jujur, seadanya. Tak
kuhiraukan puitis tidaknya tata aksara.
[foto Nadia Ulfa menulis saat Kaderisasi PMR - SMK Kesehatan Wirahusada
Medan]
Lembayung menghampiri. Kemuning ia berselimut kapas awan nan lemah.
Lamat-lamat kumimpikan sejenak sahabat terdekatku, ibu. Aku tak meragu lagi.
Memang ialah penyejuk hati. Karnanya aku mampu berkarya. Ini aku gores selarik
puisi ibu.
[foto Dewi Wulan Sari menulis saat Kaderisasi PMR - SMK Kesehatan
Wirahusada Medan]
Maafkan aku, sahabat. Bulir-bulir huruf ini rumit tuk kurajut menjadi
sepenggal kalimat. Apakah engkau gundah? Lihatlah aku mendendang tawa. Bahagia.
Kesedihan ada juga di lubuk hati. Tetapi, tak kubiarkan ia leluasa menghimpit
anugerah-Nya. Sebab tiap hal memiliki kesusahannya sendiri. Benarkah?
[foto Mesriani menulis saat Kaderisasi PMR - SMK Kesehatan Wirahusada
Medan]
Dan memang kita ditakdirkan bersama dalam jejak hidup ini. Meski, kita
menuliskan perasaan kita terpisah masing-masing. Telah kita tetapkan hati
menautkan asa hingga menjulang ke titik tertinggi angkasa. Menetapkan impian.
Berbuat. Memperjuangkannya dengan sahabat, orangtua, guru dan Tuhan Yang Maha
Esa yang telah mempertemukan kita. Semoga hingga akhir hidup ini.
[foto Santi Siregar, Fransisca dan Dewi Prawati menulis saat Kaderisasi PMR
- SMK Kesehatan Wirahusada Medan]
Teruntuk
Siti Hajar, Ayu Andira Kembaren, Samriani Siregar, Tirfana Sari, Nadia Ulfa,
Dewi Wulan Sari, Mesriani, Santi Siregar, Fransisca dan Dewi Prawati. Kalian
adalah anak-anak yang luar biasa. :)
Tatkala Menulis

Tiang bendera pisa
![]() |
Credit photo: Ananta Bangun |
Saya beri nama demikian mengingat pola tonggaknya.
Miring. Karena mirip dengan menara Pisa di Italia, saya comot saja julukan unik
tersebut. Dan, mungkin bisa menjadi pencuri perhatian tetamu di SMK Kesehatan
Wirahusada Medan. Nama tiang bendera ini sendiri tidak saya tahbiskan dengan
potong tumpeng segala. Cukup diprovokasikan dengan sesama siswa dan guru.
Kebiasaan buruk saya. :)
Sebenarnya, itu bukan kali pertama. Saya bikin heboh
teman-teman guru saat mengaku telah mengajarkan siswa untuk berjudi. "Apaa!!,"
seru mereka. "Sabar. Sabar. Yang saya maksud berjudi adalah 'bersih',
'jujur', dan 'disiplin'." Mereka mendengus bak banteng rodeo. Hehehe. Yang
lainnya? Teranyar, saya mohonkan pada Kepala Sekolah, bapak Mhd. Safar Ginting,
S.Pd agar mengajak sesama pengajar dan staf dalam gerakan Demo BBM. Kembali
mereka terkekeh usai saya jabarin singkatannya (Demo Belajar Blog &
Menulis).
Kembali pada tiang bendera pisa di atas. Posisi
miringnya tersebut disebabkan proses pemindahan secara paksa. Menurut mas
Suroto, yang menangani proyek pemindahan ini, tiang tersebut terpaksa
kehilangan kaki asli dari tempat sebelumnya.Apakah ihwal tersebut bentuk proses
atas tindakan tidak berperiketiangan? Tidak ada jawaban pasti. Namun, arsitek
penggagas menara Pisa mungkin senang mendapati karyanya bisa diterapkan di
Indonesia. Dan, mungkin anda juga saat bertandang ke sekolah kami di Jalan
Bunga Ncole No.100, Kelurahan Kemenangan Tani - Medan Tuntungan.
Tiang bendera pisa

Pak, Tolong Jangan Benci Internet!
![]() |
SMK Kesehatan Wirahusada Medan menyambut MPLIK |
Bagai disengat kalajengking, saya kaget benar tatkala pak Kris menuding kebobrokan tersebut akibat adanya teknologi internet. "Bagaimana ini, pak? Saya ndak mungkin terus-terusan melarang anak bermain internet. Sebenarnya, mereka juga belum laik usia memberdayakan internet," sahutnya dengan suara kalem. Wah, ini ada yang salah.
Tanpa menepikan nilai luhur yang lebih dalam terpendam dari keprihatinan pak Kris, tidak perlu malu mengakui ciri khas orang kita: lekas menyalahkan. Itikad pencaharian akan solusi pun jadi nihil karena menetasnya telur benci. Boleh diperdebatkan pandangan saya ini, bahwa esensi setiap penemuan pada dasarnya demi kebaikan. Namun, sebagaimana ilustrasi 'pisau', pendayagunaannya juga dapat menyimpang.
Satu rilis artikel di laman blog Hongkiat.com dengan gamblang mengupas sisi kelam dari Internet. Pembajakan, pornografi, provokasi, penipuan, perusakan data liwat virus adalah secuil dari selaksa kasus-kasus negatif dari dunia mayantara. Ini kian mencemaskan sebab tersebarnya pengetahuan bobrok tersebut cepat sekali menular sebagaimana virus influenza. Boleh jadi banyak yang lelah dengan temuan tersebut. Termasuk pak Kris. Jadi, ini saatnya membenci internet?
Kembali ke Akar: Kebersamaan, Berbagi
Saya belum selesai mengenai artikel yang mengupas pengaruh internet di artikel milik Hongkiat. Hanya jumlah argumentasinya sedikit njomplang. Melawan sisi kelam yang disebut sebelumnya, Hongkiat cuma menyebut sebiji dampak baiknya — mengasah kreativitas. Menurutnya, internet telah menjadi lahan subur bagi benih kreativitas yang dulu hanya berseliweran di sel abu-abu jenius semisal Mark Zuckerberg.
Ada juga kisah mengharukan tatkala teknologi internet mempertemukan keluarga yang terpisah. Juga mereka yang mendapat jodoh liwat mayantara. Serta gegasnya jangkauan informasi pendidikan, ekonomi, politik atau bahkan bencana alam seperti letusan gunung Sinabung di kabupaten Tanah Karo, Sumatera Utara. Teranyar, pemerintah malah menggenjot pengetahuan mendayagunakan internet melalui Mobil Pusat Layanan Internet Kecamatan (MPLIK). Hal yang cukup membanggakan, Diskominfo Sumut memenuhi permohonan SMK Kesehatan Wirahusada Medan untuk menikmati layanan MPLIK selama 5 hari.
Hulu kerisauan pak Kris hendaknya menyorot porsi penyebaran informasi positif bagi siswa. Tanpa mengenal batasan usianya di sekolah. Menjelajahi internet — yang bagaikan hutan belantara — perlu tuntunan dari sosok yang mereka percaya. Diantaranya ialah orangtua dan guru. Bila diperagakan dan digunakan bersama bakal terbersit sebuah kebersamaan yang haru. Para siswa yang lugu tersebut akan menyukai pengetahuan yang benar membantu mereka memecahkan masalah serta memudahkan tugas mereka.
Patut juga dipertanyakan kini: Ada berapa institusi pendidikan yang giat menyuguhkan internet sehat bagi peserta didik? Bila memang berniat, kita bisa menemukan organisasi kemasyarakatan yang gemar menggelar pelatihan ataupun ceramah ringkas tentang internet sehat. Kebanyakan malah bersedia tidak mendapat honor. Tidak percaya? Coba kontak saja komunitas blogger setempat. Atau langsung saja kepada komunitas Internet Sehat di Jakarta.
Kali permasalahan berikutnya belum ada jembatan di tebing pemahaman diantara generasi guru dan murid. Jembatan tersebut hanya mensyaratkan satu hal: berani berubah/ beradaptasi. Ini sebenarnya sepele. Hanya saja, keengganan berubah/ beradaptasi lebih kerap membesar alih-alih melakukannya demi membenahi diri. Bagaimanapun, menghafal situs resmi model panas lebih lekas dihafal dibandingkan laman pusat pendidikan seperti milik Kementerian Pendidikan Nasional. Padahal, terdapat puluhan artikel, citra serta animasi menarik seputar pelajaran dari tingkat SD, SMP, bahkan SMA/ SMK.
"Menurut saya, tindak menyalahkan hanya jadi lingkaran setan saja, pak Kris. Bapak menyalahkan siswa, siswa menyalahkan sekolah, lalu muncul saling tuding antara sekolah dan orangtua. Dan merembet ke pemerintah segala," jawab saya sekenanya. "Kalau pola pikir ini diubah jadi energi positif, persoalan bapak amat mungkin terjawab sudah."
Kesejukan pun terbit di wajah pak Kris. Saya pun lega untuk melenggang pulang.
"Oh, iya. Pak Ananta, jadi situs apa yang paling banyak dibuka siswa di sekolah ini saat mobil MPLIK datang?" pak Kris bertanya. Saya cengengesan. "Anu pak. Facebook."
"Halah. Ya sudahlah, ndak apa-apa. Asal bukan situs saru."
Medan | 18 Maret 2012
Pak, Tolong Jangan Benci Internet!

Untuk itu, kami ada
![]() |
Saya membawa presentasi di Seminar Menulis Kreatif |
Sejenak saya tuturkan bahwasanya semangat menyelenggarakan seminar menulis tersebut tersulut dari niat dan tanggung jawab sebagai guru. Bahwasanya cara menyampaikan pengetahuan tidak mesti kaku. Jika diperkenankan, saya bernostalgia belajar mengajar a la filsuf-filsuf Yunani dahulu kala. Dimana guru dan murid saling berdiskusi tak hanya di ruang belajar, bahkan di saat makan bersama, berteduh menanti rinai hujan, dan beberapa yang jauh dari suasana belajar. Tak mengherankan bila banyak pemikiran hebat lahir dari negeri 1000 dewa itu.
Lalu mengapa diawali dari menulis? Sebab dari menulis lah karakter kita bisa digali. Tidak setiap orang bisa menjadi penulis terkenal dan kaya. Namun, bukan berarti tidak semua orang bisa menulis. "Jika ada yang berkata demikian, kita potong saja lidahnya," ucap bang Dian Purba yang menjadi pemateri awal dalam seminar ini. Beliau dihadirkan mengingat sejumlah karya tulisnya (mayoritas tulisan opini) dimuat di media skala lokal dan nasional. Karya-karya tulis tersebut tentu bukan langsung turun dari langit. "Ada proses. Harus dibubuhi perjuangan, darah dan air mata," imbuh abang kelahiran Pakkat ini.
Selain karakter, kita juga dapat menarik faedah lainnya. Yang terutama ialah belajar membaca untuk menjadi bahan tulisan. Bang Mangasi Hasibuan, dari Star News Group, juga menandaskan hal ini. Menurutnya, pengetahuan dari buku dan media pelajaran apa pun menjadi mudah diingat usai ditempa menjadi tulisan. "Kalau terus dipraktikkan sendiri, ilmu itu takkan lekang oleh waktu."
"Tentu saja, kita harus sering melatihnya. Tulislah apa yang kita pikirkan dan jangan memikirkan apa yang hendak ditulis," ujar Redaktur Ekonomi di harian Andalas ini. Petuah tersebut, menurut saya, mengena sekali atas kekhawatiran bila membuat kegagalan dalam menulis. Atau hanya menghasilkan tulisan yang jelek. Paradigma berfikir ini sebenarnya cukup dimahfumi -- yang menjadi kelemahan mayoritas orang Indonesia. Banyak yang takut menghadapi kegagalan. Cercaan, tidak percaya, dan (mungkin) dianggap tidak waras adalah imbas negatif yang dianggap menyusul kegagalan.
Jika pertanyaan tersebut diajukan pada Thomas Alva Edison ataupun Colonel Sanders, saya haikul yakin kedua tokoh ini amat menikmati kegagalan. Tidak pernah menamatkan Sekolah Dasar, namun Edison berhasil mematenkan sekira lebih dari 100 penemuan [koreksi saya jika keliru]. Penemuan bola lampu adalah yang membuat namanya masyur -- sebelumnya dia harus menjalani 10083 kali eksperimen gagal untuk teknologi penerang ini. Sanders? Saya ragu ada yang tebal jangat bila proposalnya ditolak 1009 kali. Sanders berhasil melakukannya, dan kini orang Indonesia turut antri membeli kuliner ayam gorengnya di rumah makan Kentucky Fried Chicken atawa KFC.
Maka, mulailah membaca, berdiskusi dan menulis. Sudah menjadi hak kita untuk menggugat ketiga nikmat belajar tersebut. Bapak Kepala Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Kesehatan Wirahusada, Safar Ginting, SPd juga menekankan dorongan serupa. "Sekat-sekat yang membedakan antara siswa dengan guru dan masyarakat luar bukan penghalang untuk mulai belajar. Termasuk belajar menulis," katanya menuturkan. Baik bang Dian, bang Mangasi, pun bapak Safar tahu bahwa menulis tidak akan membuat kita menjadi kaya harta. Adik-adik kami, para peserta seminar dan seluruh siswa, tidak sendiri dalam menghadapi kegagalan. Menjalani lika-liku menggali karakter menulis. Sahabat dan guru kalian berjajar disampingmu. Dan, untuk itulah kami ada.
Akhirul kata saya bubuhkan petuah menggugah dari almarhum Steve Jobs: Stay hungry, stay foolish. Artinya? Sila teman-teman maknakan sendiri. :)
* Foto dokumen milik SMK Kesehatan Wirahusada Medan
Untuk itu, kami ada

Etos tangguh 'negeri matahari terbit'
![]() |
mahasiswa Hikari |
Di
luar sebutan 'Jepang' dan 'Japan', umumnya warga di negara Sakura ini lebih
senang disebut Nippon. Secara hurufiah, lema tersebut berarti negeri asal
matahari terbit. Ini karena lema Nippon atau Nihon berasal dari dua huruf
kanji, yaitu nichi (æ—¥) dan hon (本). Nichi artinya
matahari, dan hon artinya asal. Konon, ini adalah nama yang diberikan oleh
orang-orang Cina. Jepang terletak di sebelah timur Cina, bagi orang Cina letak
Jepang itu di tempat terbitnya matahari. Untuk merampingkan kata, banyak yang
menyebutnya negeri matahari terbit.
Bukan
sebuah kebetulan, bila dalam kunjungan (Kamis, 25/8) ke satu pusat bimbingan
tenaga kerja magang untuk Jepang, Hikari, kami menemui makna yang hampir mirip.
Dalam pintas bincang dengan pimpinannya, Ahmad Kadri, disebutkan bahwa alih
bahasa Hikari ialah 'sinar.' Jika sinar ini bermakna pengharapan, maka sumber
sinar (pengharapan) yang diidamkan ialah di negeri matahari sendiri. Dengan
demikian pas betul rasanya pusat latihan ini memilih namanya.
Hanya
saja, bukan persoalan menjodohkan nama yang menghantar kami ke gedung pelatihan
yang berada di kawasan Universitas Amir Hamzah, Medan, ini. Niat utamanya
menyaksikan langsung metode pelatihan dan suasana belajar mengajarnya. Disambut
suit riuh, mereka menyapa rombongan SMK Kesehatan. Wajar saja karena beberapa
diantaranya ialah delapan siswi dan dua guru wanita; sementara di gedung Hikari
ini memang khusus bagi pengajar dan pelajar pria.
Bapak
Ahmad Kadri mengatakan pihaknya telah lama mengadopsi sistem pelatihan semi
militer. Kedisiplinan dan mental tangguh adalah salah dua dari tiga nilai yang
ditanamkan Hikari. "Selain itu, para pelajar kami juga dibina agar
bersikap jujur -- utamanya jika membuat kesalahan. Diharapkan, dapat
menumbuhkan rasa tanggung jawab atas peran mereka," kata Kadri
menjelaskan.
Menurut
Kadri, yang juga pernah magang di satu perusahaan cat Jepang, negara matahari
terbit itu tidak terlalu menghiraukan pintar tidaknya para pekerja magang dari
negara luar. "Bagi mereka tidak ada yang namanya bodoh. Semua hanya soal
waktu. Analogi sederhananya, jika pelajaran adalah makanan, maka si A bisa
menghabiskan makanan dalam tempo 10 menit. Sementara si B mungkin butuh 15 menit.
Toh, makanan tersebut akan habis."
![]() |
(ki-ka): saya, pak Ahmad K Pulungan, pak Mhd Safar Ginting, dan pak Kadri |
![]() |
Pak Yusri Darma (pengajar Hikari dan SMK Kesehatan Wirahusada) diapit guru serta siswa |
Etos
belajar inilah yang tentunya mendongkrak mutu pendidikan Jepang dalam pengakuan
internasional. Di satu artikel media online Eksposnews ,
disebutkan bahwa sebuah studi tentang pendidikan, Programme for International
Student Assessment (PISA)*, menempatkan murid sekolah di Jepang paling unggul
soal disiplin dan komunikasi yang baik dengan gurunya. Eksposnews sendiri
mengutip peringkat disiplin dari OECD.org, pada Rabu/ 25 Mei 2011 lalu.
Maka
tidak mengherankan jika melihat suasana belajar Hikari juga mencerminkan
suasana belajar yang displin tersebut. Keseluruhan siswa padu memakai setelan
celana hitam dan kemeja putih. Dasi panjang pun tersemat di baju masing-masing
siswa. Di luar ruang kelas, tampak sepatu mereka berjejer rapi memunggungi
dinding. "Dan jangan kaget kalau di ruang kelas si guru diperlakukan bak
seorang raja. Siswa mempersiapkan sendiri bahan mengajar bagi guru dan
menempatkannya kembali ke tempat semula seusai pelajaran," timpal Kadri.
Bapak
Kepala Sekolah SMK Kesehatan Wirahusada, Muhammad Safar Ginting, sebelum
menikmati sajian kopi bersama, telah mengatakan bahwa pihak sekolah juga turut
bersiap mengadopsi metode belajar-mengajar yang disiplin ini. "Bila
kualifikasi siswa -- baik dari faktor ilmu pengetahuan dan mental bekerja --
bisa lulus ke Jepang, saya kira banyak perusahaan yang siap merekrut mereka sepulang
magang."
Kadri
juga kerap menegaskan bahwa disiplin dan mental siap kerja inilah yang harus
menjadi nilai jual sumber daya manusia Indonesia. "Karenanya kita tidak
menghiraukan banyak tidaknya jumlah siswa. Mereka yang gagal menuruti etos
disiplin kita, dipersilakan keluar," ujarnya. Glek! Kopi yang saya seruput
nyaris muncrat.
*
Indonesia menempati peringkat ke-19 untuk survey PISA ini
*** Foto-foto dokumen milik SMK Kesehatan Wirahusada Medan
Etos tangguh 'negeri matahari terbit'

20.30
![]() |
Saya mengajar di kelas. :) |
Kehidupan sebagai manusia tidak
lepas dari angka. Apakah dalam menaksir jumlah keluarga, nomor induk ataupun
mereka-rekanya dalam ramalan. Pun tidak disangkal lambang numeris ini juga erat
dengan penetapan waktu. Namun, bukan ihwal jam/ pukul ataupun kode tanggal/
bulan yang saya tafsirkan dalam judul tulisan ini.
Frase imut ini saya arsir dari
kumpulan cerita pendek “BER3.1.7AN” karya tiga sahabat: Gadis, Kika dan
Vika. Secara lugas, Gadis memaparkan bahwasanya 20.30 merupakan perenungan
mendalam mengenai napaktilas kehidupan hingga penghabisan usia 20-an menuju
usia 30-an. Ataupun paruh baya, sebagaimana diistilahkan masyarakat kita.
Beberapa menit berselang, sejumput tanya tersampir: Apa saja yang telah saya
perbuat?
Fikir saya pun melayang pada kisah
di Alkitab. Mengenai tiga orang hamba yang dititipkan sejumlah modal (dalam
beberapa versi terjemahan disebut sebagai ‘talenta’) oleh juragan mereka. Di
akhirul kisah, hamba terakhir gagal melipatgandakan itu modal laiknya dua hamba
sebelumnya. Si juragan berang dan menghukum si hamba tersebut. Sebuah
perumpamaan menarik mengenai amarah Tuhan bila bakat atawa talenta yang
dianugerahkan tidak kita kita kembangkan.
Selama kurun usia 20 hingga 27
tahun, kehidupan saya tak ubahnya si hamba ke-3. Menjalani kegiatan tak ubahnya
manusia normal lainnya. Kuliah D-III. Lulus. Nganggur. Kuliah ekstensi S 1.
Wisuda. Lalu melamar pekerjaan. Diterima untuk kemudian keluar lagi. Hingga
perubahan terjadi saat diterima mengabdi pada satu perusahaan media maya di
kota Medan ini. Mental dan fisik benar-benar digembleng keras. Teman yang hari
ini duduk berdampingan, esok harinya telah rahib meninggalkan sepucuk pesan
seluler: “Sampai jumpa lagi. Semoga sukses.”
Diam-diam, saya coba menjabani peran
ganda dengan menjadi reporter di sebuah harian. Berhasil mendapat gaji ganda,
tubuh saya pun sukses memberi lampu merah. Divonis gejala thypus dan musti
istirahat seminggu di ‘pulau kapuk’.
Menjelang usia 30 tahun, saya pun
mengalihkan sumber nafkah ke sekolah. Jadi guru. Suatu keputusan yang amat
mungkin dinilai nekad. Tapi, setidaknya, ada sebentuk bungah terpatri dalam
prasasti hati saya.
Pribadi ‘AKAR’
Adalah menulis yang menjembatani
ilham saya untuk berubah dari jalan hidup monoton yang membosankan itu. Adalah
menulis yang mengangkat dagu saya untuk terdorong menyampaikan pendapat. Adalah
menulis jua yang mempertemukan saya dengan sahabat-sahabat dengan prestasi luar
biasa. Baik dari kalangan jurnalis, blogger, pedagang, petani maupun sesama
rekan guru. Pengaruh mereka, dalam kutipan Gadis di kumpulan cerpen tadi,
adalah tahap metamorfosis. Saya berubah. Demikian juga sekeliling saya.
“Bukankah ini seperti penggenapan petuah Pramoedya Ananta Toer: Dengan menulis
kita tidak akan hilang ditelan zaman,” hemat fikir saya, hingga kini.
Saya sendiri meyakini ‘menulis’
adalah pangkur saya dalam menggali pribadi. Nilai ‘berbagi’ dari sesama teman
blogger juga menjadi senter menerawangi penggalian gelap tersebut. Pada satu
kesempatan, saya temukan satu pribadi yang benar menggugah. Ini saya dapati
dalam buku “Raising Drug-Free Children”
buah karya Veronica Colondam. Terima kasih buat Dian Purba atas kesediaannya meminjamkan buku
berisi ‘pribadi akar’ ini. :)
Akar? Ya, benar. Akar yang luruh
dari mata kita ternyata memiliki nilai andil yang menakjubkan. Menarik benar
rasanya, jika diarsir kembali tulisan kolom oleh Paulus Hartanto, Mpsi.
tersebut. Berikut petikannya dari kolom berjudul “Membangun Anak Untuk Tumbuh
Berakar”:
“ … akar itu tidak seindah daun atau
bunga. Ia juga tidak berwarna-warni indah seperti mereka. Namun, ia memiliki
peran yang sangat penting. Ia bisa menunjang batang pohon dengan sangat kuat.
Ia selalu berusaha mencari air dan mineral yang nantinya menjadi asupan bagi
tanaman.
Dijelaskan pula bahwa akar memiliki
dorongan mencari air yang sangat kuat sehingga ia mampu menjebol trotoar untuk
mendekati air di sebuah hidran. Akar juga mampu menyesuaikan dirinya untuk
masuk ke celah-celah kecil mencari air di dalam relung-relung tanah atau
menghadapi kondisi iklim yang berbeda (mengakar pada batu karang di gunung
bersalju). Tapi yang sungguh mengagumkan adalah ia bekerja dalam hening dan
tidak terlihat dari luar.
Sampai di sini terjadilah
pencerahan! Saya menemukan sebuah kebijaksanaan dari akar. Saya dituntun untuk
sampai pada sebuah kesimpulan bahwa manusia sebaiknya meneladani akar. Ada
hal-hal yang sebaiknya ada pada manusia, yang dapat diakronimkan sebagai AKAR,
yaitu Angan-angan, Konsistensi, Adaptif dan Rendah hati. Sebagai manusia, kita
bisa bertumbuh dengan memperhatikan AKAR kita.
Menjawab tanya sebelumnya: Apa yang
telah saya perbuat? Setidaknya, saya telah membuat pilihan dan menemukan satu
pribadi. Karakter. Pilihan untuk berubah dan menyesuaikan diri dengan runtut
zaman. Sebagaimana petuah bijak yang dicatat Gadis: Bertambah usia itu hukum
alam. Bertambah dewasa dan bertambah baik, kita yang menentukan. Bagi yang
membaca tulisan ini, saya sampirkan kembali pertanyaan 20.30 ini. Buat kamu dan
kita.
20.30
Langganan:
Komentar (Atom)