[Latest News][7]

#RumBerdikari
2011
2012
2013
agama
agus sampurno
akronim
alkitab
ananta
ananta bangun
anantabangun.net
antar golong
anti streisand
AT-TIK
bahagia
bahasa indonesia
bangun
barbra streisand
becak
behasa inggris
belajar
Bertom Turnip
berton turnip
blindekuh
blog
blogger sumut
bramma sapta aji
budaya
buku
ceritera
chatting
columbus
dale carnegie
darmadi darmawangsa
diskominfo
djalaluddin pane foundation
download
DPF
e-mail
Einstein
enchanment
endorfin
etika
facebook
farid hardja
fastron blogging challenge
geman
gereja
gerhana bulan
google
googlism
guru
guy kawasaki
haisen
hari ibu
harry van yogya
helda
hikari
ibu
ice break.
ice breaking
ilmu
inspirasi
internet
ira lathief
jenuh
jepang
john holt
kaizen
keepvid
kiat menulis
komitmen
konsentrasi
koran
kristen
labuhanbatu
labusel
langkah
langkah-langkah
m nuh
m-plik
marketing
medan
media
membaca
menteri pendidikan
menulis
meutya hafid
motivasi
mplik
napaktilas
narkoba
ndikkar
ndorokakung
ngoge
normal is boring
opini
orde baru
orde lama
otak
panduan
paroki santa maria
pelatihan
pelatihan TIK
pemasaran
pemekaran
pendidikan
pengetahuan
peramban
pisa
pmi
pmr
politik
powerpoint
presentasi
prokrestus
qaris tajudin
radio
rantauprapat
ras
reformasi
relawan AT-TIK
religi
resensi
resolusi
restoran
sara
schooling
sederhana
sejarah
sekolah
selamat hari guyu
seminar
sharing
sheque
silat
sinar timur
SMK Kesehatan Wirahusada Medan
social media
starnews fm
strategi olah kelompok belajar
streisand
stroke
suku
sumatera utara
sumut
swiss
tcdp
teknologi
tema
the marketeers
thomas friedman
tiang bendera
TIK
tips
ToT
Tuhan
ujian nasional
UN
unduh
unschooling
usia
velangkani
veronica colondam
video
vinsensius
waktu
wanita
wikipedia
wirahusada
youtube
zurich

Ad Section

Tampilkan postingan dengan label SMK Kesehatan Wirahusada Medan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SMK Kesehatan Wirahusada Medan. Tampilkan semua postingan

10 Prinsip Menulis



siswi SMK Kes Wirahusada Medan sedang ngeblog
Kerap mengaku penulis blog membuat sejumlah karib mengira saya seorang penasihat tulen. Mereka 'curhat' amat ingin menulis, namun tak menahu panduan yang baik. Hmm, sebenarnya (menulis) ini tidak beresiko bahaya laiknya belajar berkendara atau berkuda. Sebaliknya, dengan banyak membuat salah akan menuntun ke tahap penyempurnaan.

Namun ada sebuah petuah menulis yang baik dari Robert Gunning. Beliau ini merupakan konsultan pada lebih dari 100 harian, termasuk The Wall Stree t Journal. Saya temukan panduan bernama 10 Prinsip Menulis ini di bukunya Luwi Iswara "Catatan-Catatan Jurnalisme Dasar." Meski dibuat kalangan pewarta, petuahnya Gunning tersebut dapat diterapkan pada pengalaman menulis sehari-hari. Termasuk blog.

Berikut paparannya:

1. Usahakan agar kalimat rata-rata pendek
Pembaca kita punya jatah nafas secukupnya guna memahami tiap rajut aksara karya kita. Alokasi nafas tersebut berarti tingkat keseriusan pembaca. Kian panjang tata kalimat dalam tulisan semakin besar peluang memicu kebosanan.

Tetapi, batasi kalimat pendek kamu. Atur variasinya agar pengunjung blog tidak seolah belajar membaca. Misalkan: Ini Ibu Budi. Budi pergi ke pasar.
Sebagai pembelajaran, sila kunjungi dan baca blognya Ndoro Kakung (http://ndorokakung.com)

2. Pilih yang sederhana daripada yang kompleks
Sebenarnya Gunning tidak mendesak harus sederhana. Namun ada baiknya membatasi penjelasan yang sederhana dan kompleks. Beberapa pengistilahan khusus mungkin perlu diterangkan secara kompleks. Tetapi, penyajian sederhana untuk ihwal yang jamak adalah sikap menulis nan bijak.

3. Pilihlah kata-kata yang lazim
Kecuali judul, di dalam tubuh tulisan lebih baik mengurangi kata-kata yang berbunga-bunga, genit ataupun rumit. Mengapa judul bisa? Ibarat etalase, judul ialah peluang pertama bagi pembaca melirik tulisan kamu.

Agak menelikung sedikit, panduan untuk membuat judul nan menarik dapat diteladani dari tautan berikut ini.

4. Hindari kata-kata yang tidak perlu
Lagi, menurut Gunning, kerja keras dalam merajut aksara dapat tercemari kata-kata yang tidak berarti. Waspadalah! waspadalah, bang Napi menimpali.

5. Beri kekuatan pada kata kerja
Sejatinya kata-kata yang dituang dalam tulisan memiliki daya tarik tersendiri. Dalam amatan Gunning, kata kerja aktif memiliki daya lebih besar daripada pasif. Bijaklah menyerasikan kedua jenis kata kerja tersebut guna melahirkan tulisan yang baik.

6. Tulislah sebagaimana kamu berbicara
Guna mengurangi komunikasi yang kaku dalam tulisan, coba kamu siasati dengan memaparkannya seolah berbincang dengan pembaca. Sesuaikan dengan latar usia ataupun profesi mereka. Sehingga tulisan alay seperti "Cintaq cma qmuh" tidak tersuguh kepada pengusaha paruh baya.

7. Gunakan istilah yang bisa digambarkan oleh pembaca
Tidak semua pembaca memiliki tingkat pengetahuan setara diri kita. Jangan terkecoh dengan tidak menerangkan istilah khusus seperti: silabus (khasanah pendidikan), eksplorasi (pertambangan), layout (penerbitan), dan lainnya. Sila kamu cantum sejumput pengertian agar pembaca mahfum.

8. Hubungkan dengan pengalaman pembaca anda
Sebagaimana tulisan artikel blog ini. Upayakan "buah" tulisan bermakna dan menyentuh bagi pengalaman pembaca kamu. Ego manusia tidak bisa dipungkiri menginginkan yang berfaedah bagi dirinya. Lowongan kerja, tips melamar pacar, kiat memperbaiki kendaraan, langkah menjadi Asisten Trainer Pujaan adalah secuil dari banyak panduan yang menolong pembaca kita.

9. Gunakan sepenuhnya variasi
Gunning menilai gaya penulisan atau style tidak dapat ditiru, bahkan dengan copy-paste sekalipun. Dalam amatan saya sendiri ini berarti karakter kita dalam merajut aksara. Pembaca akan rindu dengan gaya tulisan kita yang sejujurnya. Bukan tiruan yang dipaksakan.

10. Menulislah untuk menyatakan, bukan untuk mempengaruhi
Petuah Gunning singkat saja: Jangan menggunakan kata-kata yang muluk. Utamanya, agar pembaca terheran atau kagum.

Semoga sepuluh petuah di atas bermanfaat. Selamat menulis!

10 Prinsip Menulis

Tatkala Menulis

Tatkala menulis seisi dunia merasuk hayat. Selaksa pemaknaan tersebut dipilah hingga mengalir di nadi karya. Tenang kugores tiap aksaranya.  Aku tahu agar tidak menahu sekitarku. Kesadaranku bersandar di pilar kepercayaan diri. Kuacuhkan saja hasil akhirnya. Yang terpenting aku berbuat. Kegagalan bisa saja tersampir di pundak. Tapi aku memang ingin jatuh dan gagal. Namun, gagal untuk yang lebih baik lagi.

 [foto - Siti Hajar menulis saat Kaderisasi PMR - SMK Kesehatan Wirahusada Medan]

Saat menapak di tangga perjuangan. Kutemukan aral tak jua henti menghadang. Aku mengerti. Keberadaannya kan mendewasakan aku. Selalu kunoktahkan setiap keberhasilan pada orangtua yang mengasihiku. Serta gurat kegagalan di lontar daun perjalanan. Ayah, Ibu, ada anakmu disini dengan doa bertalu-talu dalam sanubari. Sesekali menuliskan doa bagimu agar Yang Maha Kuasa melinangkan berkat rizki atas tiap peluh juangmu.

 [foto - Ayu Andira Kembaren menulis saat Kaderisasi PMR - SMK Kesehatan Wirahusada Medan]

Kadang, kusungging senyum atas hari berlalu tanpa ayah, ibu dan saudaraku nun jauh di sana. Tak jarang juga aku mengusap isak tanpa mereka. Kuungkapkan saja semua bunga perasaan tersebut di lembar kertas. Napaktilas yang kulalui. Sebenarnya, aku tak sendiri. Hanya kerap aku yang menyendiri dalam laut fikirku. Menyelami ceritera tulisanku sesungguhnya.

 [foto - Samriani Siregar menulis saat Kaderisasi PMR - SMK Kesehatan Wirahusada Medan]

Aku bisa juga kesal. Terhadap dunia, sejarah, atau lika-liku pengatur waktu tak menentu. Polah-polah yang membuat jengkel. Ah, ada cercah religi yang membuatku sumringah. Juga kasih keluarga menjadikan ihwal buruk menjadi indah. Aku hanya perlu menata sudut pandangku. Segala peristiwa atas diriku ternyata mengandung makna.

 [foto Tirfana Sari menulis saat Kaderisasi PMR - SMK Kesehatan Wirahusada Medan]

Hari telah lengas kini. Kuteduhkan sejenak hayatku bertudungkan alam. Kehangatan hari meneladani cinta pagi. Selarik puisi tercipta di relung hatiku. Sembari menanti senja, kutuliskan saja ia. Kualiri nada jujur, seadanya. Tak kuhiraukan puitis tidaknya tata aksara.

 [foto Nadia Ulfa menulis saat Kaderisasi PMR - SMK Kesehatan Wirahusada Medan]

Lembayung menghampiri. Kemuning ia berselimut kapas awan nan lemah. Lamat-lamat kumimpikan sejenak sahabat terdekatku, ibu. Aku tak meragu lagi. Memang ialah penyejuk hati. Karnanya aku mampu berkarya. Ini aku gores selarik puisi ibu.

 [foto Dewi Wulan Sari menulis saat Kaderisasi PMR - SMK Kesehatan Wirahusada Medan]

Maafkan aku, sahabat. Bulir-bulir huruf ini rumit tuk kurajut menjadi sepenggal kalimat. Apakah engkau gundah? Lihatlah aku mendendang tawa. Bahagia. Kesedihan ada juga di lubuk hati. Tetapi, tak kubiarkan ia leluasa menghimpit anugerah-Nya. Sebab tiap hal memiliki kesusahannya sendiri. Benarkah?

 [foto Mesriani menulis saat Kaderisasi PMR - SMK Kesehatan Wirahusada Medan]

Dan memang kita ditakdirkan bersama dalam jejak hidup ini. Meski, kita menuliskan perasaan kita terpisah masing-masing. Telah kita tetapkan hati menautkan asa hingga menjulang ke titik tertinggi angkasa. Menetapkan impian. Berbuat. Memperjuangkannya dengan sahabat, orangtua, guru dan Tuhan Yang Maha Esa yang telah mempertemukan kita. Semoga hingga akhir hidup ini.


[foto Santi Siregar, Fransisca dan Dewi Prawati menulis saat Kaderisasi PMR - SMK Kesehatan Wirahusada Medan]


Teruntuk Siti Hajar, Ayu Andira Kembaren, Samriani Siregar, Tirfana Sari, Nadia Ulfa, Dewi Wulan Sari, Mesriani, Santi Siregar, Fransisca dan Dewi Prawati. Kalian adalah anak-anak yang luar biasa. :)

Tatkala Menulis

Tiang bendera pisa

Credit photo: Ananta Bangun
Saya beri nama demikian mengingat pola tonggaknya. Miring. Karena mirip dengan menara Pisa di Italia, saya comot saja julukan unik tersebut. Dan, mungkin bisa menjadi pencuri perhatian tetamu di SMK Kesehatan Wirahusada Medan. Nama tiang bendera ini sendiri tidak saya tahbiskan dengan potong tumpeng segala. Cukup diprovokasikan dengan sesama siswa dan guru. Kebiasaan buruk saya. :)

Sebenarnya, itu bukan kali pertama. Saya bikin heboh teman-teman guru saat mengaku telah mengajarkan siswa untuk berjudi. "Apaa!!," seru mereka. "Sabar. Sabar. Yang saya maksud berjudi adalah 'bersih', 'jujur', dan 'disiplin'." Mereka mendengus bak banteng rodeo. Hehehe. Yang lainnya? Teranyar, saya mohonkan pada Kepala Sekolah, bapak Mhd. Safar Ginting, S.Pd agar mengajak sesama pengajar dan staf dalam gerakan Demo BBM. Kembali mereka terkekeh usai saya jabarin singkatannya (Demo Belajar Blog & Menulis).

Kembali pada tiang bendera pisa di atas. Posisi miringnya tersebut disebabkan proses pemindahan secara paksa. Menurut mas Suroto, yang menangani proyek pemindahan ini, tiang tersebut terpaksa kehilangan kaki asli dari tempat sebelumnya.Apakah ihwal tersebut bentuk proses atas tindakan tidak berperiketiangan? Tidak ada jawaban pasti. Namun, arsitek penggagas menara Pisa mungkin senang mendapati karyanya bisa diterapkan di Indonesia. Dan, mungkin anda juga saat bertandang ke sekolah kami di Jalan Bunga Ncole No.100, Kelurahan Kemenangan Tani - Medan Tuntungan.

Tiang bendera pisa

Pak, Tolong Jangan Benci Internet!

SMK Kesehatan Wirahusada Medan menyambut MPLIK
Nama beliau, bapak Kristian Alexander. Kebetulan bekerja satu atap dengan saya sebagai guru agama. Siang yang sejuk di Sabtu kemarin tak menyaput kerisauannya. Ia misuh-misuh. "Saya ngeri lihat anak zaman sekarang, pak. Bukannya serius belajar, mereka malah terjerumus ke dunia kelam internet," sebut bapak yang juga mengajar di satu Sekolah Dasar (SD). "Mereka itu masih kecil-kecil, lho. Tapi, sepertinya sudah jamak dengan alamat situs saru." Saya turut prihatin. Sebagai penawar, saya sodorkan satu botol plastik minuman mineral.

Bagai disengat kalajengking, saya kaget benar tatkala pak Kris menuding kebobrokan tersebut akibat adanya teknologi internet. "Bagaimana ini, pak? Saya ndak mungkin terus-terusan melarang anak bermain internet. Sebenarnya, mereka juga belum laik usia memberdayakan internet," sahutnya dengan suara kalem. Wah, ini ada yang salah.

Tanpa menepikan nilai luhur yang lebih dalam terpendam dari keprihatinan pak Kris, tidak perlu malu mengakui ciri khas orang kita: lekas menyalahkan. Itikad pencaharian akan solusi pun jadi nihil karena menetasnya telur benci. Boleh diperdebatkan pandangan saya ini, bahwa esensi setiap penemuan pada dasarnya demi kebaikan. Namun,  sebagaimana ilustrasi 'pisau', pendayagunaannya juga dapat menyimpang.

Satu rilis artikel di laman blog Hongkiat.com dengan gamblang mengupas sisi kelam dari Internet. Pembajakan, pornografi, provokasi, penipuan, perusakan data liwat virus adalah secuil dari selaksa kasus-kasus negatif dari dunia mayantara. Ini kian mencemaskan sebab tersebarnya pengetahuan bobrok tersebut cepat sekali menular sebagaimana virus influenza. Boleh jadi banyak yang lelah dengan temuan tersebut. Termasuk pak Kris. Jadi, ini saatnya membenci internet?


Kembali ke Akar: Kebersamaan, Berbagi
Saya belum selesai mengenai artikel yang mengupas pengaruh internet di artikel milik Hongkiat. Hanya jumlah argumentasinya sedikit njomplang. Melawan sisi kelam yang disebut sebelumnya, Hongkiat cuma menyebut sebiji dampak baiknya — mengasah kreativitas. Menurutnya, internet telah menjadi lahan subur bagi benih kreativitas yang dulu hanya berseliweran di sel abu-abu jenius semisal Mark Zuckerberg.

Ada juga kisah mengharukan tatkala teknologi internet mempertemukan keluarga yang terpisah. Juga mereka yang mendapat jodoh liwat mayantara. Serta gegasnya jangkauan informasi pendidikan, ekonomi, politik atau bahkan bencana alam seperti letusan gunung Sinabung di kabupaten Tanah Karo, Sumatera Utara. Teranyar, pemerintah malah menggenjot pengetahuan mendayagunakan internet melalui Mobil Pusat Layanan Internet Kecamatan (MPLIK). Hal yang cukup membanggakan, Diskominfo Sumut memenuhi permohonan SMK Kesehatan Wirahusada Medan untuk menikmati layanan MPLIK selama 5 hari.

Hulu kerisauan pak Kris hendaknya menyorot porsi penyebaran informasi positif bagi siswa. Tanpa mengenal batasan usianya di sekolah. Menjelajahi internet — yang bagaikan hutan belantara — perlu tuntunan dari sosok yang mereka percaya. Diantaranya ialah orangtua dan guru. Bila diperagakan dan digunakan bersama bakal terbersit sebuah kebersamaan yang haru. Para siswa yang lugu tersebut akan menyukai pengetahuan yang benar membantu mereka memecahkan masalah serta memudahkan tugas mereka.

Patut juga dipertanyakan kini: Ada berapa institusi pendidikan yang giat menyuguhkan internet sehat bagi peserta didik? Bila memang berniat, kita bisa menemukan organisasi kemasyarakatan yang gemar menggelar pelatihan ataupun ceramah ringkas tentang internet sehat. Kebanyakan malah bersedia tidak mendapat honor. Tidak percaya? Coba kontak saja komunitas blogger setempat. Atau langsung saja kepada komunitas Internet Sehat di Jakarta.

Kali permasalahan berikutnya belum ada jembatan di tebing pemahaman diantara generasi guru dan murid. Jembatan tersebut hanya mensyaratkan satu hal: berani berubah/ beradaptasi. Ini sebenarnya sepele. Hanya saja, keengganan berubah/ beradaptasi lebih kerap membesar alih-alih melakukannya demi membenahi diri. Bagaimanapun, menghafal situs resmi model panas lebih lekas dihafal dibandingkan laman pusat pendidikan seperti milik Kementerian Pendidikan Nasional. Padahal, terdapat puluhan artikel, citra serta animasi menarik seputar pelajaran dari tingkat SD, SMP, bahkan SMA/ SMK.

"Menurut saya, tindak menyalahkan hanya jadi lingkaran setan saja, pak Kris. Bapak menyalahkan siswa, siswa menyalahkan sekolah, lalu muncul saling tuding antara sekolah dan orangtua. Dan merembet ke pemerintah segala," jawab saya sekenanya. "Kalau pola pikir ini diubah jadi energi positif, persoalan bapak amat mungkin terjawab sudah."

Kesejukan pun terbit di wajah pak Kris. Saya pun lega untuk melenggang pulang.

"Oh, iya. Pak Ananta, jadi situs apa yang paling banyak dibuka siswa di sekolah ini saat mobil MPLIK datang?" pak Kris bertanya. Saya cengengesan. "Anu pak. Facebook."

"Halah. Ya sudahlah, ndak apa-apa. Asal bukan situs saru."

 Medan | 18 Maret 2012

Pak, Tolong Jangan Benci Internet!

Untuk itu, kami ada

Saya membawa presentasi di Seminar Menulis Kreatif
Parafrase di atas, saya tuturkan sebagai jawaban bagi peserta "Seminar Menulis Kreatif" yang digelar pada 2 Oktober 2011 lalu. Pertanyaannya sederhana. Mengenai kiat dan upaya untuk mempublikasikan karya tulisnya. Mungkin terdengar muluk seorang penulis muda. Tidak tanggung-tanggung, karya tulis milik peserta (bernama Ahmat Randuk Siregar) ini telah membuahkan tiga buah novel. "Namun, dua diantaranya masih belum rampung dituliskan," tutur Randuk dengan binar mata menyiratkan bangga.

Sejenak saya tuturkan bahwasanya semangat menyelenggarakan seminar menulis tersebut tersulut dari niat dan tanggung jawab sebagai guru. Bahwasanya cara menyampaikan pengetahuan tidak mesti kaku. Jika diperkenankan, saya bernostalgia belajar mengajar a la filsuf-filsuf Yunani dahulu kala. Dimana guru dan murid saling berdiskusi tak hanya di ruang belajar, bahkan di saat makan bersama, berteduh menanti rinai hujan, dan beberapa yang jauh dari suasana belajar. Tak mengherankan bila banyak pemikiran hebat lahir dari negeri 1000 dewa itu.

Lalu mengapa diawali dari menulis? Sebab dari menulis lah karakter kita bisa digali. Tidak setiap orang bisa menjadi penulis terkenal dan kaya. Namun, bukan berarti tidak semua orang bisa menulis. "Jika ada yang berkata demikian, kita potong saja lidahnya," ucap bang Dian Purba yang menjadi pemateri awal dalam seminar ini. Beliau dihadirkan mengingat sejumlah karya tulisnya (mayoritas tulisan opini) dimuat di media skala lokal dan nasional. Karya-karya tulis tersebut tentu bukan langsung turun dari langit. "Ada proses. Harus dibubuhi perjuangan, darah dan air mata," imbuh abang kelahiran Pakkat ini.

Selain karakter, kita juga dapat menarik faedah lainnya. Yang terutama ialah belajar membaca untuk menjadi bahan tulisan. Bang Mangasi Hasibuan, dari Star News Group, juga menandaskan hal ini. Menurutnya, pengetahuan dari buku dan media pelajaran apa pun menjadi mudah diingat usai ditempa menjadi tulisan. "Kalau terus dipraktikkan sendiri, ilmu itu takkan lekang oleh waktu."

"Tentu saja, kita harus sering melatihnya. Tulislah apa yang kita pikirkan dan jangan memikirkan apa yang hendak ditulis," ujar Redaktur Ekonomi di harian Andalas ini. Petuah tersebut, menurut saya, mengena sekali atas kekhawatiran bila membuat kegagalan dalam menulis. Atau hanya menghasilkan tulisan yang jelek. Paradigma berfikir ini sebenarnya cukup dimahfumi -- yang menjadi kelemahan mayoritas orang Indonesia. Banyak yang takut menghadapi kegagalan. Cercaan, tidak percaya, dan (mungkin) dianggap tidak waras adalah imbas negatif yang dianggap menyusul kegagalan.

Jika pertanyaan tersebut diajukan pada Thomas Alva Edison ataupun Colonel Sanders, saya haikul yakin kedua tokoh ini amat menikmati kegagalan. Tidak pernah menamatkan Sekolah Dasar, namun Edison berhasil mematenkan sekira lebih dari 100 penemuan [koreksi saya jika keliru]. Penemuan bola lampu adalah yang membuat namanya masyur -- sebelumnya dia harus menjalani 10083 kali eksperimen gagal untuk teknologi penerang ini. Sanders? Saya ragu ada yang tebal jangat bila proposalnya ditolak 1009 kali. Sanders berhasil melakukannya, dan kini orang Indonesia turut antri membeli kuliner ayam gorengnya di rumah makan Kentucky Fried Chicken atawa KFC.

Maka, mulailah membaca, berdiskusi dan menulis. Sudah menjadi hak kita untuk menggugat ketiga nikmat belajar tersebut. Bapak Kepala Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Kesehatan Wirahusada, Safar Ginting, SPd juga menekankan dorongan serupa. "Sekat-sekat yang membedakan antara siswa dengan guru dan masyarakat luar bukan penghalang untuk mulai belajar. Termasuk belajar menulis," katanya menuturkan. Baik bang Dian, bang Mangasi, pun bapak Safar tahu bahwa menulis tidak akan membuat kita menjadi kaya harta. Adik-adik kami, para peserta seminar dan seluruh siswa, tidak sendiri dalam menghadapi kegagalan. Menjalani lika-liku menggali karakter menulis. Sahabat dan guru kalian berjajar disampingmu. Dan, untuk itulah kami ada.

Akhirul kata saya bubuhkan petuah menggugah dari almarhum Steve Jobs: Stay hungry, stay foolish. Artinya? Sila teman-teman maknakan sendiri. :)


* Foto dokumen milik SMK Kesehatan Wirahusada Medan

Untuk itu, kami ada

Etos tangguh 'negeri matahari terbit'

mahasiswa Hikari
Di luar sebutan 'Jepang' dan 'Japan', umumnya warga di negara Sakura ini lebih senang disebut Nippon. Secara hurufiah, lema tersebut berarti negeri asal matahari terbit. Ini karena lema Nippon atau Nihon berasal dari dua huruf kanji, yaitu nichi (æ—¥) dan hon (本). Nichi artinya matahari, dan hon artinya asal. Konon, ini adalah nama yang diberikan oleh orang-orang Cina. Jepang terletak di sebelah timur Cina, bagi orang Cina letak Jepang itu di tempat terbitnya matahari. Untuk merampingkan kata, banyak yang menyebutnya negeri matahari terbit.

Bukan sebuah kebetulan, bila dalam kunjungan (Kamis, 25/8) ke satu pusat bimbingan tenaga kerja magang untuk Jepang, Hikari, kami menemui makna yang hampir mirip. Dalam pintas bincang dengan pimpinannya, Ahmad Kadri, disebutkan bahwa alih bahasa Hikari ialah 'sinar.' Jika sinar ini bermakna pengharapan, maka sumber sinar (pengharapan) yang diidamkan ialah di negeri matahari sendiri. Dengan demikian pas betul rasanya pusat latihan ini memilih namanya.

Hanya saja, bukan persoalan menjodohkan nama yang menghantar kami ke gedung pelatihan yang berada di kawasan Universitas Amir Hamzah, Medan, ini. Niat utamanya menyaksikan langsung metode pelatihan dan suasana belajar mengajarnya. Disambut suit riuh, mereka menyapa rombongan SMK Kesehatan. Wajar saja karena beberapa diantaranya ialah delapan siswi dan dua guru wanita; sementara di gedung Hikari ini memang khusus bagi pengajar dan pelajar pria.

Bapak Ahmad Kadri mengatakan pihaknya telah lama mengadopsi sistem pelatihan semi militer. Kedisiplinan dan mental tangguh adalah salah dua dari tiga nilai yang ditanamkan Hikari. "Selain itu, para pelajar kami juga dibina agar bersikap jujur -- utamanya jika membuat kesalahan. Diharapkan, dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab atas peran mereka," kata Kadri menjelaskan.

Menurut Kadri, yang juga pernah magang di satu perusahaan cat Jepang, negara matahari terbit itu tidak terlalu menghiraukan pintar tidaknya para pekerja magang dari negara luar. "Bagi mereka tidak ada yang namanya bodoh. Semua hanya soal waktu. Analogi sederhananya, jika pelajaran adalah makanan, maka si A bisa menghabiskan makanan dalam tempo 10 menit. Sementara si B mungkin butuh 15 menit. Toh, makanan tersebut akan habis."

(ki-ka): saya, pak Ahmad K Pulungan, pak Mhd Safar Ginting, dan pak Kadri
Pak Yusri Darma (pengajar Hikari dan SMK Kesehatan Wirahusada) diapit guru serta siswa
Etos belajar inilah yang tentunya mendongkrak mutu pendidikan Jepang dalam pengakuan internasional. Di satu artikel media online Eksposnews , disebutkan bahwa sebuah studi tentang pendidikan, Programme for International Student Assessment (PISA)*, menempatkan murid sekolah di Jepang paling unggul soal disiplin dan komunikasi yang baik dengan gurunya. Eksposnews sendiri mengutip peringkat disiplin dari OECD.org, pada Rabu/ 25 Mei 2011 lalu.

Maka tidak mengherankan jika melihat suasana belajar Hikari juga mencerminkan suasana belajar yang displin tersebut. Keseluruhan siswa padu memakai setelan celana hitam dan kemeja putih. Dasi panjang pun tersemat di baju masing-masing siswa. Di luar ruang kelas, tampak sepatu mereka berjejer rapi memunggungi dinding. "Dan jangan kaget kalau di ruang kelas si guru diperlakukan bak seorang raja. Siswa mempersiapkan sendiri bahan mengajar bagi guru dan menempatkannya kembali ke tempat semula seusai pelajaran," timpal Kadri.

Bapak Kepala Sekolah SMK Kesehatan Wirahusada, Muhammad Safar Ginting, sebelum menikmati sajian kopi bersama, telah mengatakan bahwa pihak sekolah juga turut bersiap mengadopsi metode belajar-mengajar yang disiplin ini. "Bila kualifikasi siswa -- baik dari faktor ilmu pengetahuan dan mental bekerja -- bisa lulus ke Jepang, saya kira banyak perusahaan yang siap merekrut mereka sepulang magang."

Kadri juga kerap menegaskan bahwa disiplin dan mental siap kerja inilah yang harus menjadi nilai jual sumber daya manusia Indonesia. "Karenanya kita tidak menghiraukan banyak tidaknya jumlah siswa. Mereka yang gagal menuruti etos disiplin kita, dipersilakan keluar," ujarnya. Glek! Kopi yang saya seruput nyaris muncrat.

* Indonesia menempati peringkat ke-19 untuk survey PISA ini

** Dipampang di mading Sekolah SMK Kesehatan Wirahusada Medan pada 26 Agustus 2011 lalu. Kini telah diarsipkan di berkas PKS Humas.

*** Foto-foto dokumen milik SMK Kesehatan Wirahusada Medan 

Etos tangguh 'negeri matahari terbit'

20.30

Saya mengajar di kelas. :)
Kehidupan sebagai manusia tidak lepas dari angka. Apakah dalam menaksir jumlah keluarga, nomor induk ataupun mereka-rekanya dalam ramalan. Pun tidak disangkal lambang numeris ini juga erat dengan penetapan waktu. Namun, bukan ihwal jam/ pukul ataupun kode tanggal/ bulan yang saya tafsirkan dalam judul tulisan ini. 

Frase imut ini saya arsir dari kumpulan cerita pendek “BER3.1.7AN” karya tiga sahabat: Gadis, Kika dan Vika. Secara lugas, Gadis memaparkan bahwasanya 20.30 merupakan perenungan mendalam mengenai napaktilas kehidupan hingga penghabisan usia 20-an menuju usia 30-an. Ataupun paruh baya, sebagaimana diistilahkan masyarakat kita. Beberapa menit berselang, sejumput tanya tersampir: Apa saja yang telah saya perbuat? 

Fikir saya pun melayang pada kisah di Alkitab. Mengenai tiga orang hamba yang dititipkan sejumlah modal (dalam beberapa versi terjemahan disebut sebagai ‘talenta’) oleh juragan mereka. Di akhirul kisah, hamba terakhir gagal melipatgandakan itu modal laiknya dua hamba sebelumnya. Si juragan berang dan menghukum si hamba tersebut. Sebuah perumpamaan menarik mengenai amarah Tuhan bila bakat atawa talenta yang dianugerahkan tidak kita kita kembangkan. 

Selama kurun usia 20 hingga 27 tahun, kehidupan saya tak ubahnya si hamba ke-3. Menjalani kegiatan tak ubahnya manusia normal lainnya. Kuliah D-III. Lulus. Nganggur. Kuliah ekstensi S 1. Wisuda. Lalu melamar pekerjaan. Diterima untuk kemudian keluar lagi. Hingga perubahan terjadi saat diterima mengabdi pada satu perusahaan media maya di kota Medan ini. Mental dan fisik benar-benar digembleng keras. Teman yang hari ini duduk berdampingan, esok harinya telah rahib meninggalkan sepucuk pesan seluler: “Sampai jumpa lagi. Semoga sukses.” 

Diam-diam, saya coba menjabani peran ganda dengan menjadi reporter di sebuah harian. Berhasil mendapat gaji ganda, tubuh saya pun sukses memberi lampu merah. Divonis gejala thypus dan musti istirahat seminggu di ‘pulau kapuk’. 

Menjelang usia 30 tahun, saya pun mengalihkan sumber nafkah ke sekolah. Jadi guru. Suatu keputusan yang amat mungkin dinilai nekad. Tapi, setidaknya, ada sebentuk bungah terpatri dalam prasasti hati saya. 

Pribadi ‘AKAR’ 

Adalah menulis yang menjembatani ilham saya untuk berubah dari jalan hidup monoton yang membosankan itu. Adalah menulis yang mengangkat dagu saya untuk terdorong menyampaikan pendapat. Adalah menulis jua yang mempertemukan saya dengan sahabat-sahabat dengan prestasi luar biasa. Baik dari kalangan jurnalis, blogger, pedagang, petani maupun sesama rekan guru. Pengaruh mereka, dalam kutipan Gadis di kumpulan cerpen tadi, adalah tahap metamorfosis. Saya berubah. Demikian juga sekeliling saya. “Bukankah ini seperti penggenapan petuah Pramoedya Ananta Toer: Dengan menulis kita tidak akan hilang ditelan zaman,” hemat fikir saya, hingga kini. 

Saya sendiri meyakini ‘menulis’ adalah pangkur saya dalam menggali pribadi. Nilai ‘berbagi’ dari sesama teman blogger juga menjadi senter menerawangi penggalian gelap tersebut. Pada satu kesempatan, saya temukan satu pribadi yang benar menggugah. Ini saya dapati dalam buku “Raising Drug-Free Children” buah karya Veronica Colondam. Terima kasih buat Dian Purba atas kesediaannya meminjamkan buku berisi ‘pribadi akar’ ini. :) 

Akar? Ya, benar. Akar yang luruh dari mata kita ternyata memiliki nilai andil yang menakjubkan. Menarik benar rasanya, jika diarsir kembali tulisan kolom oleh Paulus Hartanto, Mpsi. tersebut. Berikut petikannya dari kolom berjudul “Membangun Anak Untuk Tumbuh Berakar”: 

“ … akar itu tidak seindah daun atau bunga. Ia juga tidak berwarna-warni indah seperti mereka. Namun, ia memiliki peran yang sangat penting. Ia bisa menunjang batang pohon dengan sangat kuat. Ia selalu berusaha mencari air dan mineral yang nantinya menjadi asupan bagi tanaman. 

Dijelaskan pula bahwa akar memiliki dorongan mencari air yang sangat kuat sehingga ia mampu menjebol trotoar untuk mendekati air di sebuah hidran. Akar juga mampu menyesuaikan dirinya untuk masuk ke celah-celah kecil mencari air di dalam relung-relung tanah atau menghadapi kondisi iklim yang berbeda (mengakar pada batu karang di gunung bersalju). Tapi yang sungguh mengagumkan adalah ia bekerja dalam hening dan tidak terlihat dari luar. 

Sampai di sini terjadilah pencerahan! Saya menemukan sebuah kebijaksanaan dari akar. Saya dituntun untuk sampai pada sebuah kesimpulan bahwa manusia sebaiknya meneladani akar. Ada hal-hal yang sebaiknya ada pada manusia, yang dapat diakronimkan sebagai AKAR, yaitu Angan-angan, Konsistensi, Adaptif dan Rendah hati. Sebagai manusia, kita bisa bertumbuh dengan memperhatikan AKAR kita. 

Menjawab tanya sebelumnya: Apa yang telah saya perbuat? Setidaknya, saya telah membuat pilihan dan menemukan satu pribadi. Karakter. Pilihan untuk berubah dan menyesuaikan diri dengan runtut zaman. Sebagaimana petuah bijak yang dicatat Gadis: Bertambah usia itu hukum alam. Bertambah dewasa dan bertambah baik, kita yang menentukan. Bagi yang membaca tulisan ini, saya sampirkan kembali pertanyaan 20.30 ini. Buat kamu dan kita. 

* Foto dokumen milik SMK Kesehatan Wirahusada Medan

20.30