Tampilkan postingan dengan label farid hardja. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label farid hardja. Tampilkan semua postingan

Papa Alfa Charli Alfa Romeo
Nama almarhum seniman Farid Hardja terlintas dalam benak saya saat turut 'mengudarakan' suara di stasiun Radio Star News 102,6 FM. Saya memang tergelitik mengulik-ulik laman di mayantara dengan kata kunci: Radio. Nah, lagu om Farid yang berjudulkan (maaf) "Bercinta di Udara" ini memang pas menjadi adegan pembuka napaktilas teknologi swara yang mengagumkan tersebut. Ia adalah saksi tak bisu dalam beragam peristiwa; dari perang hingga kisah miris tenggelamnya kapal Titanic. Diolok-olok bakal mati namun tetap jumawa mengumandangkan swara-swara beriring arak-arak awan di langit biru.
Seperti penelusuran biasanya, mbah Google amat menaruh hormat pada gudang informasi milik Wikipedia. Ulasannya cukup menarik alis ke atas. Jika kita disodori pertanyaan: Siapakah penemu radio? dan disambut jawab: Guglielmo Marconi. Maka, bersiaplah untuk membuat koreksi terbaru. Benar, bahwa Marconi menjadi penemu perangkat radio yang pertama. Namun, dalam pembeberan Wikipedia disebutkan dasar teori dari perambatan gelombang elektromagnetik -- merupakan penghantar gelombang radio -- pertama kali dijelaskan oleh James Clerk Maxwell pada 1873. Ini tertuang dalam tesisnya "A dynamical theory of the electromagnetic field." Penyempurnaan inovasi tersebut pun berlanjut, hingga bisa kita nikmati saat ini.
Karena kehandalannya melintas dan merambat lewat udara dan bisa juga merambat lewat ruang angkasa yang hampa udara, teknologi radio awal banyak digunakan untuk kebutuhan militer. Diantaranya, untuk pengiriman pesan telegraf (menggunakan kode Morse) antara kapal laut dan markas di darat. Pada 1912, radio menjadi jembatan pengiriman informasi saat RMS Titanic tenggelam. Para penumpang yang selamat dikabarkan melalui udara. Itu menjadi terobosan penting, karena penyampaian melalui kertas terbentur masalah jarak dan waktu. Kejayaan radio lalu meretas jalannya pada tahun 1920-an dan 1930-an. Terlebih saat gelombang digital FM ditemukan -- yang tidak diganggu suara gemerisik saat masih memakai pemancar AM.
Popularitas radio mulai seret tatkala pesawat televisi menjadi kebutuhan sekunder masyarakat kelas ekonomi menengah. Cukup dimaklumi, mengingat layanan pesawat TV tak hanya mendengungkan swara namun juga dibarengi rentetan citra bergerak. Setelah 'kue' iklan, para sosialita dan seniman berduyun-duyun memanfaatkan TV untuk mendongkrak pemasaran karya mereka -- contoh nyata ialah nama MTv yang membahana. Musikus grup Buggles pun menyatakan kematian radio dengan album "Buggles: Video Killed the Radio Star." Dalam pandangan mereka, nasib teknologi swara ini mendekati titik nadir.
TV: Akhirnya, radio mati? Radio: Ih. Sori lah yaw
Hal yang saya syukuri, ramalan tersebut urung terwujud. Jika tidak, saya tidak bakal menikmati degup bilik jantung saya saat meladeni pertanyaan demi pertanyaan dari sang 'presenter.' Di satu sisi, Buggles mungkin benar jika menilik matinya hobi kontak radio sebagaimana terlantun dalam lagu om Farid, dikikis tren surat elektronik dan cengkerama maya seperti misalnya di Yahoo! Messenger. Namun, bukan secara keseluruhan.
Merebaknya pemutaran lagu berformat MP3 dan menjamurnya Radio Internet menjadi penopang popularitas radio. Ini semakin didukung oleh fitur radio yang semakin umum ditemui dalam produk-produk telepon seluler. Sebaliknya, semboyan yang dilontar Buggles malah balik menjadi lelucon kini. Secara pribadi, ini mengingatkan pada satu pernyataan mas Fikry Fatullah, seorang penggiat usaha yang memberdayakan teknologi mayantara. Menurutnya: "animo manusia cenderung seperti lingkaran yang kembali ke tren masa lampau. Contoh paling bagus, radio. Bisa jadi pesawat radio usang yang kita remehkan sekarang bakal dicari-cari di masa mendatang."
Tali-temali pernyataan dan informasi ini pun berbaur menjadi sebuat tulisan di blog ini. Lamat-lamat saya coba menggumam refrain lagu "Bercinta di udara" nya Farid Hardja.
Papa Alfa Charli Alfa Romeo
Mengajakmu terbang di udara
Memang cinta asyik di mana saja
Walau di angkasa hahaha hahaha..
Seperti penelusuran biasanya, mbah Google amat menaruh hormat pada gudang informasi milik Wikipedia. Ulasannya cukup menarik alis ke atas. Jika kita disodori pertanyaan: Siapakah penemu radio? dan disambut jawab: Guglielmo Marconi. Maka, bersiaplah untuk membuat koreksi terbaru. Benar, bahwa Marconi menjadi penemu perangkat radio yang pertama. Namun, dalam pembeberan Wikipedia disebutkan dasar teori dari perambatan gelombang elektromagnetik -- merupakan penghantar gelombang radio -- pertama kali dijelaskan oleh James Clerk Maxwell pada 1873. Ini tertuang dalam tesisnya "A dynamical theory of the electromagnetic field." Penyempurnaan inovasi tersebut pun berlanjut, hingga bisa kita nikmati saat ini.
Karena kehandalannya melintas dan merambat lewat udara dan bisa juga merambat lewat ruang angkasa yang hampa udara, teknologi radio awal banyak digunakan untuk kebutuhan militer. Diantaranya, untuk pengiriman pesan telegraf (menggunakan kode Morse) antara kapal laut dan markas di darat. Pada 1912, radio menjadi jembatan pengiriman informasi saat RMS Titanic tenggelam. Para penumpang yang selamat dikabarkan melalui udara. Itu menjadi terobosan penting, karena penyampaian melalui kertas terbentur masalah jarak dan waktu. Kejayaan radio lalu meretas jalannya pada tahun 1920-an dan 1930-an. Terlebih saat gelombang digital FM ditemukan -- yang tidak diganggu suara gemerisik saat masih memakai pemancar AM.
Popularitas radio mulai seret tatkala pesawat televisi menjadi kebutuhan sekunder masyarakat kelas ekonomi menengah. Cukup dimaklumi, mengingat layanan pesawat TV tak hanya mendengungkan swara namun juga dibarengi rentetan citra bergerak. Setelah 'kue' iklan, para sosialita dan seniman berduyun-duyun memanfaatkan TV untuk mendongkrak pemasaran karya mereka -- contoh nyata ialah nama MTv yang membahana. Musikus grup Buggles pun menyatakan kematian radio dengan album "Buggles: Video Killed the Radio Star." Dalam pandangan mereka, nasib teknologi swara ini mendekati titik nadir.
TV: Akhirnya, radio mati? Radio: Ih. Sori lah yaw
Hal yang saya syukuri, ramalan tersebut urung terwujud. Jika tidak, saya tidak bakal menikmati degup bilik jantung saya saat meladeni pertanyaan demi pertanyaan dari sang 'presenter.' Di satu sisi, Buggles mungkin benar jika menilik matinya hobi kontak radio sebagaimana terlantun dalam lagu om Farid, dikikis tren surat elektronik dan cengkerama maya seperti misalnya di Yahoo! Messenger. Namun, bukan secara keseluruhan.
Merebaknya pemutaran lagu berformat MP3 dan menjamurnya Radio Internet menjadi penopang popularitas radio. Ini semakin didukung oleh fitur radio yang semakin umum ditemui dalam produk-produk telepon seluler. Sebaliknya, semboyan yang dilontar Buggles malah balik menjadi lelucon kini. Secara pribadi, ini mengingatkan pada satu pernyataan mas Fikry Fatullah, seorang penggiat usaha yang memberdayakan teknologi mayantara. Menurutnya: "animo manusia cenderung seperti lingkaran yang kembali ke tren masa lampau. Contoh paling bagus, radio. Bisa jadi pesawat radio usang yang kita remehkan sekarang bakal dicari-cari di masa mendatang."
Tali-temali pernyataan dan informasi ini pun berbaur menjadi sebuat tulisan di blog ini. Lamat-lamat saya coba menggumam refrain lagu "Bercinta di udara" nya Farid Hardja.
Papa Alfa Charli Alfa Romeo
Mengajakmu terbang di udara
Memang cinta asyik di mana saja
Walau di angkasa hahaha hahaha..
* Gambar dipinjam dari: radiopenerangan.blogspot.com
Langganan:
Komentar (Atom)