Tampilkan postingan dengan label sara. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sara. Tampilkan semua postingan

SARA
Istilah SARA
kerap mencuat dalam beberapa perbincangan, semisal kisruh pengakuan atas
keyakinan Ahmadiyah. Namun, pemahaman mengenai istilah yang amat populer semasa
Orde Baru (Orba) ini, masih sulit ditemui. Terutama di ranah maya. Untungnya,
buku "Resolusi Konflik Melalui Jurnalisme Damai" yang diterbitkan
Kajian Informasi, Pendidikan dan Penerbitan Sumatera (KIPPAS) memberi satu
pencerahan.
Ternyata,
penelaahan mengenai SARA ini memang menarik, karena disusupi latar belakang
intrik yang bertautan erat dengan penguasa di zaman Orba. Lebih dari sekedar
mengetahui perpanjangannya ialah: Suku, Agama, Ras dan Antargolongan.
Dalam
artikelnya yang berjudul "Meliput dan Memberitakan Konflik", Stanley
A. Prasetyo (dari Institut Arus Informasi atau ISAI - Jakarta) memamaparkan
bahwa akronim SARA ini adalah bagian dari upaya pemerintahan Orba dalam menjaga
stablitas politik dan keamanan -- satu hal yang menjadi kelebihan Presiden
Soeharto kala itu.
Menurutnya,
masyarakat dunia lebih mengenal SARA sebagai sebuah konflik etnik dan konflik
agama saja. Atau juga kedua keduanya sekaligus. Kita bisa mencatat sejumlah
peristiwa yang muncul ke permukaan, misalnya masalah Bask di Spanyol dan
konflik Tamil-Sinhala di Sri Langka (masalah etnik), masalah Irlandia di
Inggris Utara (masalah agama), kerusuhan LA (masalah diskriminasi ras) dan
lain-lain.
Dari
sejumlah contoh tersebut jelas tak ada kategori "antar golongan" atau
pun suku. Antar-golongan bisa diartikan antar-kelas sosial. Pengertian suku
sebetulnya telah masuk dalam unsur "etnis". Namun demikian konflik
yang memiliki potensi melebar jadi konflik berskala besar tak lain adalah
konflik yang melibatkan keyakinan agama.
Kita bisa
melihat sejumlah contoh klasik konflik jenis terakhir ini antara lain dalam
peristiwa "Perang Salib" terbentuknya "Negeri Bangladesh,"
"Konflik di Belfast," dan lain-lain.
Prasetyo
melanjutkan bahwa Departemen Penerangan (kini Kementerian Komunikasi dan
Informasi), pemerintah menekan pers agar tidak meliput dan memberitakan isu-isu
yang berkaitan dengan konflik suku, agama, ras dan antargolongan. Imbasnya,
sebagaimana kita ketahui, banyak peristiwa kerusuhan dan pelanggaran Hak Azasi
Manusia (HAM) yang luput dari perhatian masyarakat.
Tetapi, dia
mempersoalkan bahwa pengucapan SARA ini tidak efektif. Membingungkan. Pasalnya,
konflik yang jamak diketahui ialah konflik antar agama atau suku. Di Indonesia,
contoh yang diketahui yaitu konflik antara suku Dayak dan Madura (konflik suku)
dan konflik Ahmadiyah (agama); sementara di kancah Internasional, konflik Tamil
dan Sinhala di Sri Langka (masalah etnis) serta pertikaian komunitas pemeluk
Katolik dan Protestan di Irlandia (masalah agama) adalah contoh yang bagus.
Sementara konflik pelecehan ras banyak diketahui dari kasus peminggiran kaum
kulit berwarna.
Nah, yang
menjadi sorotan ialah makna ambigu dari konflik "antar golongan",
karena konflik jenis ini jarang diketahui. Dalam artikelnya, Prasetyo
menambahkan bahwa pemerintah Orba juga membuat larangan memberitakan masalah
SARA ditambah dengan sejumlah ketentuan lain seperti larangan memberitakan
bisnis dan skandal -the first family- (populer disebut keluarga Cendana) dan
konflik elit politik.
Mungkin,
pengucapan dan penulisan akronim SARA ini harus dikaji lebih dahulu. Agar tidak
tergelincir dalam menapaki maknanya.
Ilustrasi
konflik di Indonesia.
Selain latar
belakang SARA, hal lainnya yang menarik disimak dari tulisan Prasetyo ialah
ilustrasi akar pohon yang menggambarkan keberadaan konflik di tiga zaman
pemerintahan Indonesia: Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi.
Keterangan:
Orde Lama
Konflik ada
di permukaan > Konflik dikelola
> Sumber konflik
dipangkas
Orde Baru
Konflik
laten > Konflik
disembunyikan
> Sumber
konflik direpresi
Masa
Reformasi
Konflik
terbuka > konflik dibiarkan
> Sumber konflik tak disentuh
Literatur:
Resolusi
Konflik Melalui Jurnalisme Damai. Kajian Informasi, Pendidikan dan Penerbitan
Sumatera (KIPPAS). Agustus 2005.
SARA
Langganan:
Postingan (Atom)