Bersimpuh di kaki Mamak (Ibu)
Saya mendengar petuah bijak "Surga di
telapak kaki Ibu" kali pertama dari seorang guru Sekolah Dasar (SD).
Berlanjut ke pariwara menyentuh di majalah dan televisi yang kala itu diawali
Televisi Pendidikan Indonesia (kini menjadi MNC Tv). Peribahasa indah ini
mengiang terus hingga akhir tahun saya meninggalkan seragam sekolah
merah-putih. Ia lalu mendorong nurani untuk coba melakukan secara diam-diam.
Kerap tertunda sebab rasa risih yang juga gemuruh.
Sesekali jemari kenangan menggores kembali
cuplikan masa lalu tatkala mamak (panggilan saya untuk Ibu) menyeduhkan susu
hangat sebelum berangkat ke sekolah. Menyampirkan tas dan mengusap hangat dahi
mengandung doa semoga anaknya belajar dengan tekun. Bila rasa jemu menuju
sekolah begitu hebatnya, tak jarang pula saya memeluk kaki mamak agar
diperkenankan tinggal sementara (--- bahasa halus dari bolos) di rumah.
Berarti, saya pernah jua sedikit bersimpuh di kaki Mamak.
Jika saya coba membuat khayalan tersendiri, kali
pertama saya bersimpuh ialah tatkala dilahirkan di bumi ini. Tentu, dengan isak
tangis yang mengisi senyap malam minggu dikarenakan kelahiran saya pada 3
September 1982 ialah hari Sabtu. Dan Bapak saya yang tidak perlu
celingak-celinguk mencari di ruang bayi karena miripnya wajah kami. "Wah,
lae. Kayaknya anak kau gak usah diberi nomor kode juga sudah tanda kita,"
canda seorang pria yang juga menemani istrinya melahirkan. Huehehehehe.
Di kaki Mamak, saya pernah bersimpuh, terpekur,
mengerjap dengan ragam latar kisah. Sebutlah itu karena terluka benda tajam,
meredam degup cinta pertama, prestasi pendidikan mandeg, dan sejumlah kisah
lain.
Di kaki Mamak, sesungguhnya surga yang dimaksud
ialah rasa damai. Kerinduan untuk dilahirkan baru kembali. Sebuah langkah ajeg
dibanding lari dari persoalan-persoalan yang menempa pendewasaan diri.
Saya rindu bersimpuh di kaki Mamak sekhidmat doa
di lingkungan hening. Kerinduan yang acapkali berurai ketakutan. Bila saja,
kali terakhir saya bersimpuh di kaki Mamak saat penghujung hidupnya. Damai dan
duka yang bertaut.
Setiap hari merupakan hari Ibu yang menggores
nilai hidup dalam hati. Yang selalu melahirkan kasih dan ilham baru. Tak henti
menggemakan kerinduan untuk bersimpuh memohon maaf atas kelalaian tindak atau
ucapan. Atau memohon restu agar berhasil meraih cita. Utamanya, ketegaran
sepeninggal Bapak dalam keluarga kami.
Terima kasih, Mamak. Tulisan yang tak sempurna
ini. Terlihami dan dipersembahkan bagimu. Kembali doa kubisikkan setulusnya.
0 komentar:
Posting Komentar