[Latest News][7]

#RumBerdikari
2011
2012
2013
agama
agus sampurno
akronim
alkitab
ananta
ananta bangun
anantabangun.net
antar golong
anti streisand
AT-TIK
bahagia
bahasa indonesia
bangun
barbra streisand
becak
behasa inggris
belajar
Bertom Turnip
berton turnip
blindekuh
blog
blogger sumut
bramma sapta aji
budaya
buku
ceritera
chatting
columbus
dale carnegie
darmadi darmawangsa
diskominfo
djalaluddin pane foundation
download
DPF
e-mail
Einstein
enchanment
endorfin
etika
facebook
farid hardja
fastron blogging challenge
geman
gereja
gerhana bulan
google
googlism
guru
guy kawasaki
haisen
hari ibu
harry van yogya
helda
hikari
ibu
ice break.
ice breaking
ilmu
inspirasi
internet
ira lathief
jenuh
jepang
john holt
kaizen
keepvid
kiat menulis
komitmen
konsentrasi
koran
kristen
labuhanbatu
labusel
langkah
langkah-langkah
m nuh
m-plik
marketing
medan
media
membaca
menteri pendidikan
menulis
meutya hafid
motivasi
mplik
napaktilas
narkoba
ndikkar
ndorokakung
ngoge
normal is boring
opini
orde baru
orde lama
otak
panduan
paroki santa maria
pelatihan
pelatihan TIK
pemasaran
pemekaran
pendidikan
pengetahuan
peramban
pisa
pmi
pmr
politik
powerpoint
presentasi
prokrestus
qaris tajudin
radio
rantauprapat
ras
reformasi
relawan AT-TIK
religi
resensi
resolusi
restoran
sara
schooling
sederhana
sejarah
sekolah
selamat hari guyu
seminar
sharing
sheque
silat
sinar timur
SMK Kesehatan Wirahusada Medan
social media
starnews fm
strategi olah kelompok belajar
streisand
stroke
suku
sumatera utara
sumut
swiss
tcdp
teknologi
tema
the marketeers
thomas friedman
tiang bendera
TIK
tips
ToT
Tuhan
ujian nasional
UN
unduh
unschooling
usia
velangkani
veronica colondam
video
vinsensius
waktu
wanita
wikipedia
wirahusada
youtube
zurich

Ad Section

Velangkani



dijepret oleh: Ananta Bangun

Pagi, seperti biasa. Surya menguak cahya dari ufuk Timur. Namun, aku mengistimewakan pagi ini untuk suatu tujuan. Sebuah rumah ibadah. Tak jauh dari kediaman pribadi dan yang terpenting ini: hening.

Sebuah keheningan bisa jadi teramat penting. Jika hiruk lalu-lintas di jantung kota bisa kalah bising dengan gemuruh kerja otak, ini menandakan sesuatu tidak beres. Coba mengutip nasihat orang bijak "menyeimbangkan".  Hmmm. Sebenarnya, aku lebih ingin bungkam saja swara-swara tersebut. Atau lebih asyiknya dimisalkan cecuit-cecuit burung gereja taling-tarung berebut betina.

Derak terali sepeda motor turut bersumbang swara menuju 'syurga hening'. Aku sempatkan mengumpat debu kemarau yang berebut masuk ke lubang hidung. Sedikit nanar, di mulut gang rumah, kulihat sesosok manusia. Tiada bertangan. Tak pernah kutahu namanya. Namun, lebih mudah dikenali karena ia cacat tangan, dan berjualan tape. Ia mencari-cari sinar mataku. Aku melihat bola matanya. Kami tak ubahnya dokter mata dan pasien. Tetapi tidak jelas, siapa dokter dan pasien.

"Mas, hendak pigi kemana?," ia membuka cakap sembari senyum. "Velangkani," jawabku sekenanya. Aku kurang suka senyum pria ini. Setiap kali bersua dengan sepeda penjaja tape yang dikemudi dengan dadanya, ia selalu tersenyum. Acap kali seperti ejekan. Aku yang bertubuh lengkap, malas tersenyum. Berkebalikan dengannnya. "Apakah aku harus tak bertangan untuk tersenyum," rutuk dalam hatiku.

"Saya minta tolong. Numpang diboncengin ke (Rumah Sakit) Adam Malik," pintanya.
"Ndak ada becak?"
"Ndak ada duit."
"Lho? Hmm. Ya, sudah. Pulang, sendiri ya." Ia mengangguk. Aku masih belum tanya nama.

Derak terali sepeda motor dan swara pria di belakang kini berpadu ria. Pun, sebuah firasat ia berbicara sesenggukan. Ya, Tuhan. Jangan bilang ia sedang menitikkan air mata. "Saya baru mendapat surat Jamkesmas, mas," ia bertutur sendirian. "Untuk operasi mata anak saya. Saya ndak tega setiap kali dia minta dibeliin krayon warna untuk menggambar."

"Putri saya ini juga bilang bercita-cita jadi penemu. Agar saya punya tangan utuh. Dan bisa menggambar bersama. Ekh". Ban motorku terjerembab satu lubang peninggalan semenjak zaman penjajah. Dan menyela cakapnya.

Tak tahan bungkam, aku nyahut: "Memang anak kam, sakit apa?"
"Ndak tahu."
"Lho? Kok dioperasi."
"Kata dokter. Tapi, saya sudah syukur bisa dapat surat ini. Sudah 3 minggu bolak-balik kantor pemerintah, baru dapat sekarang."

Ia pun sedu sedan mengalami perlakuan tak adil selama proses pengurusan tersebut. Terzolimi. "Yeahhh," aku dengus nafas berat. "Kalau yang begituan, musti ada duit dulu." Memang pelik, fikirku, layanan untuk orang kurang duit harus setor duit laiknya orang bergelimang duit. Dan cecuit-cecuit burung galak kembali riuh di kepalaku.

Kami tiba (akhirnya). "Terima kasih ya, Mas. Mau ke Velangkani untuk apa?" ia tak henti juga bercakap. "Berdoa," aku sedikit risih. Mungkin, ia kira hendak berfoto gaya dan pajang di Facebook segala. Tapi, dengan segala umpatan rutuk tadi sepertinya bukan awal tepat mengawali doa.

Karenanya, aku sedikit kaget saat ia meminta: "Tolong doakan anak saya ya, Mas," pintanya dengan lirih. Aku menatap wajahnya. Benar, ia sedang menitikkan air mata.

----

Kini, aku bersimpuh di bantalan bangku Velangkani. Hanya permintaan pria tiada bertangan itu tersisa sebagai ngiang. Cecuit-cecuit tak lagi menjepit relung jiwa. Hanya ngiang permintaan pria itu, dan kibas putaran kipas angin sedikit mengusik.

Aku pun tenggelam dalam hening. "Sayang, aku lupa tanya namanya," aku membathin.

Aku pun merasa amat kecil kini. Kesal dan bising-bising itu tak lagi memamah kewarasanku. Hanya aku, mendekap punggung bangku. Berdoa untuk seorang insan tak kukenal namanya, agar matanya sembuh. Berdoa untuk seorang ayah tak bertangan.

Dalam doa, aku merasa tak bermata dan bertangan. Hingga air mata berlinang sendiri.

"Puji syukur atas kemurahan-Mu, Tuhan," aku membathin lagi. Dan, beringsut perlahan keluar, menuruni lekuk tangga berundak kerikil kecil.

Aku melap kerjap air mata terakhir. Senja memeluk pinggang Velangkani kini.
0
pontifex.ID
pontifex.ID

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet nostrum imperdiet appellantur appellantur usu, mnesarchum referrentur. Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet nostrum imperdiet.

0 komentar:

Posting Komentar