Tampilkan postingan dengan label velangkani. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label velangkani. Tampilkan semua postingan

Velangkani
![]() |
dijepret oleh: Ananta Bangun |
Pagi, seperti biasa. Surya menguak cahya dari ufuk Timur. Namun, aku
mengistimewakan pagi ini untuk suatu tujuan. Sebuah rumah ibadah. Tak jauh dari
kediaman pribadi dan yang terpenting ini: hening.
Sebuah keheningan bisa jadi teramat penting. Jika hiruk lalu-lintas di
jantung kota bisa kalah bising dengan gemuruh kerja otak, ini menandakan
sesuatu tidak beres. Coba mengutip nasihat orang bijak
"menyeimbangkan". Hmmm.
Sebenarnya, aku lebih ingin bungkam saja swara-swara tersebut. Atau lebih
asyiknya dimisalkan cecuit-cecuit burung gereja taling-tarung berebut betina.
Derak terali sepeda motor turut bersumbang swara menuju 'syurga hening'.
Aku sempatkan mengumpat debu kemarau yang berebut masuk ke lubang hidung.
Sedikit nanar, di mulut gang rumah, kulihat sesosok manusia. Tiada bertangan.
Tak pernah kutahu namanya. Namun, lebih mudah dikenali karena ia cacat tangan,
dan berjualan tape. Ia mencari-cari sinar mataku. Aku melihat bola matanya.
Kami tak ubahnya dokter mata dan pasien. Tetapi tidak jelas, siapa dokter dan
pasien.
"Mas, hendak pigi kemana?," ia membuka cakap sembari senyum.
"Velangkani," jawabku sekenanya. Aku kurang suka senyum pria ini.
Setiap kali bersua dengan sepeda penjaja tape yang dikemudi dengan dadanya, ia
selalu tersenyum. Acap kali seperti ejekan. Aku yang bertubuh lengkap, malas
tersenyum. Berkebalikan dengannnya. "Apakah aku harus tak bertangan untuk
tersenyum," rutuk dalam hatiku.
Langganan:
Komentar (Atom)