Kapan Terakhir Kali Kamu Mengagumi Langit Biru?
Gambar dipinjam dari Dipity.com |
Saya mengutip pertanyaan ini dari sebuah buku. Berperihal
'bahagia'. Sesuatu yang kerap dicari, ditelusur bahkan (bila bisa) dibeli.
Tergerak hati saya turut cari lebih mendalam lagi selepas surat dari seorang
siswa. Dari sebuah tanya: Mengapa ia tidak bahagia?
Dan penggalian ini menyentuh sesuatu yang pribadi: Apakah
saya juga berbahagia? Amat sukar menemu jawab kegundahan siswa saya bila di
sisi lain saya juga dilema serupa. Sepertinya, kami bagai tuna netra mengembara
di sekeliling hiruk pikuk definisi 'bahagia'.
Motivator Darmadi Darmawangsa memberi pencerahan liwat
sebuah kisah. Dalam bukunya "Fight Like A Tiger Win Like A Champion":
satu petualang memohon kebijakan pada seorang sepuh di jalan bercabang dua.
"Jalan manakah sebaiknya saya tempuh? Sebelah kiri atau kanan?" Sang
kakek bertanya balik: "Kemanakah tujuan kamu?" Sang petualang
menggeleng. "Bila demikian, tidaklah menjadi masalah jalan mana yang
hendak kamu tempuh, nak," ia memberi jawab bijak.
Intisari kisah tersebut menguapkan gundah akan tujuan
akhir perjalanan hidup ini. Bukankah titik akhir tujuan hidup ini misteri? Atau
coba kita seling dengan pertanyaan menggelitik ini: Bagaimana bila saya mampu
mencapai tujuan akhir dari pencapaian hidup ini? Sebuah tanya yang cukup lazim,
sebagaimana kolumnis majalah U Mag, Qaris Tajudin ketika menanggapi kiamat
bertutur begini:
"Meski kiamat tak datang setahun lagi, mungkin kita
perlu berandai-andai hidup kita segera berakhir. Dengan demikian, kita bisa
mengetahui apa keinginan mendasar dalam diri kita."
Veronica Colondam memberi jawab liwat buku Raising
Drug-Free Children (yang mengilhami judul tulisan ini) memetik sebuah wawancara
menarik tatkala petenis terbaik era 1980-an, Bjorn Borg, memenangi gelar
prestisius Wimbledon untuk kali ke-7. "Bjorn, sekarang kamu sudah menjadi
petenis satu-satunya di dunia ini yang menjuarai turnamen ini sampai tujuh
kali. Sekarang apa tantang anda selanjutnya," tanya seorang wartawan.
Sembari menatap lekat-lekat sang wartawan, ia menjawab
serius: "Yang menjadi tantangan terbesar bagi saya sekarang adalah untuk
tidak bunuh diri setiap kali saya bangun pagi ...". Lalu, suasana jadi
senyap. Apa yang dikatakan Bjorn begitu dalam dan menusuk. Menusuk karena
kejujurannya. Juga karena kebenaran di balik pernyataan tersebut.
Colondam melanjutkan, ketika seseorang berpikir bahwa ia
akan berbahagia saat mencapai puncak dari karir atau cita-citanya dan ternyata
ketika semuanya ia raih ia tidak merasa 'lebih' bahagia, hancurlah harapan
hidupnya. Ironi yang disebut sebagai "kebangkrutan total dalam
hidup".
Benang merah 'bahagia': sederhana
Peneliti berkebangsaan Belanda, Dr. Veenhoven menuturkan
bahwa kebahagiaan langgeng dapat diraih saat kita belajar menyukai hidup
yang dijalani. Ringkasnya, Veenhoven mendorong kita untuk mengondisikan
atau menetapkan kebahagiaan itu sendiri. Dengan demikian kebahagiaan tidak
lagi tergantung oleh ihwal di luar diri kita. Terlebih daya kuasa kita.
Namun, teramat sulit menuruti anjuran Veenhoven dalam
arung kesibukan duniawi ini. Sebagaimana Bjorn; saya, kamu, dan (mungkin)
banyak insan lainnya gagal menikmati bahagia di saat yang seharusnya. Bagaimana
kita mampu mengasah 'rasa' ini?
Colondam, usai merangkum hasil kajian para peneliti,
mendorong agar kita melihat dan menghargai dunia apa adanya. Semisal:
Kapan terakhir kita mengagumi langit yang biru?
Atau kupu-kupu yang terbang ke sana kemari?
Atau nikmatnya bertelanjang kaki menyusur pasir di tepi
pantai?
Dengan menikmati hal-hal sederhana dalam hidup seperti
ini menjadi kiat mumpuni mengasah 'rasa' untuk bahagia. Dan melanjutkan
penghargaan akan nilai kebahagiaan pada apresiasi hubungan dengan sesama
manusia dan (bahkan) Sang Maha Kuasa. Dari benang merah yang lebih sederhana:
rasa untuk syukur dan rasa cukup.
Dan entah mengapa pencarian makna 'bahagia' ini lalu
menuntun minat saya terhadap 'cinta'. Meski sejatinya cinta itu sederhana,
kerap juga dialami begitu rumitnya. Padahal, mencintai amat lah sederhana.
Mencintai berarti setulusnya memberikan apa yang dimiliki. Tanpa terbersit
harapan muluk imbal balik.
0 komentar:
Posting Komentar