Mengenal TIK
dipinjam dari Ajku.edu.pk |
Outline ini merupakan pembahasan awal
dalam mata kuliah “Pemrograman Web.” Tindak untuk mengenal Teknologi Informasi
dan Komunikasi (TIK) merupakan langkah awal sebelum membuat program yang
berjalan melalui aplikasi browser (peramban). Sebagai langkah awal ialah
pentingnya pemahaman dan pemberdayaan layanan under web. Dalam kasus
ini, dosen pengasuh fokus pada e-mail dan blog.
Saat ini kita hidup di sebuah kampung
bernama Bumi. Bukan lagi wilayah yang tersekat batas provinsi, bahkan negara.
Tsunami yang menyapu Jepang, pernikahan megah Pangeran Harry Williams
dengan Putri Kate Middleton ataupun napaktilas perdana manusia di Bulan dapat
diketahui siapa saja di planet biru ini. Secara kasat mata, terdapat ratusan
satelit yang menyerap dan melepas informasi-informasi untuk dipilah dan disebar
bagi masyarakat. Dengan satu prasyarat, mereka memahami dan memiliki Teknologi
Informasi dan Komunikasi (TIK).
Dampak perkembangan TIK ini sendiri
sungguh menarik. Bila dulu manusia sulit mengambil keputusan karena minimnya
informasi. Maka kini, banjir informasi justru kian mempersulit pengambilan
keputusan. Fenomena yang sejalan penilaian Alvin Toffler sebagai “buta huruf
abad 21”. Karenanya tantangan bagi kita pun turut berubah: bagaimana
memberdayakan teknologi informasi dan komunikasi dalam upaya pencapaian hasil
maksimal?
Pemberdayaan tentunya berangkat dari
pengenalan perangkat TIK dengan baik. Salah satu terobosan TIK yang mulai
menyentuh budaya hidup manusia ialah Internet. Meski belum menyentuh seluruh
lapisan masyarakat, Internet telah menjelma menjadi ruang baru menampilkan
pribadi ataupun karya mereka disamping dunia nyata.
Perkembangan Internet ini turut dipicu
layanan bagi pengguna dipermudah dalam menyebar informasi milik mereka.
Terobosan yang acap disebut Web 2.0. Penguasaan dan prosedur pemrograman under
web yang amat rumit dipangkas sesederhana mungkin. Kesederhanaan inilah
yang memudahkan dukungan terhadap Prita Mulyasari via satu layanan Web 2.0,
yakni social media.
E-mail
Hal yang unik dari kasus Prita tersebut,
bahwa ia tersandung oleh layanan Web 2.0 atau web based e-mail atawa
layanan surat elektronik yang diakses melalui browser. Di masa awal,
aplikasi untuk layanan Internet benar-benar dipilah berdasarkan fungsinya.
Seperti Eudora (e-mail), mIRC (chatting/ bincang), File Transfer Protocol
(pengiriman/ pengambilan berkas) dan browser (menampilkan website).
Kini, seluruh layanan tersebut telah melebur menjadi fitur layanan dalam website
yang mengusung Web 2.0. Satu diantaranya, dapat kita temukan dalam
Facebook.
Berbicara Facebook mengingatkan pada
sebuah kisah yang cukup lucu namun kritis. Dimana, seorang guru bertanya pada
muridnya. “Siapa di sini yang sudah punya e-mail?” Hanya sedikit yang
mengacungkan jari. Pertanyaan pun diubah: “Siapa di sini yang sudah punya
Facebook?” Hampir seluruh siswa mengaku.
Sebenarnya, akun Facebook dapat dimiliki
sepenuhnya setelah meng-klik validasi khusus. Validasi tersebut dikirim
ke e-mail yang dicantumkan saat mendaftar Facebook. Namun, metode layanan
Facebook kini mempermudah penggunanya yang hanya memberi notifikasi atau
pengingat saja di bagian atas (header) setelah mengakses Facebook. Imbasnya,
sebagaimana yang dipaparkan dalam kisah cukup lucu di atas.
E-mail merupakan inovasi awal dalam
teknologi Internet. Sungguh mengherankan jika kini pengguna Internet merasa
canggung bila ditanyakan perihal e-mail. Dan kembali menegaskan pernyataan
Alfred Toffler: “The illiterate of the 21st century will not be those who
cannot read and write but those who cannot lear, unlearn and relearn.“
//**
Catatan:
Untuk penyeragaman, dosen pengasuh akan
membahas pada pendaftara dan pendayagunaan e-mail milik Google. Atau lebih
dikenal Gmail.
Hidup menjadi hampa tanpa email, untuk itu rajinlah menjalin komunikasi via email.. hehehe..
BalasHapusEmail udah menjadi kebutuhan diera internet ini. Masih heran aja kenapa masih banyak orang membuat email cuma untuk membuat akun sosial media, setelah itu email pun terbengkalai.
BalasHapus@Agoez. Seperti sayur tanpa garam. #ahay.
BalasHapus@Dinneno. Kebutuhan belajarnya masih terkungkung di ranah sosial media saja. huehehehe