Tampilkan postingan dengan label haisen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label haisen. Tampilkan semua postingan

Kaizen, Haisen
![]() |
dibuat oleh Yusuf |
Fikiran saya pun menerawang pada temu ramah dengan pemilik Yayasan Hikari, bapak Kadri. Intisari cengkerama sepeminum kopi dengan beliau meninggalkan selarik pesan sarat ilham. "Pada dasarnya, dan saya juga amat yakin, bahwasanya tidak ada sebutan bodoh (bagi murid). Tapi malas." Bagi beliau, pengentasan 'bodoh' ini akan terwujud dengan adanya proses belajar. Periode waktu yang dihabiskan untuk belajar memang membedakan tingkat pemahaman masing-masing siswa. Namun, seburuk apa pun pemahamannya, ini toh soal pendayagunaan waktu.
Tulisan Pongki Pamungkas dalam kolom Pernik, di Majalah SWA, memberi saya pencerahan. Dia mengutip wejangan luhur Jepang — dari buku berjudul "Toyota Way"— yang menyebut proses belajar ini sebagai Kaizen. Napaktilas hidup manusia kerap menyentuh proses belajar hingga akhir hayat. Demikianlah Kaizen memaknainya sebagai perbaikan diri tiada henti. Musababnya, kesalahan menduduki porsi besar dalam adegan belajar kita. Kita tidak luput dari salah. Maka, susullah kesalahan tersebut dengan perbaikan-perbaikan. Gagal lagi, bangkit lagi. Bangkit untuk yang lebih lagi dengan menerapkan Hansei. Lha, makanan apa pula ini?
Dituturkan Pongki, Hansei merupakan tindak merenungi perbuatan yang salah, keliru, menyesali dan memperbaikinya. Di buku rujukannya juga menyebutkan bahwa Kanzai dan Hansai merupakan pola kebijakan yang menyatu. Setiap kesahalan yang dilakukan semestinya dikaji dalam. Lalu menetapkan garis teguh tidak akan mengulanginya kembali. Sebenang merah dengan nasihat: "Jangan jatuh di lubang yang sama."
Saya akui terdapat rasa nyaman bila tidak pernah menorehkan blunder. Hanya saja, rasa malas tersebut tidak ubahnya menimbun peluang dan talenta yang kasat mata. Motivator legendaris, Dale Carnegie, memberi tips sederhana. Mengapa khawatir (gagal)? Toh, (selama) tidak ada yang akan akan menjebloskan anda ke penjara, ujarnya.
Tanpa menyebut siapa, budaya Kanzai dan Hansai hendaknya menjadi suluh pencerah atas debar-debar takut gagal. Toh, tidak semua mampu belajar perdana mengendarai sepeda tanpa terjatuh. Juga, tidak semua mampu cas-cis-cus berbahasa tanpa menjalani praktik ucapan dan tulisan terus-menerus.
Gagal laiknya bumbu pahit, pedas yang menyedapkan makanan. Baik malas dan enggan memperbaiki kesalahan lah yang menjadi bayang-bayang sebutan bodoh. Dengan demikian, si pembuat kesalahan diberi ruang lagi untuk memperbaikinya. Pongki sendiri mendesak dipudarkannya kebiasaan menyalahkan. Jangan menyalahkan orang lain, tuturnya sebagai judul kolom tersebut. Nah!?
Langganan:
Postingan (Atom)