[Latest News][7]

#RumBerdikari
2011
2012
2013
agama
agus sampurno
akronim
alkitab
ananta
ananta bangun
anantabangun.net
antar golong
anti streisand
AT-TIK
bahagia
bahasa indonesia
bangun
barbra streisand
becak
behasa inggris
belajar
Bertom Turnip
berton turnip
blindekuh
blog
blogger sumut
bramma sapta aji
budaya
buku
ceritera
chatting
columbus
dale carnegie
darmadi darmawangsa
diskominfo
djalaluddin pane foundation
download
DPF
e-mail
Einstein
enchanment
endorfin
etika
facebook
farid hardja
fastron blogging challenge
geman
gereja
gerhana bulan
google
googlism
guru
guy kawasaki
haisen
hari ibu
harry van yogya
helda
hikari
ibu
ice break.
ice breaking
ilmu
inspirasi
internet
ira lathief
jenuh
jepang
john holt
kaizen
keepvid
kiat menulis
komitmen
konsentrasi
koran
kristen
labuhanbatu
labusel
langkah
langkah-langkah
m nuh
m-plik
marketing
medan
media
membaca
menteri pendidikan
menulis
meutya hafid
motivasi
mplik
napaktilas
narkoba
ndikkar
ndorokakung
ngoge
normal is boring
opini
orde baru
orde lama
otak
panduan
paroki santa maria
pelatihan
pelatihan TIK
pemasaran
pemekaran
pendidikan
pengetahuan
peramban
pisa
pmi
pmr
politik
powerpoint
presentasi
prokrestus
qaris tajudin
radio
rantauprapat
ras
reformasi
relawan AT-TIK
religi
resensi
resolusi
restoran
sara
schooling
sederhana
sejarah
sekolah
selamat hari guyu
seminar
sharing
sheque
silat
sinar timur
SMK Kesehatan Wirahusada Medan
social media
starnews fm
strategi olah kelompok belajar
streisand
stroke
suku
sumatera utara
sumut
swiss
tcdp
teknologi
tema
the marketeers
thomas friedman
tiang bendera
TIK
tips
ToT
Tuhan
ujian nasional
UN
unduh
unschooling
usia
velangkani
veronica colondam
video
vinsensius
waktu
wanita
wikipedia
wirahusada
youtube
zurich

Ad Section

Tampilkan postingan dengan label pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pendidikan. Tampilkan semua postingan

Lebih sulit mana: Belajar Berjalan atau Statistika?


Jenius Fisika, Albert Einstein menuturkan kiatnya dalam mengajar: "Saya tidak pernah mengajar. Saya hanya menciptakan kondisi bagi mereka (mahasiswa) untuk belajar."

Belajar jadi beban bila konsep pemikiran masih berkutat pada guru, buku, ruang kelas, papan tulis, dan pernik-pernik belajar a la sekolahan.

Konsep belajar memberi batasan. Di luar ruang kelas, tindak belajar pun menguap. Berganti dengan cengkerama, bermain, atau seling kegiatan yang menyenangkan. Beberapa insan beranggapan telah selesai belajara setelah menggondol gelar kesarjanaan. Dengan demikian belajar pun bersifat kronologis. Yang berurut dari Taman Kanak-kanak dan berhenti pada terminal Universitas atau Perguruan Tinggi.

Saya terkagum membaca ulasan sebuah artikel Kesehatan. Beberapa menit setelah terlahir, bayi belajar mengenali bau tubuh ibunya. Sehingga wajar jika ia mengendus bau tubuh asing akan memberi reaksi paling alamiah: menangis.

Sebuah tulisan lain bersifat motivasi juga menyadarkan saya. Betapa besar tekad dan naluri saya belajar berjalan semasa bayi dahulu. Saya kerap dapati bayi dari kerabat dan sahabat tiada letih merangkak, berdiri, berjalan, terjatuh, merangkak. Berulang-ulang.

Sebagaimana dituturkan oleh Einstein. Belajar semestinya tak berbatas. Tidak harus dijejali pernik kaku tersebut sebelumnya. Ia merupakan suatu kondisi yang menggugah dan kadangkala memaksa kita untuk belajar. Memberi pemahaman dan pengenalan akan sesuatu yang baru. Boleh juga yang bersifat menggali lebih mendalam dan mengarah pada penemuan baru. Karenanya belajar memberi perubahan sebagai dampak baru bagi insan bersangkutan. Sebagaimana pernah disebut Trainer Pendidikan, Berton Turnip bahwa "belajar adalah berubah."

Bila telah memahami konteks belajar yang melibatkan pengalaman hidup. Maka, kita dapat menjawab pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini. Apakah belajar berjalan lebih sulit daripada belajar Statistika? Sila cantum jawaban di kolom komentar.

Lebih sulit mana: Belajar Berjalan atau Statistika?

Bincang "unschooling" dengan Pak Berton Turnip



Berton Turnip (kiri) dan Sri Pujiastuti Purba (Ketua Sinar Timur)

Di sela-sela kritik terhadap Kurikulum 2013, saya menemukan ada juga bentuk perlawanan lain terhadap kebijakan pendidikan dari pemerintah. Mitra bincang saya, bapak Berton Turnip, ialah seorang Training Specialist di lembaga Wycliffe Global Alliance.  Tidak tanggung-tanggung, ketiga anak beliau mendapat didikan tanpa mengenyam bangku sekolah. Metode pendidikan yang ia gunakan disebut "unschooling".  Saya pun tertarik untuk larut dalam perbincangan berikut ini:

1. Istilah "unschooling" terdengar baru bagi saya.  Bagaimana perbedaan konsepnya dengan metode pendidikan "Schooling", pak?
“Schooling” merupakan metode pembelajaran yang efektif untuk mengajar sebanyak mungkin peserta didik untuk mendapatkan pengetahuan dan ketrampilan yang sama, yang seragam.  Ini sangat cocok dengan era pertanian atau perindustrian yang lebih awal, di mana standarisasi merupakan hal yang menguntungkan.   

Penyeragaman memudahkan pertukaran komponen-komponen mesin industri.  Ini merupakan keuntungan di era “mass production” atau yang sering disebut era “ban berjalan”, di mana komponen-komponen diusahakan dibuat seragam.  Tetapi kita hidup di era industri maju dan di era informasi sekarang ini, di mana rancangan produk bisa berubah dengan cepat, di mana mesin-mesin diubah dengan cepat untuk mendapatkan efiensi yang lebih besar, di mana informasi mengalir dengan cepat.  

Di era yang juga disebut sebagai “creative era”, penyeragaman  menjadi penghambat.  “Schooling” menjadi penghambat.  “Schooling” yang secara inheren memang menyeragamkan, menjadikan anak tidak kreatif.  Karena itu diperlukan konsep baru  yang saya beri nama “Unschooling”. 

Bincang "unschooling" dengan Pak Berton Turnip

Sehari Tanpa Guru

"Pulang Malu Kalau Nggak Bawa Ilmu" -- oleh Ustadz Fikri
Mark Twain, penulis legendaris dari Amerika Serikat itu, pernah menggerutui sekolahnya. Ia mencetus: "I will not let my schooling interfere with my education". Bila dialihbahasakan kira-kira begini artinya "Saya tidak pernah membiarkan sekolah mengganggu pendidikanku."

Hampir setahun mengakrabi pekerjaan sebagai guru, saya kembali tercenung dengan pernyataan Twain. Novelis 'Tom Sawyer and Huckleberry Fin' ini seolah mewakili keraguan akan peran guru di sekolah resmi. Toh, banyak insan berhasil gapai prestasi tanpa mengenyam pendidikan formal atau gelar nan istimewa.

Terantuk fikir saya pada sudut niat meniadakan sejenak eksistensi guru. Dan sengaja tenggelam di pusaran pendapat bahwa saya bisa tahu dan mencari sendiri. Gagah-gagahan bersikap mandiri, nyaris menyentuh faham atheis. Oalah.

Karena kekhawatiran atheisme tersebut, saya batasi jangka waktu tak berlama-lama nian. Cukup sehari saja. 1 x 24 jam mungkin tantangan kadar ringan. Namun, setidaknya bisa menguji praduga-praduga saya tanpa laboratorium semewah ilmuwan Prancis, almarhum Louis Pasteur.

Sehari Tanpa Guru

Ke Labuhanbatu, Melabuhkan Asa Bangsa

backdrop seminar

Bila tak gegas mengetahui geliat perubahan di Labuhanbatu, daerah-daerah lain mungkin terjingkat kaget jika tiga kabupaten yang lekat dengan perkebunan kelapa sawit ini berpotensi menyandang gelar baru. Ketiganya (Labuhanbatu Induk, Labuhanbatu Utara, dan Labuhanbatu Selatan) berpeluang menjadi teladan pendidikan baru. Detak perubahan tersebut tampak dari antusiasme guru-guru setempat melibatkan diri dalam gebrakan baru bagi pendidikan nasional. Dalam satu seminar pendidikan nasional di Asrama Haji Rantauprapat (pada 13 Oktober lalu), gebrakan tersebut diperkenalkan sebagai program TCDP (Teacher's Competency Development Program).

Seminar tersebut merupakan satu dari empat program utama yang terangkum dalam TCDP. Dimana, inti dari TCDP ini merupakan upaya mengembangkan kompetensi guru-guru di Indonesia. Mengingat pencetus dan pengembang TCDP merupakan Djalaluddin Pane Foundation (DPF) berasal dari Sumatera Utara. Maka, sasaran perdana TCDP ialah provinsi Sumatera Utara sendiri. 

Dengan tema "Indonesia Terdidik Berlandas TIK", seminar ini digelar sebagai penggugah atas pola fikir lama para guru dalam menguasai TIK untuk pengajaran. Beragam kilah telah tercetus untuk menghindari undangan pelatihan TIK. Sehingga mencuatkan anekdot sederhana ini. Cecep: Cip, mengapa tidak turut serta dalam program pelatihan TIK ini | Cicip: Ah, saya terlalu banyak kekurangan, bang | Cecep: Aih, siapa bilang? Kamu hanya punya satu kekurangan | Cicip: Oh, apa itu, bang? | Cecep: Tidak punya kelebihan.

logo program TCDP

Mengingat pencetus dan pengembang TCDP merupakan Djalaluddin Pane Foundation (DPF) berasal dari Sumatera Utara. Maka, sasaran perdana TCDP ialah provinsi Sumatera Utara sendiri. Sedikit mengerling sejarahnya, DPF merupakan warisan nilai kemanusiaan dari (alm.) Djalaluddin Pane -- mantan Bupati Labuhanbatu sebelum dimekarkan menjadi tiga pemerintahan daerah. Program pengembangan kompetensi bagi guru ini ialah  gebrakan baru daripada program bantuan langsung tunai bagi masyarakat. Tindak "memberi ikan" tersebut membuai kemandirian para penerima donor langsung. Musti "diberi (nilai) umpan" agar dapat membangun masyarakat dari keterpurukan ekonomi. Harapan beliau inilah yang kemudian menghantar digelarnya seminar di atas.


Guru: Pengajar yang senang belajar

mas Agus Sampurno | gurukreatif,wordpress.com
Karena seminar ini ditujukan bagi guru, sebuah kewajaran pembicara utamanya berasal dari kalangan guru juga, yakni Agus Sampurno. Ia dinilai tepat mempertimbangkan rekam jejak prestasinya sebagai guru yang memberdayakan TIK dalam pengajaran. Pantas bila Acer mengangkatnya sebagai jawara kompetisi Guru Era Baru (Guraru) tahun 2011 lalu.


Sebagai penggugah, Sampurno menampilkan ilustrasi unik: menggambarkan seorang siswi yang tertidur dengan kepala di atas meja belajar. Menurutnya, gambaran tersebut merupakan hasil akhir yang kerap ditemukan dalam lingkungan belajar-mengajar oleh para guru yang enggan belajar. Dalam konteks ini, ia menyayangkan beberapa paradigma negatif yang menghantui fikiran para guru untuk mengadaptasikan TIK dalam budaya belajar-mengajarnya. "Bila dibuat perbandingannya dengan budaya belajar generasi muda terhadap TIK, adalah sebagai berikut: Guru takut salah, senang menghitung untung ruginya menggunakan teknologi, Siswa tidak takut salah dan mau mencoba, Siswa anggap teknologi adalah kesenangan." Keengganan belajar ini, di sisi lain, turut mendorong budaya Internet tidak sehat bagi pelajar.

Ke Labuhanbatu, Melabuhkan Asa Bangsa

Bila Saya Guru Edison?

Di sela senggang waktu, terbit sebuah tanya menggelayut dalam benak saya. Itu tertera dalam judul tulisan ini. Pertanyaan kedua menetas: Mengapa Edison? Sebab ilmuwan yang mematenkan 2,332 penemuan [http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_Edison_patents] ini bukan sosok biasa. Ia terkenal memiliki pribadi senang bekerja keras. Menegaskannya dalam sebuah petuah "Jenius itu adalah 1% bakat dan 99% peluh (kerja keras)." Tentu, awam seperti saya berpraduga Edsion memiliki jalur pendidikan yang baik dengan segudang prestasi akademik. Tetapi, prakiraan tersebut salah.

Berkebalikan dari dugaan tersebut, Edison ternyata hanya menjalani 3 bulan masa pendidikan resmi [http://www.scribd.com/doc/37862017/Thomas-Alva-Edison-The-Man-and-the-Scientist-Subramanian-A]. Polah fikir dan kebiasaan "gila" bertanya mengusik gurunya (saat itu) G.B. Engle. Sampai, Engle menilai Edison adalah seorang siswa idiot. Penilaian tersebut membuat berang ibunya, Nancy Edison. Sebelum berlalu dari kantor Engle, ia berkata: "Bukan anak saya yang bodoh. Tetapi, andalah yang tidak bisa mengajar."

Ucapan ibu Edison ini menggema di bandul fikir saya. Nancy, merupakan anti-tesis dari Engle. Ia, dengan tekun, mendidik anaknya hingga mampu belajar sendiri dengan "melahap" buku-buku Ilmiah. Sebuah catatan pertama bagi pribadi di lingkup pendidikan: Penilaian bahwa peserta didik adalah bodoh atau tidak, ditentukan atas kerja keras dalam menyalurkan pengetahuan atawa Knowledge Transfer.

Kini, raga Thomas Alva Edison telah rapuh dalam rahim bumi. Kini, Edison-Edison muda di dunia (termasuk Indonesia) membutuhkan sosok Nancy Edison untuk mengasah kemandirian mereka menjadi jenius yang merengkuh segala bidang -- dari penemuan ilmiah hingga terobosan budaya serta seni. Agar mereka mengenal prinsip 'Jenius' a la Edison yakni 1% bakat dan 99% kerja keras. Muskil rasanya bila manusia tidak memiliki 1% bakat. :)

Sebelum ngiang pertanyaan di judul ini mengembun, teringat saya akan sebuah kalimat bijaknya William Arthur Ward: 

"Guru biasa memberitahukan, Guru baik menjelaskan, Guru ulung memeragakan, Guru hebat mengilhami"

Pertanyaan ini, saya rasa, bukan hanya mereka yang mendidik di sekolah. Dan saya titipkan juga tanya: "Bila Saya Guru Edison?". Jawabannya ada dalam relung hati kita masing-masing.

NB: Topik dan file presentasi "Bila Saya Guru Edison" ini hendak saya bawakan dalam sesi presentasi di Labuhan Batu Selatan, pada tanggal 12 Juli ini. Sebagai pengisi kegiatan Pelatihan TIK bertema: Teacher Competency Development Program yang didukung oleh Djalaluddin Pane Foundation (DPF).

Bila Saya Guru Edison?

Mei, Momentum Guru Bertanya

-- Computer is useless, it can only answer

Seniman legendaris Pablo Picasso, satu waktu, melontar sebuah pemikiran. Dalam pandangannya, seseorang memiliki nilai tatkala mampu mencetus pertanyaan. Tidak hanya memberi jawaban sebagaimana ihwal peran komputer. Jawaban sejatinya lahir dari rahim pertanyaan. Kesempurnaan terwujud bila jawaban dari pertanyaan tersebut diiringi tindakan.

Lalu, mengapa Mei menjadi momentum guru untuk bertanya? Wacana ini tidak hanya dilatar belakangi dekatnya peringatan Hari Pendidikan Nasional (2 Mei) dan Hari Kebangkitan Nasional (20 Mei). Lebih dari itu, sosok guru sesungguhnya berandil besar membangkitkan Indonesia dari lelap nan panjang. Mustahil sosok pemimpin bangsa muncul tanpa adanya jerih tenaga pendidik. Peran utama bagi jiwa yang ikhlas memberi ilmu pengetahuan dan ilham . Sehingga sasaran tulisan ini tidak hanya mereka yang mengabdi di sekolah/ universitas. Namun, juga menyentuh setiap sosok mahfum akan dua peran tersebut.

Kini, guru Indonesia benar-benar mendapat momentum bertanya bagi kebangkitan bangsa. Ini ditandai pengamatan Kishore Mahbubani, seorang pakar isu Internasional dan Asia dari University of Singapore. Menurutnya, Asia memasuki era baru sejarah dunia yang ditandai dengan dua poin utama. Pertama, kita akan melihat akhir dari era dominasi Barat dalam sejarah dunia. Tapi, ia mengimbuhkan, akhir dari dominasi Barat dalam sejarah dunia tidak berarti akhir dari Barat. Mahbubani juga meyakini bahwasanya Indonesia berpeluang sejajar China dan India dan juga berhasil menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia.

Keyakinan tersebut ditopang juga dengan perhitungan James Canton dalam "The Extreme Future: The Top Trends That Will Reshape the World for the Next 5, 10 and 20 Years". Menurutnya, Indonesia bakal bersanding dengan Brazil, Rusia, India, China, South Africa sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi dunia. Ini adalah kabar baik di saat dominasi Barat tengah limbung. Ditandai dengan ambruknya perekonomian Yunani, peralihan kursi kepemimpinan di Italia, Prancis. Dan bukan tak mungkin bakal merembes ke Amerika.

Kita jangan langsung senang. Tantangan utama menyangkut prediksi tersebut ialah penanganan serius atas lonjakan penduduk Indonesia . Hasil kajian UNDP menyebut bahwa jumlah penduduk Indonesia lebih dari 240 juta. Tingkat pertumbuhan 1,49 persen penduduk Indonesia, di sisi lain, menjadi ancaman bila tidak dibarengi ketersediaan pangan dan energi serta layanan pendidikan dan kesehatan memadai. Sebagai masukan, Indonesia berada di peringkat 124 dunia dalam upaya menangani isu pendidikan, kesehatan, dan penghasilan penduduk.

Menghadapi tantangan yang menentukan derajat Indonesia (harus diakui) bukan perkara mudah. Perlu sudut pandang memberdayakan segala kekuatan bangkit hingga kalangan elit dunia. Indonesia memiliki dua aset strategis guna mewujudkan impian tersebut. Yakni, jumlah penduduk besar dan kekayaan alam. Tetapi kedua aset tersebut nihil perannya tanpa pengelolaan oleh Sumber Daya Manusia kompeten. Di sinilah aksi guru Indonesia mendapat ruangnya.

Pembuktiannya sedikit mengulik lembar sejarah. Kebijakan pemerintahan Meiji yang mengutamakan pendidikan alih-alih kekuatan militer untuk memulihkan Jepang usai kekalahan di Perang Dunia II. Bahkan, para pelajar negeri Sakura ini juga menyerap langsung pendidikan Barat dan berani mengusung kemampuan berinovasi. Kebijakan serupa diterapkan Malaysia yang mengimpor tenaga guru dari Indonesia. Sang Jiran berhenti memohonkan tenaga pengajar Indonesia setelah memantapkan kompetensi SDM mereka telah layak dan memenuhi sektor penting dalam pembangunan negara. Termasuk diantaranya ialah tenaga guru.

Hikayat Guru Merebus Kodok

Pakar organisasi, Peter M Senge, punya metafora menarik tentang mengendalikan massa dalam bukunya "The Fifth Discipline". Ini populer disebut sebagai 'teori merebus kodok'. Senge membuat ilustrasi yang membandingkan teknik merebus hewan tersebut. Kodok pertama dimasukkan bulat-bulat ke dalam air mendidih. Tentu saja, reptil itu meronta, melawan dan gagal direbus. Di sudut lain, kodok kedua direndam ke dalam kuali berisi air dingin. Kompor dinyalakan, selang beberapa menit, air menghangat namun si kodok acuh karena sudah beradaptasi dengan perubahan suhu nan perlahan. Si kodok tetap enggan beringsut saat air semakin memanas. Hingga ia tak bisa lagi keluar karena terlanjur mendapat titel almarhum.

Teori merebus kodok tersebut laik juga diterapkan dalam membenahi pendidikan nasional. Utamanya dalam gebrakan menyertakan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) bagi proses belajar mengajar. Selain meningkatkan kompetensi guru dalam menyusun Silabus, RPP dan Teknik Penyusunan Nilai, pengusaan TIK dalam kegiatan mengajar juga penting. Fasilitas yang diusung TIK, termasuk diantaranya Internet dan Infocus, dapat diberdayakan untuk sesi diskusi, pemberian tugas, eksperimen, demonstrasi, tutorial.Nah, persoalannya para guru musti beradaptasi dengan tren kemajuan teknologi ini. Terlebih rasio jumlah penguasaan TIK antara guru dan murid amat timpang.

Secara perlahan, tenaga pengajar di setiap sekolah/ universitas dapat 'merebus' ketidakpercayaan dirinya menggunakan TIK dengan aktif mengikuti pelatihan dari lembaga yang khusus menangani ihwal ini. Semisal, Djalaluddin Pane Foundation (http://djalaluddinpane.org) yang fokus di daerah Labuhan Batu, Labuhan Batu Selatan dan Labuhan Batu Utara. Aktivis pendidikan dan program CSR Indonesia tentunya dapat meneladani langkah tersebut.Bila para guru belum menemui program pelatihan senada, jangan sungkan belajar langsung dari siswanya sesuai kebutuhan mengajar di kelas. Dengan demikian pemberdayaan TIK akan memberi sesi belajar-mengajar yang produktif. Baik bagi peserta didik dan pendidik.

Guru mahir TIK bukanlah solusi ajaib yang dapat membangkitkan bangsa dengan segera. Kreativitas dan kewibawaan guru tetap dituntut melahirkan generasi pemimpin. Guru turut menjadi pemangku "agents of change" yang kreatif merebus ketidakpercayaan dirinya, bukan muridnya. Setiap guru dapat memulai tanya berikut dalam relung hatinya: Siapkah saya menjadi bagian dari pendobrak peradaban? Siapkah saya menciptakan SDM mumpuni? Apakah saya berani memulai? Jika bukan saya (guru) yang memulai lalu siapa menurut Anda?

Sejumlah tanya yang hendaknya disusul karya nyata. Setidaknya kita (guru) mengawali dengan berani bertanya. Sebab, kita menyadari tindak 'bertanya' bukanlah tanda kebodohan. Tetapi jika kita kita hanya diam, ... .

NB: Tulisan ini diterbitkan dalam halaman opini di Harian Sumut Pos edisi 29 Mei 2012.

Mei, Momentum Guru Bertanya

Bukan Untuk Mengutak AT-ATIK

Pembentukan AT-TIK di kantor DPF
Tulisan ini lebih menjurus pribadi. Sore ini, sekira pukul 16.00 wib, para sahabat relawan yang tergabung dalam organisasi Armada Trainer - Teknologi Informasi & Komunikasi (AT-TIK) menentukan pengurus hariannya. Hasil pungut suara menetapkan saya sebagai Ketua, Adhy Kurnia Putra Fasril sebagai Sekretaris, dan Siti Nurhasannah sebagai Bendahara.

Terpilih sebagai ketua tak serta merta membuat saya senang. Saya mahfum tanggung jawab dan nama baik organisasi kini dipikulkan pada kami. Utamanya, dalam mempertahankan nilai profesionalitas terhadap Djalaluddin Pane Foundation (http://djalaluddinpane.org) -- yang dapat dikatakan ibu dari AT-TIK. Dipercaya oleh sahabat relawan AT-TIK melahirkan keharuan. Ini lah kali pertama saya duduk di posisi yang akan menetapkan keputusan sebuah organisasi.

Sejak meneladani semangat berbagi liwat blog, saya mendapat pencerahan dengan metode pelatihan DPF bagi guru-guru. Pendekatan ini amat menarik. Tidak hanya menyalurkan  faedah TIK untuk kegiatan belajar-mengajar, saya pun mendapat cakrawala pengetahuan baru. Satu diantaranya: kepercayaan diri membimbing orang dewasa. Sebuah napaktilas baru dalam kehidupan saya yang dulunya pendiam atawa pasif.

Pun, peningkatan kompetensi guru sangat mendukung kemajuan bangsa. Saya meyakini petuah bijak "Tanpa Satu, Mustahil Ada Seribu". Sementara peserta guru dalam pelatihan yang digelar di wilayah konsentrasi DPF (Labuhan Batu, Labuhan Batu Selatan) ternyata lebih dari satu. Dari satu peserta inipun sangat mungkin melahirkan generasi pemimpin bangsa. Oleh karenanya, DPF melahirkan AT-TIK agar dapat melebarkan sayapnya. Tidak hanya di Labuhan Batu & Labuhan Batu Selatan saja, namun seluruh Sumatera Utara.

Apakah impian ini dapat tercapai? Saya tak jawab dalam tulisan ini, tapi melalui kerja sama dan kerja keras kami -- para relawan AT-TIK. Saya belajar memimpin AT-TIK, tetapi bukan untuk mengutak AT-TIK. Terima kasih sahabats.

“Coming together is a beginning. Keeping together is progress. Working together is success.”
------- Henry Ford

Bukan Untuk Mengutak AT-ATIK

Kaizen, Haisen

dibuat oleh Yusuf
Meniti karir baru di dunia pendidikan, sesekali memberi pengalaman yang mengusik saya.Ihwal yang terutama ialah menabukan salah dan gagal. Ciri khasnya mudah ditemui pada kalimat berdalih:"Cemana (bagaimana) kalau saya salah, pak?", "Pak, saya gak (tidak) tahu apa-apa". Atau membisu dengan tatap nanar, (mungkin) sembari berdoa khyusuk agar jarum waktu cepat berputar membunyikan waktu istirahat/ pulang. Hehehe. Lalu menyusul tawa ganjil dipadu garuk-garuk di kepala.

Fikiran saya pun menerawang pada temu ramah dengan pemilik Yayasan Hikari, bapak Kadri. Intisari cengkerama sepeminum kopi dengan beliau meninggalkan selarik pesan sarat ilham. "Pada dasarnya, dan saya juga amat yakin, bahwasanya tidak ada sebutan bodoh (bagi murid). Tapi malas." Bagi beliau, pengentasan 'bodoh' ini akan terwujud dengan adanya proses belajar. Periode waktu yang dihabiskan untuk belajar memang membedakan tingkat pemahaman masing-masing siswa. Namun, seburuk apa pun pemahamannya, ini toh soal pendayagunaan waktu.

Tulisan Pongki Pamungkas dalam kolom Pernik, di Majalah SWA, memberi saya pencerahan. Dia mengutip wejangan luhur Jepang — dari buku berjudul "Toyota Way"— yang menyebut proses belajar ini sebagai Kaizen. Napaktilas hidup manusia kerap menyentuh proses belajar hingga akhir hayat. Demikianlah Kaizen memaknainya sebagai perbaikan diri tiada henti. Musababnya, kesalahan menduduki porsi besar dalam adegan belajar kita. Kita tidak luput dari salah. Maka, susullah kesalahan tersebut dengan perbaikan-perbaikan. Gagal lagi, bangkit lagi. Bangkit untuk yang lebih lagi dengan menerapkan Hansei. Lha, makanan apa pula ini?

Dituturkan Pongki, Hansei merupakan tindak merenungi perbuatan yang salah, keliru, menyesali dan memperbaikinya. Di buku rujukannya juga menyebutkan bahwa Kanzai dan Hansai merupakan pola kebijakan yang menyatu. Setiap kesahalan yang dilakukan semestinya dikaji dalam. Lalu menetapkan garis teguh tidak akan mengulanginya kembali. Sebenang merah dengan nasihat: "Jangan jatuh di lubang yang sama."

Saya akui terdapat rasa nyaman bila tidak pernah menorehkan blunder. Hanya saja, rasa malas tersebut tidak ubahnya menimbun peluang dan talenta yang kasat mata. Motivator legendaris, Dale Carnegie, memberi tips sederhana. Mengapa khawatir (gagal)? Toh, (selama) tidak ada yang akan akan menjebloskan anda ke penjara, ujarnya.

Tanpa menyebut siapa, budaya Kanzai dan Hansai hendaknya menjadi suluh pencerah atas debar-debar takut gagal. Toh, tidak semua mampu belajar perdana mengendarai sepeda tanpa terjatuh. Juga, tidak semua mampu cas-cis-cus berbahasa tanpa menjalani praktik ucapan dan tulisan terus-menerus.

Gagal laiknya bumbu pahit, pedas yang menyedapkan makanan. Baik malas dan enggan memperbaiki kesalahan lah yang    menjadi bayang-bayang sebutan bodoh. Dengan demikian, si pembuat kesalahan diberi ruang lagi untuk memperbaikinya. Pongki sendiri mendesak dipudarkannya kebiasaan menyalahkan. Jangan menyalahkan orang lain, tuturnya sebagai judul kolom tersebut. Nah!?

Kaizen, Haisen

Meninggalkan kapur

Saya menjadi pemateri di Rantauprapat
Parafrase di atas mencuat dalam technical meeting Pelatihan Pemanfaatan TIK dalam Pembelajaran yang ke-3 bagi guru-guru SMA/K se-Labuhan Batu. Sang pencetusnya salah satu trainer Agus Salim -- yang turut bersama kami -- dalam kegiatan 3 hari (17 - 19 November 2011) tersebut. Pelatihan ini sendiri digagas oleh lembaga filantropi Djalaluddin Pane Foundation (DPF) dan didukung oleh Telkom Indonesia, Bank Syariah Mandiri, Lembaga Amil Zakat Nasional Bangun Sejahtera Mitra Umat (LAZNAS BSM). Enam belas guru berbagai mata pelajaran dari 7 SMA & SMK swasta di sekitar Rantau Prapat turut serta dalam pelatihan.

Terbersitnya kata-kata tersebut bertalian dengan petuah bahwasanya "belajar berarti berubah". Perubahan itu sendiri, sangat diharapkan, berimbas baik pada kemajuan bangsa. Jika diibaratkan sebuah skenario film, maka 'kail-kail' pengetahuan yang diberikan kepada para guru di Rantau Prapat ini dapat ditularkan bagi ratusan generasi muda atau anak didik mereka. Hendra Yudha, salah seorang pentolan DPF pun yakin para pemimpin dapat lahir dari jerih payah Guru Era Baru (Guraru) ini -- sebutan yang dipopulerkan oleh Acer.

Aral perdana dalam pelatihan tersebut ialah banyak peserta yang belum pernah menjamah komputer. Penyebutan istilah bahasa Inggris dalam pengoperasian komputer pun seolah 'gelitikan' baru bagi telinga mereka. Beberapa juga masih canggung menekan bilah-bilah keyboard dan sedikit gugup mengendalikan tetikus atau mouse. Alhasil, indikator tetikus (pointer) -- yang umumnya berbentuk panah putih -- berseliweran di sudut-sudut monitor. Namun, ini bukan hal yang mengejutkan; sebab pihak DPF memang mengundang para peserta yang belum mahfum komputer. Terutama pemberdayaannya dalam kegiatan belajar mengajar.

Sandungan kedua adalah dukungan persoalan teknis di laboratorium komputer. Imbasnya, beberapa praktik pelatihan pun terganjal. Dalam beberapa sesi praktik, peserta mesti bersabar untuk mencoba langsung bagaimana mendaftarkan diri untuk E-mail (GMail dan Yahoo), Facebook, Twitter, Blog (Dagdigdug.com) dan bahkan layanan 'cloud computing' di Dropbox. Pada hari ketiga, peserta membentuk kelompok mini untuk menyiasati kendala tersebut guna 'mencicipi' langsung layanan pembuatan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) di situs Rumah Belajar (http://belajar.kemdiknas.go.id). Sesuai nama domain utama websitenya, layanan mayantara ini diasuh oleh Kementerian Pendidikan Nasional. Ini merupakan sesi 'primadona' -- disamping membuat presentasi pelajaran menggunakan Microsoft Power Point -- bagi para guru. Pasalnya, bukan perkara mudah menyusun RPP secara manual, lalu diketik ulang dengan aplikasi komputer.


Melihat ke depan

Spanduk pelatihan di SMK Siti Banun, Rantauprapat
Saya dan mas Agoez Perdana
Permasalahan tersebut seolah sirna oleh kegigihan para peserta selama tiga hari pelatihan di Laboratorium Komputer milik SMK Siti Banun, Sigambal. Bila mengalami kendala, mereka tak sungkan memohon penjelasan dan bantuan teknis dari trainer dan assisten trainer -- keseluruhannya adik-adik mahasiswa IAIN dan USU. Walau tidak dinoktahkan secara tertulis, secara lisan seluruh insan yang terlibat dalam pelatihan ini memiliki visi yang sama: Melihat ke depan.

Visi melihat ke depan, secara sederhana, merupakan tindak menanam investasi moral dan juang agar menuai hasil yang teguh.

Kembali ke 'skenario' tadi, usai mengikuti pelatihan ini para peserta diharapkan dapat menyajikan bahan pelajaran dengan menarik dan mudah dipahami siswa mereka. Visi ini butuh pengorbanan waktu serta kesabaran agar harapan itu terwujud. Maka, petuah "belajar berarti berubah" harus dibarengi nilai bahwa "belajar juga membuat salah". Perbaikan-perbaikan yang dibuat dari kesalahan tersebut bakal menjadi pengalaman yang tak ternilai harganya.

Oleh karenanya, pas betul parafrase "meninggalkan kapur" di atas terlontar. Langkah-langkah yang dirintis dalam pelatihan ini akan menggamit guru dalam mengubah paradigma bahwa kegiatan belajar mengajar masih berkaitan dengan kapur atau sejenisnya. Para siswa, secara langsung, akan terlibat dalam proses belajar yang interaktif dengan guru. Dengan layanan-layanan mayantara persoalan waktu dan jarak menjadi bias. Kedua pihak dapat aktif berdiskusi, baik di dunia nyata dan mayantara. Toh, fasilitas tersebut gratis, bukan?

Seraya menambahkan, bahwasanya DPF dengan visinya “Pendidikan Berkualitas Pro-mustadh’afin” menggandeng berbagai pihak untuk mempersiapkan SDM Indonesia agar mampu menghadapi tantangan global. Memajukan pendidikan kewiraswastaan berbasis nurani ihsani dan teknologi merupakan salah satu jalan yang ditempuh.

Dengan demikian, kegiatan belajar pun mirip dengan kalimat gombal "cinta itu buta". Belajar itu tidak mengkastakan usia, jabatan, status kekayaan materi, suku maupun agama. Pemerintah sendiri juga mengampanyekan semangat senada: "Education for all". Pendidikan bagi semua. Kini, perjuangan membangun bangsa bukan lagi menyebut 'saya', tetapi 'kita'. Iya, kita.


Ananta Politan Bangun

Trainer/ Guru SMK Kesehatan Wirahusada Medan

Medan, 22 November 2011




Catatan:

Tulisan ini merupakan laporan kegiatan saya sebagai salah satu trainer. Info lainnya dapat dilirik di tautan di bawah ini:

http://www.djalaluddinpane.org/programs/2011/11/23/6/13/Pelatihan-Pemanfaatan-TIK-dalam-Pembelajaran-Periode-III.html

http://www.youtube.com/watch?v=l4vlWOIqbvA&feature=player_embedded


Tulisan ini juga telah disunting dan diterbitkan harian Tribun Medan, pada Senin 28 November 2011.

Meninggalkan kapur