Tampilkan postingan dengan label meutya hafid. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label meutya hafid. Tampilkan semua postingan

Bincang Social Media di #RumBerdikari
![]() |
gambar poster diskusi SocMed oleh #RumBerdikari |
"Saat ini, belum ada jurusan (kuliah) Social Media." Demikian
sebuah cetusan oleh Adi S. Nugroho. Salah satu pembicara yang memandu diskusi
#RumBerdikari dengan topik 'Meraih Manfaat Lewat Social Media'. Ia duduk di
gundukan panggung kecil bersama Meutya Hafid (founder Mutumanikam Nusantara
Center) serta Wicaksono (mantan jurnalis Tempo yang kini menjadi Pemred Plasa
MSN). Perpaduan pembicara yang tepat. Pun, moderator, Wahyu Hidayat, sahabat
saya ini berhasil memberdayakan Social Media sebagai mata pencaharian.
Lalu, dimana pertautan yang dinyatakan pemilik akun Twitter @Sheque dengan
diskusi teranyar, pada Sabtu (22 Des 2012) kemarin?
Adi, yang akrab disapa Seseq, menjelaskan adanya tren lowongan kerja untuk
posisi Social Media Manager lah yang jadi penculik perhatian. Sedikit dari
banyak terobosan yang dikandung Teknologi Informasi dan Komunikasi ini. Ia
meyakini, ini bukan fenomena yang bersifat sementara. Dikarenakan perannya
sebagai wadah berkumpul para insan dan terselip juga budaya saling menebar
pengaruh. Oleh Seseq ini disebut 'personal recommendation'.
Wicaksono turut juga menimpali dengan kiat memanfaatkan Social Media untuk
pengembangan diri/ jembatan karir. Menurut blogger berjuluk @Ndorokakung ini,
kemauan untuk membuat sesuatu, diiringi tindakan yang tekun, dus adanya faktor
keberuntungan dapat menjadi pewujud harapan tersebut. Sebagai pemisalan, ia
menyebut seorang temannya, seorang mantan seniman, hendak mendaftar Twitter
sebagai wadah menyebar puisi karyanya. "Jam berapa Twitter dibuka? Berapa
harganya?," Ndorokakung menirukan pertanyaan sang mantan seniman, disusul
gelak tawa.

Melihat Wanita di Mata Meutya
Penggal nama di atas selengkapnya tertera Meutya Viada Hafid. Sebagaimana
orang Indonesia umumnya, saya mengetahui nama tersebut menyusul peristiwa
penyanderaannya oleh faksi Mujahidin Irak. Satu pengalaman unik yang
mengingatkan pada petuah mantan Perdana Menteri Inggris, Winston Churchill:
"Saya baru merasakan hidup saat peluru berdesing di atas kepala
saya." Benar bahwasanya kisah penyanderaan Meutya dan rekannya,
Budiyanto, dapat diulik dalam memoar
'168 Jam Dalam Sandera'. Namun, hikmah dan jalannya pengalaman tersebut lebih
terserap dengan berbincang langsung ke tokoh utamanya.
Kesempatan tersebut datang usai saya turut serta dalam pelatihan penulisan
dan penerjemahan berita di Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara -
Jakarta, pada September 2009. Saya langsung tanya saja: Bagaimana karakternya
bisa terpolah hingga berani mengarung Irak yang belum stabil keamanannya?
Utamanya melihat kodrat dirinya sebagai seorang wanita.
Dengan tenang, beliau menuturkan bahwa sosok orangtuanya mengilhami sebagian
besar karakter juang tersebut. Ia telah belajar mandiri sejak mengambil
pendidikan menengah atas di Crescent Girls School Singapore, Singapura. Tatkala
melanjut ke University of New South Wales, Meutya juga belajar mencari nafkah
di negeri Kangguru tersebut. Musababnya, krisis moneter berimbas pada pemutusan
hak beasiswa. Ia lalu mengambil kerja partuh waktu di dua tempat: restoran
cepat saji dan pabrik pengepakan majalah. Setelah melayani tamu-tamu di
restoran, ia lalu bekerja menempelkan lembaran tambahan atau hadiah ke halaman
tengah majalah. “Selama 10 jam dipotong istirahat makan siang 30 menit,
tanganku terus-menerus bergerak naik-turun menyerupai mesin, menempelkan
hadiah. Jika kelamaan, badanku sering limbung karena pusing terus-menerus melihat
ribuan majalah yang tak berhenti berputar," tutur Meutya sebagaimana juga
diucapkan dalam buku memoarnya sendiri.
Melihat Wanita di Mata Meutya
Langganan:
Postingan (Atom)