Tampilkan postingan dengan label fastron blogging challenge. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label fastron blogging challenge. Tampilkan semua postingan

Perkenalkan, Kartini 2.0
![]() |
(dari kiri): ibu Juliawati, ibu Marsiti dan saya |
Mereka adalah Kartini
2.0. Tidak hanya teknologi, manusia juga berkembang di arus zaman digital ini.
Mengesampingkan fisik dan busana, mereka adalah srikandi baru yang mengutamakan
tumbuhnya pemahaman dan kemampuan di bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi
(TIK). Agar bersanding dengan amanah yang mereka tempuh hingga puluhan tahun:
sebagai guru.
Saya mengenal mereka
dalam program pelatihan bertajuk Teacher Competency Development Program (TCDP)
yang didukung penuh oleh sebuah organisasi nirlaba, Djalaluddin Pane Foundation
(DPF) [http://djalaluddinpane.org].
Pelatihan ini diadakan di Pondok Pesantren Modern Ar-Rasyid, di Torgamba,
Labuhan Batu Selatan. Sebuah kabupaten yang dalam lingkup provinsi Sumatera
Utara.
Usai pelatihan, dalam
hati, saya membuat ikrar sendiri. Mencantum nama ibu Siti Marsiti dan Juliawati
dalam tulisan saya. Bila boleh, hendak saya cuatkan dalam wadah yang lebih luas
selain blog pribadi ini. Saya temukan jawabnya setelah melirik tautan lomba
blog Fastron Blogging Challenge, di akun Twitter milik sahabat saya, Nicholas
Sihotang [http://nichpakaich.net].
Lalu, mengapa kedua
srikandi penebar ilmu pengetahuan di bumi Labuhan Batu Selatan ini, saya sebut
Kartini 2.0 . Berikut rajut aksara ini mengalir.

Melihat Wanita di Mata Meutya
Penggal nama di atas selengkapnya tertera Meutya Viada Hafid. Sebagaimana
orang Indonesia umumnya, saya mengetahui nama tersebut menyusul peristiwa
penyanderaannya oleh faksi Mujahidin Irak. Satu pengalaman unik yang
mengingatkan pada petuah mantan Perdana Menteri Inggris, Winston Churchill:
"Saya baru merasakan hidup saat peluru berdesing di atas kepala
saya." Benar bahwasanya kisah penyanderaan Meutya dan rekannya,
Budiyanto, dapat diulik dalam memoar
'168 Jam Dalam Sandera'. Namun, hikmah dan jalannya pengalaman tersebut lebih
terserap dengan berbincang langsung ke tokoh utamanya.
Kesempatan tersebut datang usai saya turut serta dalam pelatihan penulisan
dan penerjemahan berita di Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara -
Jakarta, pada September 2009. Saya langsung tanya saja: Bagaimana karakternya
bisa terpolah hingga berani mengarung Irak yang belum stabil keamanannya?
Utamanya melihat kodrat dirinya sebagai seorang wanita.
Dengan tenang, beliau menuturkan bahwa sosok orangtuanya mengilhami sebagian
besar karakter juang tersebut. Ia telah belajar mandiri sejak mengambil
pendidikan menengah atas di Crescent Girls School Singapore, Singapura. Tatkala
melanjut ke University of New South Wales, Meutya juga belajar mencari nafkah
di negeri Kangguru tersebut. Musababnya, krisis moneter berimbas pada pemutusan
hak beasiswa. Ia lalu mengambil kerja partuh waktu di dua tempat: restoran
cepat saji dan pabrik pengepakan majalah. Setelah melayani tamu-tamu di
restoran, ia lalu bekerja menempelkan lembaran tambahan atau hadiah ke halaman
tengah majalah. “Selama 10 jam dipotong istirahat makan siang 30 menit,
tanganku terus-menerus bergerak naik-turun menyerupai mesin, menempelkan
hadiah. Jika kelamaan, badanku sering limbung karena pusing terus-menerus melihat
ribuan majalah yang tak berhenti berputar," tutur Meutya sebagaimana juga
diucapkan dalam buku memoarnya sendiri.
Melihat Wanita di Mata Meutya

Mengenali Wanita
Semilir perasaan saya sedikit bergolak. Tatkala
mengerling tantangan di laman Fastron Blogging Challenge [http://http://fastronbloggingchallenge.com/].
Permintaannya sederhana saja: menulis tentang wanita. Tantangan nan sahaja ini
seibarat tenangnya arus sungai yang menghanyutkan. Amat mendalam, sebab ia
mensyaratkan untuk (sedalamnya) mengenali wanita yang menjadi ilham tulisan
tersebut.
Semestinya, saya sudah mampu mengenali wanita
saat masih terlelap dalam rahim ibu saya sendiri. Saat memiliki saudari
perempuan kandung saya, Lawrent Bangun. Saat mengalami rasa jatuh cinta pertama
kalinya. Dan ragam pengalaman yang membuat nilai-nilai hidup terpatri utuh
dalam hati.
Tetapi, tantangan ini membuat sebuah perbedaan
tentang mengenali wanita. Ia meminta pandangan dari empat sisi: Work (karir),
Life (kehidupan), Love (kasih) dan Spiritual (kerohanian). Beberapa nama
berkelebat di wahana fikir saya, hingga bertemu satu tokoh yang padan dengan
tantangan tersebut.
Setelah mendapat perkenannya
melalui telepon seluler, saya pun haikul yakin dapat bertemu beberapa sosok
baru untuk mengilhami tulisan lain tentang mengenali wanita. Benar juga, mereka
saya temukan dalam program Teacher Competency Development Program (TCDP). Nah,
siapa mereka? Jawabnya akan saya terbitkan dalam blog ini. Saya janji akan
membuat sebuah tulisan yang dapat memandang sosok mereka dari keempat sisi
pandang di atas. Dan, pergolakan di hati saya serta sahabat lainnya semoga
mereda. Dengan mengenali wanita (yang sesungguhnya).
Mengenali Wanita
Langganan:
Postingan (Atom)