Asyiknya dibimbing Guru Geli TIK
Zaman kini bukan ihwal lazim ramal-meramal. Namun, amat mungkin
banyak menyepakati hasil akhir ramalan dari pengandaian berikut. (Seandainya)
seorang guru aljabar mengajarkan dan bersikeras bahwa 1 + 1 = 3 kepada muridnya
selama 10 tahun berturut-turut, bisa dipastikan ia bersumbangsih atas
kehancuran sebuah generasi. Bila merunut rata-rata kelas di sekolah ialah 30
siswa, maka secara keseluruhannya si guru menelikung kesepakatan dalam
matematika terhadap 30 siswa x 10 tahun = 300 siswa. Ini belum menyebut
kekeliruan serupa yang turut dilakukan ke-300 orang tersebut bagi masyarakat di
sekitarnya.
Terlalu ekstrem dan hiperbolis. Wajar saja jika segelintir
pembaca berpendapat demikian. Saya petik hikmahnya: guru memangku pengaruh
besar dalam membentuk pemahaman dan sikap generasi bangsa. Tanggung jawab
sebesar ini, di satu sisi, menjadi beban tersendiri. Mereka dilema antara
kesejahteraan yang kurang dan amanah moral berbagi pengetahuan. Sayangnya isu
kesejahteraan inilah 'kambing hitam' atas minimnya pengembangan kompetensi guru
dalam metode pengajaran. Bila dibiarkan akan berujung tidak jauh berbeda dengan
hasil ramalan di atas.
Ihwal kesejahteraan secara bertahap akan ditanggulangi melalui
program pemerintah semisal: Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK)
dan Sertifikasi Guru. Nah, permasalahan utama ialah bergegas mengejar stagnansi
metode pengajaran yang menyesuaikan tren kemajuan zaman. Mengapa? Menurut
perhitungan James Canton dalam "The Extreme Future: The Top Trends That
Will Reshape the World for the Next 5, 10 and 20 Years", Indonesia bakal
satu diantara beberapa negara Asia yang berpengaruh di dunia. Musababnya, aset
kekayaan alam dan jumlah sumber daya manusia penting dalam merealisasikan perhitungan
Canton tersebut.
Jumlah siswa melek teknologi yang timpang dengan guru mereka
ialah tantangan yang semestinya gegas ditanggulangi. Imbas buruknya siswa
menyaring arus informasi dari Teknologi Komunikasi & Informasi (TIK) ini
seolah tanpa pendamping. Terlebih pemanfaatan TIK ini amat jarang diterapkan
dalam kegiatan belajar-mengajar. Patut disayangkan, mengingat Kementerian
Pendidikan Nasional telah menyediakan fasilitas lengkap (bahan belajar
interaktif, RPP, bank soal, serta media animasi gambar, video, audio dan
presentasi) di situs http://belajar.kemdiknas.go.id. Jika demikian, tentu
menyenangkan bila guru Indonesia geli TIK. Sengaja saya 'pelesetkan' agar
mengubah perspektif guru akan teknologi ini.
Faktor usia umumnya mengganjal laju pemahaman para guru untuk
turut memberdayakan TIK dalam kegiatan belajar mengajar. Alasan jamak mereka,
sudah terlalu tua untuk belajar lagi. Dalam kajian fasilitator senior
"Pembelajaran Orang Dewasa", dr. Yahya Wardoyo, SKM, menyebutkan
bahwa orang dewasa tidak bisa begitu saja mau (dan dapat) belajar; suatu
keengganan untuk belajar dari orang lain. Keengganan tersebut biasanya
dikarenakan tiada motivasi merubah pendapat atau pandangan lama. Pendapat ini
tentu berseberangan dengan teori Charles Darwin bahwasanya mereka yang mampu
beradaptasi akan bertahan hidup.
Teori Darwin tersebut bukanlah kisah horor agar para guru ciut
nyalinya. Energi kekhawatiran tersebut hendaknya disalurkan untuk menciptakan
kreatifitas dalam kegiatan mengajar. Saling berbagi pengalaman dan ide bersama
peserta didik adalah strategi awal menjadi guru geli TIK. Jurang pemahaman akan
dijembatani melalui kerjasama dan komunikasi nan menyenangkan. Suasana tersebut
tentu berimbas pada pencapaian kegiatan belajar agar siswa menyerap pengetahuan
dengan baik.
Perlu Perintis Beragam Latar Belakang
Harapan supaya guru geli TIK bukan impian muluk, membutuhkan
perintis yang mengajari para guru tersebut. Bila gemas menanti gebrakan
pemerintah, mari bentuk tindak nyata yang dapat merangkul mereka. Kunci pertama
ialah menggabungkan berbagai unsur guna menemukan pendekatan cespleng terhadap
peningkatan kompetensi guru mahir memberdayakan TIK. Dalam kasus ini, pada
umumnya menggunakan komputer dan Internet. Jika hanya mengandalkan (katakanlah)
praktisi komputer saja pemahaman guru bakal buntu. Para pengajar di sekolah
tersebut akan kesulitan bila tidak menemui kasus yang paling dekat dengan
aktivitas mereka. Dengan demikian, minimalnya dibutuhkan kolaborasi praktisi
komputer dan kalangan guru.
Materi pelatihan untuk gerakan ini sudah melimpah di dunia
mayantara atawa Internet. Agar tidak dicap kaum "copy-paste"
hendaknya sejumlah isi disunting rapi dan menjejali beberapa ide serta
informasi milik tim sendiri. Akan lebih afdol, jika guru peserta pelatihan juga
turut menyumbang saran yang menambah khasanah pengembangan kompetensi mereka.
Pilar akhir untuk gerakan ini ialah pendanaan. Sila dilirik
lembaga filantropi yang teguh berkutat dalam penguatan kualitas pendidikan.
Baik (pendekatannya) melalui guru maupun siswa. Dana dari lembaga seperti ini
akan menjaga 'asap dapur' penggiat memajukan pendidikan Indonesia, termasuk
gerakan guru geli TIK, 'tetap ngepul'. Disamping itu, bijak juga
mempertimbangkan sejumlah infrastruktur yang dapat diberdayakan secara
cuma-cuma dari pemerintah dan pihak korporasi swasta.
Adanya gebrakan ini akan menunjukkan sebuah pencerahan: Tidak
perlu jadi petinggi tertentu untuk membuat perubahan di negara ini. Dengan
mengetahui serta memiliki talenta mumpuni dalam satu titik persoalan strategis
bangsa, semisal pendidikan, bakal ada harapan baru memajukan Indonesia. Tidak
harus serta merta ataupun cepat dalam menuai hasil akan generasi yang mandiri,
ahlak beragama, berjiwa nasionalis dan berempati pada sesama insan. Ini seperti
mengingatkan pada petuah Bung Karno: "Tetapi betapa pun panjangnya sebuah
perjalanan, ia harus dimulai dengan langkah-langkah pertama., dan itu mulai
kami lakukan ...".
Ananta Bangun
Guru SMK Kesehatan Wirahusada Medan, Trainer, Semi-Blogger* Tulisan ini adalah sari pendapat pribadi, diterbitkan di Harian Sumut Pos tanggal 3 Mei 2012.
0 komentar:
Posting Komentar