Tampilkan postingan dengan label TIK. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label TIK. Tampilkan semua postingan
Mengenal TIK
dipinjam dari Ajku.edu.pk |
Outline ini merupakan pembahasan awal
dalam mata kuliah “Pemrograman Web.” Tindak untuk mengenal Teknologi Informasi
dan Komunikasi (TIK) merupakan langkah awal sebelum membuat program yang
berjalan melalui aplikasi browser (peramban). Sebagai langkah awal ialah
pentingnya pemahaman dan pemberdayaan layanan under web. Dalam kasus
ini, dosen pengasuh fokus pada e-mail dan blog.
Saat ini kita hidup di sebuah kampung
bernama Bumi. Bukan lagi wilayah yang tersekat batas provinsi, bahkan negara.
Tsunami yang menyapu Jepang, pernikahan megah Pangeran Harry Williams
dengan Putri Kate Middleton ataupun napaktilas perdana manusia di Bulan dapat
diketahui siapa saja di planet biru ini. Secara kasat mata, terdapat ratusan
satelit yang menyerap dan melepas informasi-informasi untuk dipilah dan disebar
bagi masyarakat. Dengan satu prasyarat, mereka memahami dan memiliki Teknologi
Informasi dan Komunikasi (TIK).
Dampak perkembangan TIK ini sendiri
sungguh menarik. Bila dulu manusia sulit mengambil keputusan karena minimnya
informasi. Maka kini, banjir informasi justru kian mempersulit pengambilan
keputusan. Fenomena yang sejalan penilaian Alvin Toffler sebagai “buta huruf
abad 21”. Karenanya tantangan bagi kita pun turut berubah: bagaimana
memberdayakan teknologi informasi dan komunikasi dalam upaya pencapaian hasil
maksimal?

Berpuluh Tahun Belajar TIK, Untuk Apa?
![]() |
bersama Ustadz Muis, Kepsek PPM Ar-Rasyid |
Fikiran saya tak jua lepas dari tanya di atas.
Sejumput perenungan sebelum detak waktu tak lagi mengacuhkan tahun yang sarat
dengan ramalan konyol: kiamat muncul di tahun 2012. Ringkasnya, pencerminan
kembali napaktilas hidup dengan minat yang saya geluti semenjak berseragam
putih-biru. Yakni Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).
Sering saya mengulas senyum sendiri tatkala jari kenangan mengulik momen kali pertama membuat PC komputer 'hang' dengan kombinasi menekan tombol keyboard tak beraturan. Saya bahkan lupa bilah apa saja yang telah ditekan. Esoknya, ia dikebumikan sang pemilik rental ke timbangan besi bapak pemulung. Saya masih hafal betul nama rental tersebut "Citra Computer" (di Simpang Sumber, USU - Medan) dengan tarif Rp1.000,- per jamnya.
Perjalanan saya mempelajari TIK kian mengalir dari jajaan murah majalah bekas di Pajak USU. Kemudian, mencuri hafal buku-buku TIK yang dipajang di toko buku Gramedia. Hingga ke meja-meja rembug bersama sahabat blogger di kota Medan ini. Sebuah pengalaman yang menuang ilham ke dalam kendi pengetahuan. Dan kerap juga menggelikan, mengingat latar belakang pendidikan sastra yang jarang nian menyentuh pendayagunaan TIK.
Sering saya mengulas senyum sendiri tatkala jari kenangan mengulik momen kali pertama membuat PC komputer 'hang' dengan kombinasi menekan tombol keyboard tak beraturan. Saya bahkan lupa bilah apa saja yang telah ditekan. Esoknya, ia dikebumikan sang pemilik rental ke timbangan besi bapak pemulung. Saya masih hafal betul nama rental tersebut "Citra Computer" (di Simpang Sumber, USU - Medan) dengan tarif Rp1.000,- per jamnya.
Perjalanan saya mempelajari TIK kian mengalir dari jajaan murah majalah bekas di Pajak USU. Kemudian, mencuri hafal buku-buku TIK yang dipajang di toko buku Gramedia. Hingga ke meja-meja rembug bersama sahabat blogger di kota Medan ini. Sebuah pengalaman yang menuang ilham ke dalam kendi pengetahuan. Dan kerap juga menggelikan, mengingat latar belakang pendidikan sastra yang jarang nian menyentuh pendayagunaan TIK.
Berpuluh Tahun Belajar TIK, Untuk Apa?

Ke Labuhanbatu, Melabuhkan Asa Bangsa
![]() |
backdrop seminar |
Bila
tak gegas mengetahui geliat perubahan di Labuhanbatu, daerah-daerah lain
mungkin terjingkat kaget jika tiga kabupaten yang lekat dengan perkebunan
kelapa sawit ini berpotensi menyandang gelar baru. Ketiganya (Labuhanbatu
Induk, Labuhanbatu Utara, dan Labuhanbatu Selatan) berpeluang menjadi teladan
pendidikan baru. Detak perubahan tersebut tampak dari antusiasme guru-guru
setempat melibatkan diri dalam gebrakan baru bagi pendidikan nasional. Dalam
satu seminar pendidikan nasional di Asrama Haji Rantauprapat (pada 13 Oktober
lalu), gebrakan tersebut diperkenalkan sebagai program TCDP (Teacher's
Competency Development Program).
Seminar
tersebut merupakan satu dari empat program utama yang terangkum dalam TCDP.
Dimana, inti dari TCDP ini merupakan upaya mengembangkan kompetensi guru-guru
di Indonesia. Mengingat pencetus dan pengembang TCDP merupakan Djalaluddin Pane
Foundation (DPF) berasal dari Sumatera Utara. Maka, sasaran perdana TCDP ialah
provinsi Sumatera Utara sendiri.
Dengan
tema "Indonesia Terdidik Berlandas TIK", seminar ini digelar sebagai
penggugah atas pola fikir lama para guru dalam menguasai TIK untuk pengajaran.
Beragam kilah telah tercetus untuk menghindari undangan pelatihan TIK. Sehingga
mencuatkan anekdot sederhana ini. Cecep: Cip, mengapa tidak turut serta dalam
program pelatihan TIK ini | Cicip: Ah, saya terlalu banyak kekurangan, bang |
Cecep: Aih, siapa bilang? Kamu hanya punya satu kekurangan | Cicip: Oh, apa
itu, bang? | Cecep: Tidak punya kelebihan.
Mengingat
pencetus dan pengembang TCDP merupakan Djalaluddin Pane Foundation (DPF)
berasal dari Sumatera Utara. Maka, sasaran perdana TCDP ialah provinsi Sumatera
Utara sendiri. Sedikit mengerling sejarahnya, DPF merupakan warisan nilai
kemanusiaan dari (alm.) Djalaluddin Pane -- mantan Bupati Labuhanbatu sebelum
dimekarkan menjadi tiga pemerintahan daerah. Program pengembangan kompetensi
bagi guru ini ialah gebrakan baru
daripada program bantuan langsung tunai bagi masyarakat. Tindak "memberi
ikan" tersebut membuai kemandirian para penerima donor langsung. Musti
"diberi (nilai) umpan" agar dapat membangun masyarakat dari
keterpurukan ekonomi. Harapan beliau inilah yang kemudian menghantar digelarnya
seminar di atas.
Guru:
Pengajar yang senang belajar
![]() |
mas Agus Sampurno | gurukreatif,wordpress.com |
Sebagai
penggugah, Sampurno menampilkan ilustrasi unik: menggambarkan seorang siswi
yang tertidur dengan kepala di atas meja belajar. Menurutnya, gambaran tersebut
merupakan hasil akhir yang kerap ditemukan dalam lingkungan belajar-mengajar
oleh para guru yang enggan belajar. Dalam konteks ini, ia menyayangkan beberapa
paradigma negatif yang menghantui fikiran para guru untuk mengadaptasikan TIK
dalam budaya belajar-mengajarnya. "Bila dibuat perbandingannya dengan budaya
belajar generasi muda terhadap TIK, adalah sebagai berikut: Guru takut salah,
senang menghitung untung ruginya menggunakan teknologi, Siswa tidak takut salah
dan mau mencoba, Siswa anggap teknologi adalah kesenangan." Keengganan
belajar ini, di sisi lain, turut mendorong budaya Internet tidak sehat bagi
pelajar.
Ke Labuhanbatu, Melabuhkan Asa Bangsa
Hikayat Guru Merebus Kodok
dipinjam dari: Danspira.com |
Pakar organisasi, Peter M Senge, punya metafora menarik tentang
mengendalikan massa dalam bukunya "The Fifth Discipline". Ini populer
disebut sebagai 'teori merebus kodok'. Senge membuat ilustrasi yang
membandingkan teknik merebus hewan tersebut. Kodok pertama dimasukkan
bulat-bulat ke dalam air mendidih. Tentu saja, reptil itu meronta, melawan dan
gagal direbus. Di sudut lain, kodok kedua direndam ke dalam kuali berisi air
dingin. Kompor dinyalakan, selang beberapa menit, air menghangat namun si kodok
acuh karena sudah beradaptasi dengan perubahan suhu nan perlahan. Si kodok
tetap enggan beringsut saat air semakin memanas. Hingga ia tak bisa lagi keluar
karena terlanjur mendapat titel almarhum.
Teori merebus kodok a la Senge tadi menyela benak saya tatkala
berpartisipasi dalam Pelatihan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) 7 - 9
Mei 2012 lalu di Pondok Pesantren Modern Ar-Rasyid, Labuhan Batu Selatan.Adalah
Djalaluddin Pane Foundation (DPF) yang menggagas pelatihan ini bagi para guru
untuk merombak penyampaian bahan ajar. Menurut DPF, sejumlah bantuan perangkat
keras komputer dan infocus ke sekolah akan mubazir bila tak dibarengi pemahaman
guru untuk mengoperasikannya. Nah, apa kaitannya dengan 'merebus kodok' tadi?
Sasaran pelatihan ini bagi para guru belum melek teknologi TIK
menjadi tantangan yang jamak ditemui penjuru Indonesia — tidak hanya di
Labuhan Batu Selatan. Sangat mungkin akan muncul gejolak mempertahankan tradisi
mengajar yang lama. Disamping, perasaan minder laksana kabut menutup
pengembangan kompetensi diri. Siasat merebus kodok kedua di atas lah yang
menjadi ilham untuk 'merebus' sudut pandang negatif tersebut. Dengan demikian,
substansi utama mestinya dikuasai guru di Indonesia ialah memberdayakan Internet
dan aplikasi presentasi (semisal Microsoft Power Point). Sehingga setiap proses
belajar mengajar membuahkan ilmu pengetahuan. Baik bagi pendidik dan pihak yang
dididik.
Persoalannya, rasio jumlah penguasaan TIK antara guru dan murid
amat timpang. Tren kemajuan teknologi menjadi sebuah gaya hidup yang paling
merasuki generasi muda. Para guru tertinggal untuk mendampingi siswanya yang
larut dalam kecanggihan teknologi. Facebook, Twitter, Plurk, Blog, Forum dan
sebangsanya tak ubahnya 'cemilan' berlabel khusus anak muda. Di sisi lain,
sejumlah guru senior (dalam kadar usia) malah kepayahan merenangi arus . Lalu,
bagaimana menyiasatinya?
Penggalan kalimat di atas menjadi kiat saya guna menghenyakkan
para peserta. Kekagetan menjadi cair usai dijelaskan ini ialah sebuah akronim
dari Bersih, Jujur dan Disiplin. Pendekatan dengan teknik provokatif humoris
tersebut dapat ditiru dalam suasana belajar nan nyata. Komunikasi antara guru
dan siswa tidak kaku, dan namun produktif dengan porsi diskusi cukup.
Tim AT-TIK dalam pelatihan di Labusel - Mei 2012 |
Hikayat Guru Merebus Kodok

Asyiknya dibimbing Guru Geli TIK
Zaman kini bukan ihwal lazim ramal-meramal. Namun, amat mungkin
banyak menyepakati hasil akhir ramalan dari pengandaian berikut. (Seandainya)
seorang guru aljabar mengajarkan dan bersikeras bahwa 1 + 1 = 3 kepada muridnya
selama 10 tahun berturut-turut, bisa dipastikan ia bersumbangsih atas
kehancuran sebuah generasi. Bila merunut rata-rata kelas di sekolah ialah 30
siswa, maka secara keseluruhannya si guru menelikung kesepakatan dalam
matematika terhadap 30 siswa x 10 tahun = 300 siswa. Ini belum menyebut
kekeliruan serupa yang turut dilakukan ke-300 orang tersebut bagi masyarakat di
sekitarnya.
Terlalu ekstrem dan hiperbolis. Wajar saja jika segelintir
pembaca berpendapat demikian. Saya petik hikmahnya: guru memangku pengaruh
besar dalam membentuk pemahaman dan sikap generasi bangsa. Tanggung jawab
sebesar ini, di satu sisi, menjadi beban tersendiri. Mereka dilema antara
kesejahteraan yang kurang dan amanah moral berbagi pengetahuan. Sayangnya isu
kesejahteraan inilah 'kambing hitam' atas minimnya pengembangan kompetensi guru
dalam metode pengajaran. Bila dibiarkan akan berujung tidak jauh berbeda dengan
hasil ramalan di atas.
Ihwal kesejahteraan secara bertahap akan ditanggulangi melalui
program pemerintah semisal: Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK)
dan Sertifikasi Guru. Nah, permasalahan utama ialah bergegas mengejar stagnansi
metode pengajaran yang menyesuaikan tren kemajuan zaman. Mengapa? Menurut
perhitungan James Canton dalam "The Extreme Future: The Top Trends That
Will Reshape the World for the Next 5, 10 and 20 Years", Indonesia bakal
satu diantara beberapa negara Asia yang berpengaruh di dunia. Musababnya, aset
kekayaan alam dan jumlah sumber daya manusia penting dalam merealisasikan perhitungan
Canton tersebut.
Jumlah siswa melek teknologi yang timpang dengan guru mereka
ialah tantangan yang semestinya gegas ditanggulangi. Imbas buruknya siswa
menyaring arus informasi dari Teknologi Komunikasi & Informasi (TIK) ini
seolah tanpa pendamping. Terlebih pemanfaatan TIK ini amat jarang diterapkan
dalam kegiatan belajar-mengajar. Patut disayangkan, mengingat Kementerian
Pendidikan Nasional telah menyediakan fasilitas lengkap (bahan belajar
interaktif, RPP, bank soal, serta media animasi gambar, video, audio dan
presentasi) di situs http://belajar.kemdiknas.go.id. Jika demikian, tentu
menyenangkan bila guru Indonesia geli TIK. Sengaja saya 'pelesetkan' agar
mengubah perspektif guru akan teknologi ini.
Faktor usia umumnya mengganjal laju pemahaman para guru untuk
turut memberdayakan TIK dalam kegiatan belajar mengajar. Alasan jamak mereka,
sudah terlalu tua untuk belajar lagi. Dalam kajian fasilitator senior
"Pembelajaran Orang Dewasa", dr. Yahya Wardoyo, SKM, menyebutkan
bahwa orang dewasa tidak bisa begitu saja mau (dan dapat) belajar; suatu
keengganan untuk belajar dari orang lain. Keengganan tersebut biasanya
dikarenakan tiada motivasi merubah pendapat atau pandangan lama. Pendapat ini
tentu berseberangan dengan teori Charles Darwin bahwasanya mereka yang mampu
beradaptasi akan bertahan hidup.
Teori Darwin tersebut bukanlah kisah horor agar para guru ciut
nyalinya. Energi kekhawatiran tersebut hendaknya disalurkan untuk menciptakan
kreatifitas dalam kegiatan mengajar. Saling berbagi pengalaman dan ide bersama
peserta didik adalah strategi awal menjadi guru geli TIK. Jurang pemahaman akan
dijembatani melalui kerjasama dan komunikasi nan menyenangkan. Suasana tersebut
tentu berimbas pada pencapaian kegiatan belajar agar siswa menyerap pengetahuan
dengan baik.
Perlu Perintis Beragam Latar Belakang
Harapan supaya guru geli TIK bukan impian muluk, membutuhkan
perintis yang mengajari para guru tersebut. Bila gemas menanti gebrakan
pemerintah, mari bentuk tindak nyata yang dapat merangkul mereka. Kunci pertama
ialah menggabungkan berbagai unsur guna menemukan pendekatan cespleng terhadap
peningkatan kompetensi guru mahir memberdayakan TIK. Dalam kasus ini, pada
umumnya menggunakan komputer dan Internet. Jika hanya mengandalkan (katakanlah)
praktisi komputer saja pemahaman guru bakal buntu. Para pengajar di sekolah
tersebut akan kesulitan bila tidak menemui kasus yang paling dekat dengan
aktivitas mereka. Dengan demikian, minimalnya dibutuhkan kolaborasi praktisi
komputer dan kalangan guru.
Materi pelatihan untuk gerakan ini sudah melimpah di dunia
mayantara atawa Internet. Agar tidak dicap kaum "copy-paste"
hendaknya sejumlah isi disunting rapi dan menjejali beberapa ide serta
informasi milik tim sendiri. Akan lebih afdol, jika guru peserta pelatihan juga
turut menyumbang saran yang menambah khasanah pengembangan kompetensi mereka.
Pilar akhir untuk gerakan ini ialah pendanaan. Sila dilirik
lembaga filantropi yang teguh berkutat dalam penguatan kualitas pendidikan.
Baik (pendekatannya) melalui guru maupun siswa. Dana dari lembaga seperti ini
akan menjaga 'asap dapur' penggiat memajukan pendidikan Indonesia, termasuk
gerakan guru geli TIK, 'tetap ngepul'. Disamping itu, bijak juga
mempertimbangkan sejumlah infrastruktur yang dapat diberdayakan secara
cuma-cuma dari pemerintah dan pihak korporasi swasta.
Adanya gebrakan ini akan menunjukkan sebuah pencerahan: Tidak
perlu jadi petinggi tertentu untuk membuat perubahan di negara ini. Dengan
mengetahui serta memiliki talenta mumpuni dalam satu titik persoalan strategis
bangsa, semisal pendidikan, bakal ada harapan baru memajukan Indonesia. Tidak
harus serta merta ataupun cepat dalam menuai hasil akan generasi yang mandiri,
ahlak beragama, berjiwa nasionalis dan berempati pada sesama insan. Ini seperti
mengingatkan pada petuah Bung Karno: "Tetapi betapa pun panjangnya sebuah
perjalanan, ia harus dimulai dengan langkah-langkah pertama., dan itu mulai
kami lakukan ...".
Ananta Bangun
Guru SMK Kesehatan Wirahusada Medan, Trainer, Semi-Blogger* Tulisan ini adalah sari pendapat pribadi, diterbitkan di Harian Sumut Pos tanggal 3 Mei 2012.
Asyiknya dibimbing Guru Geli TIK
Meninggalkan kapur
Saya menjadi pemateri di Rantauprapat |
Terbersitnya kata-kata tersebut bertalian dengan petuah bahwasanya "belajar berarti berubah". Perubahan itu sendiri, sangat diharapkan, berimbas baik pada kemajuan bangsa. Jika diibaratkan sebuah skenario film, maka 'kail-kail' pengetahuan yang diberikan kepada para guru di Rantau Prapat ini dapat ditularkan bagi ratusan generasi muda atau anak didik mereka. Hendra Yudha, salah seorang pentolan DPF pun yakin para pemimpin dapat lahir dari jerih payah Guru Era Baru (Guraru) ini -- sebutan yang dipopulerkan oleh Acer.
Aral perdana dalam pelatihan tersebut ialah banyak peserta yang belum pernah menjamah komputer. Penyebutan istilah bahasa Inggris dalam pengoperasian komputer pun seolah 'gelitikan' baru bagi telinga mereka. Beberapa juga masih canggung menekan bilah-bilah keyboard dan sedikit gugup mengendalikan tetikus atau mouse. Alhasil, indikator tetikus (pointer) -- yang umumnya berbentuk panah putih -- berseliweran di sudut-sudut monitor. Namun, ini bukan hal yang mengejutkan; sebab pihak DPF memang mengundang para peserta yang belum mahfum komputer. Terutama pemberdayaannya dalam kegiatan belajar mengajar.
Sandungan kedua adalah dukungan persoalan teknis di laboratorium komputer. Imbasnya, beberapa praktik pelatihan pun terganjal. Dalam beberapa sesi praktik, peserta mesti bersabar untuk mencoba langsung bagaimana mendaftarkan diri untuk E-mail (GMail dan Yahoo), Facebook, Twitter, Blog (Dagdigdug.com) dan bahkan layanan 'cloud computing' di Dropbox. Pada hari ketiga, peserta membentuk kelompok mini untuk menyiasati kendala tersebut guna 'mencicipi' langsung layanan pembuatan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) di situs Rumah Belajar (http://belajar.kemdiknas.go.id). Sesuai nama domain utama websitenya, layanan mayantara ini diasuh oleh Kementerian Pendidikan Nasional. Ini merupakan sesi 'primadona' -- disamping membuat presentasi pelajaran menggunakan Microsoft Power Point -- bagi para guru. Pasalnya, bukan perkara mudah menyusun RPP secara manual, lalu diketik ulang dengan aplikasi komputer.
Melihat ke depan
![]() |
Spanduk pelatihan di SMK Siti Banun, Rantauprapat |
![]() |
Saya dan mas Agoez Perdana |
Visi melihat ke depan, secara sederhana, merupakan tindak menanam investasi moral dan juang agar menuai hasil yang teguh.
Kembali ke 'skenario' tadi, usai mengikuti pelatihan ini para peserta diharapkan dapat menyajikan bahan pelajaran dengan menarik dan mudah dipahami siswa mereka. Visi ini butuh pengorbanan waktu serta kesabaran agar harapan itu terwujud. Maka, petuah "belajar berarti berubah" harus dibarengi nilai bahwa "belajar juga membuat salah". Perbaikan-perbaikan yang dibuat dari kesalahan tersebut bakal menjadi pengalaman yang tak ternilai harganya.
Oleh karenanya, pas betul parafrase "meninggalkan kapur" di atas terlontar. Langkah-langkah yang dirintis dalam pelatihan ini akan menggamit guru dalam mengubah paradigma bahwa kegiatan belajar mengajar masih berkaitan dengan kapur atau sejenisnya. Para siswa, secara langsung, akan terlibat dalam proses belajar yang interaktif dengan guru. Dengan layanan-layanan mayantara persoalan waktu dan jarak menjadi bias. Kedua pihak dapat aktif berdiskusi, baik di dunia nyata dan mayantara. Toh, fasilitas tersebut gratis, bukan?
Seraya menambahkan, bahwasanya DPF dengan visinya “Pendidikan Berkualitas Pro-mustadh’afin” menggandeng berbagai pihak untuk mempersiapkan SDM Indonesia agar mampu menghadapi tantangan global. Memajukan pendidikan kewiraswastaan berbasis nurani ihsani dan teknologi merupakan salah satu jalan yang ditempuh.
Dengan demikian, kegiatan belajar pun mirip dengan kalimat gombal "cinta itu buta". Belajar itu tidak mengkastakan usia, jabatan, status kekayaan materi, suku maupun agama. Pemerintah sendiri juga mengampanyekan semangat senada: "Education for all". Pendidikan bagi semua. Kini, perjuangan membangun bangsa bukan lagi menyebut 'saya', tetapi 'kita'. Iya, kita.
Ananta Politan Bangun
Trainer/ Guru SMK Kesehatan Wirahusada Medan
Medan, 22 November 2011
Catatan:
Tulisan ini merupakan laporan kegiatan saya sebagai salah satu trainer. Info lainnya dapat dilirik di tautan di bawah ini:
http://www.djalaluddinpane.org/programs/2011/11/23/6/13/Pelatihan-Pemanfaatan-TIK-dalam-Pembelajaran-Periode-III.html
http://www.youtube.com/watch?v=l4vlWOIqbvA&feature=player_embedded
Tulisan ini juga telah disunting dan diterbitkan harian Tribun Medan, pada Senin 28 November 2011.
Meninggalkan kapur
Langganan:
Postingan (Atom)