[Latest News][7]

#RumBerdikari
2011
2012
2013
agama
agus sampurno
akronim
alkitab
ananta
ananta bangun
anantabangun.net
antar golong
anti streisand
AT-TIK
bahagia
bahasa indonesia
bangun
barbra streisand
becak
behasa inggris
belajar
Bertom Turnip
berton turnip
blindekuh
blog
blogger sumut
bramma sapta aji
budaya
buku
ceritera
chatting
columbus
dale carnegie
darmadi darmawangsa
diskominfo
djalaluddin pane foundation
download
DPF
e-mail
Einstein
enchanment
endorfin
etika
facebook
farid hardja
fastron blogging challenge
geman
gereja
gerhana bulan
google
googlism
guru
guy kawasaki
haisen
hari ibu
harry van yogya
helda
hikari
ibu
ice break.
ice breaking
ilmu
inspirasi
internet
ira lathief
jenuh
jepang
john holt
kaizen
keepvid
kiat menulis
komitmen
konsentrasi
koran
kristen
labuhanbatu
labusel
langkah
langkah-langkah
m nuh
m-plik
marketing
medan
media
membaca
menteri pendidikan
menulis
meutya hafid
motivasi
mplik
napaktilas
narkoba
ndikkar
ndorokakung
ngoge
normal is boring
opini
orde baru
orde lama
otak
panduan
paroki santa maria
pelatihan
pelatihan TIK
pemasaran
pemekaran
pendidikan
pengetahuan
peramban
pisa
pmi
pmr
politik
powerpoint
presentasi
prokrestus
qaris tajudin
radio
rantauprapat
ras
reformasi
relawan AT-TIK
religi
resensi
resolusi
restoran
sara
schooling
sederhana
sejarah
sekolah
selamat hari guyu
seminar
sharing
sheque
silat
sinar timur
SMK Kesehatan Wirahusada Medan
social media
starnews fm
strategi olah kelompok belajar
streisand
stroke
suku
sumatera utara
sumut
swiss
tcdp
teknologi
tema
the marketeers
thomas friedman
tiang bendera
TIK
tips
ToT
Tuhan
ujian nasional
UN
unduh
unschooling
usia
velangkani
veronica colondam
video
vinsensius
waktu
wanita
wikipedia
wirahusada
youtube
zurich

Ad Section

Tampilkan postingan dengan label TIK. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label TIK. Tampilkan semua postingan

Mengenal TIK


dipinjam dari Ajku.edu.pk
Outline ini merupakan pembahasan awal dalam mata kuliah “Pemrograman Web.” Tindak untuk mengenal Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) merupakan langkah awal sebelum membuat program yang berjalan melalui aplikasi browser (peramban). Sebagai langkah awal ialah pentingnya pemahaman dan pemberdayaan layanan under web. Dalam kasus ini, dosen pengasuh fokus pada e-mail dan blog.


Saat ini kita hidup di sebuah kampung bernama Bumi. Bukan lagi wilayah yang tersekat batas provinsi, bahkan negara. Tsunami yang menyapu Jepang, pernikahan megah Pangeran Harry Williams dengan Putri Kate Middleton ataupun napaktilas perdana manusia di Bulan dapat diketahui siapa saja di planet biru ini. Secara kasat mata, terdapat ratusan satelit yang menyerap dan melepas informasi-informasi untuk dipilah dan disebar bagi masyarakat. Dengan satu prasyarat, mereka memahami dan memiliki Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).

Dampak perkembangan TIK ini sendiri sungguh menarik. Bila dulu manusia sulit mengambil keputusan karena minimnya informasi. Maka kini, banjir informasi justru kian mempersulit pengambilan keputusan. Fenomena yang sejalan penilaian Alvin Toffler sebagai “buta huruf abad 21”. Karenanya tantangan bagi kita pun turut berubah: bagaimana memberdayakan teknologi informasi dan komunikasi dalam upaya pencapaian hasil maksimal?

Mengenal TIK

Berpuluh Tahun Belajar TIK, Untuk Apa?


bersama Ustadz Muis, Kepsek PPM Ar-Rasyid
Fikiran saya tak jua lepas dari tanya di atas. Sejumput perenungan sebelum detak waktu tak lagi mengacuhkan tahun yang sarat dengan ramalan konyol: kiamat muncul di tahun 2012. Ringkasnya, pencerminan kembali napaktilas hidup dengan minat yang saya geluti semenjak berseragam putih-biru. Yakni Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).

Sering saya mengulas senyum sendiri tatkala jari kenangan mengulik momen kali pertama membuat PC komputer 'hang' dengan kombinasi menekan tombol keyboard tak beraturan. Saya bahkan lupa bilah apa saja yang telah ditekan. Esoknya, ia dikebumikan sang pemilik rental ke timbangan besi bapak pemulung. Saya masih hafal betul nama rental tersebut "Citra Computer" (di Simpang Sumber, USU - Medan) dengan tarif Rp1.000,- per jamnya.

Perjalanan saya mempelajari TIK kian mengalir dari jajaan murah majalah bekas di Pajak USU. Kemudian, mencuri hafal buku-buku TIK yang dipajang di toko buku Gramedia. Hingga ke meja-meja rembug bersama sahabat blogger di kota Medan ini. Sebuah pengalaman yang menuang ilham ke dalam kendi pengetahuan. Dan kerap juga menggelikan, mengingat latar belakang pendidikan sastra yang jarang nian menyentuh pendayagunaan TIK. 

Berpuluh Tahun Belajar TIK, Untuk Apa?

Ke Labuhanbatu, Melabuhkan Asa Bangsa

backdrop seminar

Bila tak gegas mengetahui geliat perubahan di Labuhanbatu, daerah-daerah lain mungkin terjingkat kaget jika tiga kabupaten yang lekat dengan perkebunan kelapa sawit ini berpotensi menyandang gelar baru. Ketiganya (Labuhanbatu Induk, Labuhanbatu Utara, dan Labuhanbatu Selatan) berpeluang menjadi teladan pendidikan baru. Detak perubahan tersebut tampak dari antusiasme guru-guru setempat melibatkan diri dalam gebrakan baru bagi pendidikan nasional. Dalam satu seminar pendidikan nasional di Asrama Haji Rantauprapat (pada 13 Oktober lalu), gebrakan tersebut diperkenalkan sebagai program TCDP (Teacher's Competency Development Program).

Seminar tersebut merupakan satu dari empat program utama yang terangkum dalam TCDP. Dimana, inti dari TCDP ini merupakan upaya mengembangkan kompetensi guru-guru di Indonesia. Mengingat pencetus dan pengembang TCDP merupakan Djalaluddin Pane Foundation (DPF) berasal dari Sumatera Utara. Maka, sasaran perdana TCDP ialah provinsi Sumatera Utara sendiri. 

Dengan tema "Indonesia Terdidik Berlandas TIK", seminar ini digelar sebagai penggugah atas pola fikir lama para guru dalam menguasai TIK untuk pengajaran. Beragam kilah telah tercetus untuk menghindari undangan pelatihan TIK. Sehingga mencuatkan anekdot sederhana ini. Cecep: Cip, mengapa tidak turut serta dalam program pelatihan TIK ini | Cicip: Ah, saya terlalu banyak kekurangan, bang | Cecep: Aih, siapa bilang? Kamu hanya punya satu kekurangan | Cicip: Oh, apa itu, bang? | Cecep: Tidak punya kelebihan.

logo program TCDP

Mengingat pencetus dan pengembang TCDP merupakan Djalaluddin Pane Foundation (DPF) berasal dari Sumatera Utara. Maka, sasaran perdana TCDP ialah provinsi Sumatera Utara sendiri. Sedikit mengerling sejarahnya, DPF merupakan warisan nilai kemanusiaan dari (alm.) Djalaluddin Pane -- mantan Bupati Labuhanbatu sebelum dimekarkan menjadi tiga pemerintahan daerah. Program pengembangan kompetensi bagi guru ini ialah  gebrakan baru daripada program bantuan langsung tunai bagi masyarakat. Tindak "memberi ikan" tersebut membuai kemandirian para penerima donor langsung. Musti "diberi (nilai) umpan" agar dapat membangun masyarakat dari keterpurukan ekonomi. Harapan beliau inilah yang kemudian menghantar digelarnya seminar di atas.


Guru: Pengajar yang senang belajar

mas Agus Sampurno | gurukreatif,wordpress.com
Karena seminar ini ditujukan bagi guru, sebuah kewajaran pembicara utamanya berasal dari kalangan guru juga, yakni Agus Sampurno. Ia dinilai tepat mempertimbangkan rekam jejak prestasinya sebagai guru yang memberdayakan TIK dalam pengajaran. Pantas bila Acer mengangkatnya sebagai jawara kompetisi Guru Era Baru (Guraru) tahun 2011 lalu.


Sebagai penggugah, Sampurno menampilkan ilustrasi unik: menggambarkan seorang siswi yang tertidur dengan kepala di atas meja belajar. Menurutnya, gambaran tersebut merupakan hasil akhir yang kerap ditemukan dalam lingkungan belajar-mengajar oleh para guru yang enggan belajar. Dalam konteks ini, ia menyayangkan beberapa paradigma negatif yang menghantui fikiran para guru untuk mengadaptasikan TIK dalam budaya belajar-mengajarnya. "Bila dibuat perbandingannya dengan budaya belajar generasi muda terhadap TIK, adalah sebagai berikut: Guru takut salah, senang menghitung untung ruginya menggunakan teknologi, Siswa tidak takut salah dan mau mencoba, Siswa anggap teknologi adalah kesenangan." Keengganan belajar ini, di sisi lain, turut mendorong budaya Internet tidak sehat bagi pelajar.

Ke Labuhanbatu, Melabuhkan Asa Bangsa

Hikayat Guru Merebus Kodok

dipinjam dari: Danspira.com
Pakar organisasi, Peter M Senge, punya metafora menarik tentang mengendalikan massa dalam bukunya "The Fifth Discipline". Ini populer disebut sebagai 'teori merebus kodok'. Senge membuat ilustrasi yang membandingkan teknik merebus hewan tersebut. Kodok pertama dimasukkan bulat-bulat ke dalam air mendidih. Tentu saja, reptil itu meronta, melawan dan gagal direbus. Di sudut lain, kodok kedua direndam ke dalam kuali berisi air dingin. Kompor dinyalakan, selang beberapa menit, air menghangat namun si kodok acuh karena sudah beradaptasi dengan perubahan suhu nan perlahan. Si kodok tetap enggan beringsut saat air semakin memanas. Hingga ia tak bisa lagi keluar karena terlanjur mendapat titel almarhum.

Teori merebus kodok a la Senge tadi menyela benak saya tatkala berpartisipasi dalam Pelatihan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) 7 - 9 Mei 2012 lalu di Pondok Pesantren Modern Ar-Rasyid, Labuhan Batu Selatan.Adalah Djalaluddin Pane Foundation (DPF) yang menggagas pelatihan ini bagi para guru untuk merombak penyampaian bahan ajar. Menurut DPF, sejumlah bantuan perangkat keras komputer dan infocus ke sekolah akan mubazir bila tak dibarengi pemahaman guru untuk mengoperasikannya. Nah, apa kaitannya dengan 'merebus kodok' tadi?

Sasaran pelatihan ini bagi para guru belum melek teknologi TIK menjadi tantangan yang jamak ditemui penjuru Indonesia — tidak hanya di Labuhan Batu Selatan. Sangat mungkin akan muncul gejolak mempertahankan tradisi mengajar yang lama. Disamping, perasaan minder laksana kabut menutup pengembangan kompetensi diri. Siasat merebus kodok kedua di atas lah yang menjadi ilham untuk 'merebus' sudut pandang negatif tersebut. Dengan demikian, substansi utama mestinya dikuasai guru di Indonesia ialah memberdayakan Internet dan aplikasi presentasi (semisal Microsoft Power Point). Sehingga setiap proses belajar mengajar membuahkan ilmu pengetahuan. Baik bagi pendidik dan pihak yang dididik.

Persoalannya, rasio jumlah penguasaan TIK antara guru dan murid amat timpang. Tren kemajuan teknologi menjadi sebuah gaya hidup yang paling merasuki generasi muda. Para guru tertinggal untuk mendampingi siswanya yang larut dalam kecanggihan teknologi. Facebook, Twitter, Plurk, Blog, Forum dan sebangsanya tak ubahnya 'cemilan' berlabel khusus anak muda. Di sisi lain, sejumlah guru senior (dalam kadar usia) malah kepayahan merenangi arus . Lalu, bagaimana menyiasatinya?


Penggalan kalimat di atas menjadi kiat saya guna menghenyakkan para peserta. Kekagetan menjadi cair usai dijelaskan ini ialah sebuah akronim dari Bersih, Jujur dan Disiplin. Pendekatan dengan teknik provokatif humoris tersebut dapat ditiru dalam suasana belajar nan nyata. Komunikasi antara guru dan siswa tidak kaku, dan namun produktif dengan porsi diskusi cukup.
 
Tim AT-TIK dalam pelatihan di Labusel - Mei 2012
Esensi dari BerJuDi tadi memaksudkan pendekatan komunikasi memegang peran penting dalam pemberdayaan TIK. Dus, guru jangan lalai dengan materi presentasi pelajaran yang jelas dibaca/ disimak dan mudah dipahami. Gaya dalam pengajaran memang disesuaikan dengan karakter masing-masing pengajar. Hanya saja atribut "Guru Gaul" akan melekat bila dibarengi penggunaan TIK. Para siswa, sebagaimana diharapkan, memahami pemberdayaan teknologi Internet dan presentasi menarik diterapkan dalam proses belajar mengajar. 'Hutan' informasi di Internet menjadi gudang pengetahuan yang tepat bagi mereka di bawah bimbingan para guru.

TIK bukanlah benda ajaib yang dapat mengubah suasana belajar menjadi produktif. Kreativitas dan kewibawaan guru tetap dituntut melahirkan generasi pemimpin. Upaya ini diperlukan menjelang peralihan pengaruh politik dan ekonomi dari Barat ke Asia. Adalah guru yang juga mengemban amanah "agents of change". Yakni dengan merebus ketidakpercayaan dirinya, bukan muridnya. Sehingga mereka bakal terpeleset dalam petuah indah ini: sudah jatuh haTIK, tertimpa Bangga pula. Semoga ...

Hikayat Guru Merebus Kodok

Asyiknya dibimbing Guru Geli TIK

Zaman kini bukan ihwal lazim ramal-meramal. Namun, amat mungkin banyak menyepakati hasil akhir ramalan dari pengandaian berikut. (Seandainya) seorang guru aljabar mengajarkan dan bersikeras bahwa 1 + 1 = 3 kepada muridnya selama 10 tahun berturut-turut, bisa dipastikan ia bersumbangsih atas kehancuran sebuah generasi. Bila merunut rata-rata kelas di sekolah ialah 30 siswa, maka secara keseluruhannya si guru menelikung kesepakatan dalam matematika terhadap 30 siswa x 10 tahun = 300 siswa. Ini belum menyebut kekeliruan serupa yang turut dilakukan ke-300 orang tersebut bagi masyarakat di sekitarnya.

Terlalu ekstrem dan hiperbolis. Wajar saja jika segelintir pembaca berpendapat demikian. Saya petik hikmahnya: guru memangku pengaruh besar dalam membentuk pemahaman dan sikap generasi bangsa. Tanggung jawab sebesar ini, di satu sisi, menjadi beban tersendiri. Mereka dilema antara kesejahteraan yang kurang dan amanah moral berbagi pengetahuan. Sayangnya isu kesejahteraan inilah 'kambing hitam' atas minimnya pengembangan kompetensi guru dalam metode pengajaran. Bila dibiarkan akan berujung tidak jauh berbeda dengan hasil ramalan di atas.

Ihwal kesejahteraan secara bertahap akan ditanggulangi melalui program pemerintah semisal: Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK) dan Sertifikasi Guru. Nah, permasalahan utama ialah bergegas mengejar stagnansi metode pengajaran yang menyesuaikan tren kemajuan zaman. Mengapa? Menurut perhitungan James Canton dalam "The Extreme Future: The Top Trends That Will Reshape the World for the Next 5, 10 and 20 Years", Indonesia bakal satu diantara beberapa negara Asia yang berpengaruh di dunia. Musababnya, aset kekayaan alam dan jumlah sumber daya manusia penting dalam merealisasikan perhitungan Canton tersebut.

Jumlah siswa melek teknologi yang timpang dengan guru mereka ialah tantangan yang semestinya gegas ditanggulangi. Imbas buruknya siswa menyaring arus informasi dari Teknologi Komunikasi & Informasi (TIK) ini seolah tanpa pendamping. Terlebih pemanfaatan TIK ini amat jarang diterapkan dalam kegiatan belajar-mengajar. Patut disayangkan, mengingat Kementerian Pendidikan Nasional telah menyediakan fasilitas lengkap (bahan belajar interaktif, RPP, bank soal, serta media animasi gambar, video, audio dan presentasi) di situs http://belajar.kemdiknas.go.id. Jika demikian, tentu menyenangkan bila guru Indonesia geli TIK. Sengaja saya 'pelesetkan' agar mengubah perspektif guru akan teknologi ini.

Faktor usia umumnya mengganjal laju pemahaman para guru untuk turut memberdayakan TIK dalam kegiatan belajar mengajar. Alasan jamak mereka, sudah terlalu tua untuk belajar lagi. Dalam kajian fasilitator senior "Pembelajaran Orang Dewasa", dr. Yahya Wardoyo, SKM, menyebutkan bahwa orang dewasa tidak bisa begitu saja mau (dan dapat) belajar; suatu keengganan untuk belajar dari orang lain. Keengganan tersebut biasanya dikarenakan tiada motivasi merubah pendapat atau pandangan lama. Pendapat ini tentu berseberangan dengan teori Charles Darwin bahwasanya mereka yang mampu beradaptasi akan bertahan hidup.

Teori Darwin tersebut bukanlah kisah horor agar para guru ciut nyalinya. Energi kekhawatiran tersebut hendaknya disalurkan untuk menciptakan kreatifitas dalam kegiatan mengajar. Saling berbagi pengalaman dan ide bersama peserta didik adalah strategi awal menjadi guru geli TIK. Jurang pemahaman akan dijembatani melalui kerjasama dan komunikasi nan menyenangkan. Suasana tersebut tentu berimbas pada pencapaian kegiatan belajar agar siswa menyerap pengetahuan dengan baik.


Perlu Perintis Beragam Latar Belakang

Harapan supaya guru geli TIK bukan impian muluk, membutuhkan perintis yang mengajari para guru tersebut. Bila gemas menanti gebrakan pemerintah, mari bentuk tindak nyata yang dapat merangkul mereka. Kunci pertama ialah menggabungkan berbagai unsur guna menemukan pendekatan cespleng terhadap peningkatan kompetensi guru mahir memberdayakan TIK. Dalam kasus ini, pada umumnya menggunakan komputer dan Internet. Jika hanya mengandalkan (katakanlah) praktisi komputer saja pemahaman guru bakal buntu. Para pengajar di sekolah tersebut akan kesulitan bila tidak menemui kasus yang paling dekat dengan aktivitas mereka. Dengan demikian, minimalnya dibutuhkan kolaborasi praktisi komputer dan kalangan guru.

Materi pelatihan untuk gerakan ini sudah melimpah di dunia mayantara atawa Internet. Agar tidak dicap kaum "copy-paste" hendaknya sejumlah isi disunting rapi dan menjejali beberapa ide serta informasi milik tim sendiri. Akan lebih afdol, jika guru peserta pelatihan juga turut menyumbang saran yang menambah khasanah pengembangan kompetensi mereka.

Pilar akhir untuk gerakan ini ialah pendanaan. Sila dilirik lembaga filantropi yang teguh berkutat dalam penguatan kualitas pendidikan. Baik (pendekatannya) melalui guru maupun siswa. Dana dari lembaga seperti ini akan menjaga 'asap dapur' penggiat memajukan pendidikan Indonesia, termasuk gerakan guru geli TIK, 'tetap ngepul'. Disamping itu, bijak juga mempertimbangkan sejumlah infrastruktur yang dapat diberdayakan secara cuma-cuma dari pemerintah dan pihak korporasi swasta.

Adanya gebrakan ini akan menunjukkan sebuah pencerahan: Tidak perlu jadi petinggi tertentu untuk membuat perubahan di negara ini. Dengan mengetahui serta memiliki talenta mumpuni dalam satu titik persoalan strategis bangsa, semisal pendidikan, bakal ada harapan baru memajukan Indonesia. Tidak harus serta merta ataupun cepat dalam menuai hasil akan generasi yang mandiri, ahlak beragama, berjiwa nasionalis dan berempati pada sesama insan. Ini seperti mengingatkan pada petuah Bung Karno: "Tetapi betapa pun panjangnya sebuah perjalanan, ia harus dimulai dengan langkah-langkah pertama., dan itu mulai kami lakukan ...".


Ananta Bangun
Guru SMK Kesehatan Wirahusada Medan, Trainer, Semi-Blogger

* Tulisan ini adalah sari pendapat pribadi, diterbitkan di Harian Sumut Pos tanggal 3 Mei 2012.

Asyiknya dibimbing Guru Geli TIK

Meninggalkan kapur

Saya menjadi pemateri di Rantauprapat
Parafrase di atas mencuat dalam technical meeting Pelatihan Pemanfaatan TIK dalam Pembelajaran yang ke-3 bagi guru-guru SMA/K se-Labuhan Batu. Sang pencetusnya salah satu trainer Agus Salim -- yang turut bersama kami -- dalam kegiatan 3 hari (17 - 19 November 2011) tersebut. Pelatihan ini sendiri digagas oleh lembaga filantropi Djalaluddin Pane Foundation (DPF) dan didukung oleh Telkom Indonesia, Bank Syariah Mandiri, Lembaga Amil Zakat Nasional Bangun Sejahtera Mitra Umat (LAZNAS BSM). Enam belas guru berbagai mata pelajaran dari 7 SMA & SMK swasta di sekitar Rantau Prapat turut serta dalam pelatihan.

Terbersitnya kata-kata tersebut bertalian dengan petuah bahwasanya "belajar berarti berubah". Perubahan itu sendiri, sangat diharapkan, berimbas baik pada kemajuan bangsa. Jika diibaratkan sebuah skenario film, maka 'kail-kail' pengetahuan yang diberikan kepada para guru di Rantau Prapat ini dapat ditularkan bagi ratusan generasi muda atau anak didik mereka. Hendra Yudha, salah seorang pentolan DPF pun yakin para pemimpin dapat lahir dari jerih payah Guru Era Baru (Guraru) ini -- sebutan yang dipopulerkan oleh Acer.

Aral perdana dalam pelatihan tersebut ialah banyak peserta yang belum pernah menjamah komputer. Penyebutan istilah bahasa Inggris dalam pengoperasian komputer pun seolah 'gelitikan' baru bagi telinga mereka. Beberapa juga masih canggung menekan bilah-bilah keyboard dan sedikit gugup mengendalikan tetikus atau mouse. Alhasil, indikator tetikus (pointer) -- yang umumnya berbentuk panah putih -- berseliweran di sudut-sudut monitor. Namun, ini bukan hal yang mengejutkan; sebab pihak DPF memang mengundang para peserta yang belum mahfum komputer. Terutama pemberdayaannya dalam kegiatan belajar mengajar.

Sandungan kedua adalah dukungan persoalan teknis di laboratorium komputer. Imbasnya, beberapa praktik pelatihan pun terganjal. Dalam beberapa sesi praktik, peserta mesti bersabar untuk mencoba langsung bagaimana mendaftarkan diri untuk E-mail (GMail dan Yahoo), Facebook, Twitter, Blog (Dagdigdug.com) dan bahkan layanan 'cloud computing' di Dropbox. Pada hari ketiga, peserta membentuk kelompok mini untuk menyiasati kendala tersebut guna 'mencicipi' langsung layanan pembuatan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) di situs Rumah Belajar (http://belajar.kemdiknas.go.id). Sesuai nama domain utama websitenya, layanan mayantara ini diasuh oleh Kementerian Pendidikan Nasional. Ini merupakan sesi 'primadona' -- disamping membuat presentasi pelajaran menggunakan Microsoft Power Point -- bagi para guru. Pasalnya, bukan perkara mudah menyusun RPP secara manual, lalu diketik ulang dengan aplikasi komputer.


Melihat ke depan

Spanduk pelatihan di SMK Siti Banun, Rantauprapat
Saya dan mas Agoez Perdana
Permasalahan tersebut seolah sirna oleh kegigihan para peserta selama tiga hari pelatihan di Laboratorium Komputer milik SMK Siti Banun, Sigambal. Bila mengalami kendala, mereka tak sungkan memohon penjelasan dan bantuan teknis dari trainer dan assisten trainer -- keseluruhannya adik-adik mahasiswa IAIN dan USU. Walau tidak dinoktahkan secara tertulis, secara lisan seluruh insan yang terlibat dalam pelatihan ini memiliki visi yang sama: Melihat ke depan.

Visi melihat ke depan, secara sederhana, merupakan tindak menanam investasi moral dan juang agar menuai hasil yang teguh.

Kembali ke 'skenario' tadi, usai mengikuti pelatihan ini para peserta diharapkan dapat menyajikan bahan pelajaran dengan menarik dan mudah dipahami siswa mereka. Visi ini butuh pengorbanan waktu serta kesabaran agar harapan itu terwujud. Maka, petuah "belajar berarti berubah" harus dibarengi nilai bahwa "belajar juga membuat salah". Perbaikan-perbaikan yang dibuat dari kesalahan tersebut bakal menjadi pengalaman yang tak ternilai harganya.

Oleh karenanya, pas betul parafrase "meninggalkan kapur" di atas terlontar. Langkah-langkah yang dirintis dalam pelatihan ini akan menggamit guru dalam mengubah paradigma bahwa kegiatan belajar mengajar masih berkaitan dengan kapur atau sejenisnya. Para siswa, secara langsung, akan terlibat dalam proses belajar yang interaktif dengan guru. Dengan layanan-layanan mayantara persoalan waktu dan jarak menjadi bias. Kedua pihak dapat aktif berdiskusi, baik di dunia nyata dan mayantara. Toh, fasilitas tersebut gratis, bukan?

Seraya menambahkan, bahwasanya DPF dengan visinya “Pendidikan Berkualitas Pro-mustadh’afin” menggandeng berbagai pihak untuk mempersiapkan SDM Indonesia agar mampu menghadapi tantangan global. Memajukan pendidikan kewiraswastaan berbasis nurani ihsani dan teknologi merupakan salah satu jalan yang ditempuh.

Dengan demikian, kegiatan belajar pun mirip dengan kalimat gombal "cinta itu buta". Belajar itu tidak mengkastakan usia, jabatan, status kekayaan materi, suku maupun agama. Pemerintah sendiri juga mengampanyekan semangat senada: "Education for all". Pendidikan bagi semua. Kini, perjuangan membangun bangsa bukan lagi menyebut 'saya', tetapi 'kita'. Iya, kita.


Ananta Politan Bangun

Trainer/ Guru SMK Kesehatan Wirahusada Medan

Medan, 22 November 2011




Catatan:

Tulisan ini merupakan laporan kegiatan saya sebagai salah satu trainer. Info lainnya dapat dilirik di tautan di bawah ini:

http://www.djalaluddinpane.org/programs/2011/11/23/6/13/Pelatihan-Pemanfaatan-TIK-dalam-Pembelajaran-Periode-III.html

http://www.youtube.com/watch?v=l4vlWOIqbvA&feature=player_embedded


Tulisan ini juga telah disunting dan diterbitkan harian Tribun Medan, pada Senin 28 November 2011.

Meninggalkan kapur