[Latest News][7]

#RumBerdikari
2011
2012
2013
agama
agus sampurno
akronim
alkitab
ananta
ananta bangun
anantabangun.net
antar golong
anti streisand
AT-TIK
bahagia
bahasa indonesia
bangun
barbra streisand
becak
behasa inggris
belajar
Bertom Turnip
berton turnip
blindekuh
blog
blogger sumut
bramma sapta aji
budaya
buku
ceritera
chatting
columbus
dale carnegie
darmadi darmawangsa
diskominfo
djalaluddin pane foundation
download
DPF
e-mail
Einstein
enchanment
endorfin
etika
facebook
farid hardja
fastron blogging challenge
geman
gereja
gerhana bulan
google
googlism
guru
guy kawasaki
haisen
hari ibu
harry van yogya
helda
hikari
ibu
ice break.
ice breaking
ilmu
inspirasi
internet
ira lathief
jenuh
jepang
john holt
kaizen
keepvid
kiat menulis
komitmen
konsentrasi
koran
kristen
labuhanbatu
labusel
langkah
langkah-langkah
m nuh
m-plik
marketing
medan
media
membaca
menteri pendidikan
menulis
meutya hafid
motivasi
mplik
napaktilas
narkoba
ndikkar
ndorokakung
ngoge
normal is boring
opini
orde baru
orde lama
otak
panduan
paroki santa maria
pelatihan
pelatihan TIK
pemasaran
pemekaran
pendidikan
pengetahuan
peramban
pisa
pmi
pmr
politik
powerpoint
presentasi
prokrestus
qaris tajudin
radio
rantauprapat
ras
reformasi
relawan AT-TIK
religi
resensi
resolusi
restoran
sara
schooling
sederhana
sejarah
sekolah
selamat hari guyu
seminar
sharing
sheque
silat
sinar timur
SMK Kesehatan Wirahusada Medan
social media
starnews fm
strategi olah kelompok belajar
streisand
stroke
suku
sumatera utara
sumut
swiss
tcdp
teknologi
tema
the marketeers
thomas friedman
tiang bendera
TIK
tips
ToT
Tuhan
ujian nasional
UN
unduh
unschooling
usia
velangkani
veronica colondam
video
vinsensius
waktu
wanita
wikipedia
wirahusada
youtube
zurich

Ad Section

Tampilkan postingan dengan label opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label opini. Tampilkan semua postingan

Juni: Mengerling Resolusi


dipinjam dari Rizalyan.com
Tidak terasa hari telah menapak di bulan Juni. Di pertengahan tahun ini ada sebuah ritual bijak bagi kita. Mengerling kembali resolusi untuk tahun 2012. Bagaimana hasil jerih kita guna mewujud impian di tahun ini? Apakah telah mencapai setengahnya? Atau memang belum sama sekali?

Ritual seperti ini amat jarang saya temui menjadi budaya hidup sesama teman sejawat. Berkebalikan dengan kebiasaan mencantum sejumlah harapan setiap kali Tahun Baru. Bila serius, ada rekan yang menoktahkannya dengan jelas di buku atau dinding kamarnya. Mereka berdalih: menjadi pengingat yang efektif. Jadi, jika memang keluar dari jalurnya itu pertanda sang rekan telah pindah kamar. Atau kamarnya sendiri sudah tak manjur lagi memberi ilham.

Kebiasaan yang unik justru beramai-ramai (seolah) memamerkan harapan di Tahun Baru. Medianya bisa beragam: dari mulut ke mulut, social network semacam Facebook dan Twitter, dan baliho. Sebagai permisalan, saya kerap menerbitkan status permohonan jodoh. Ada juga yang pernah saya lihat memohon diberi rezeki untuk beli kapal pesiar."Lha! Untuk apa, bro?". Saya menimpali liwat komentar Facebook. "Ndak. Cuman ingin merasakan punya uang sebanyak itu." Hehehe.

Ini kebiasaan yang wajar mengingat manusia, sejatinya, senang menjadi pusat perhatian. Tetapi, menyebutkan harapan Tahun Baru ini hanya demi perhatian, juga kurang bijak. Menentukan pencapaian tersebut membuat langkah hidup menjadi bijak. Juga menjaga api semangat hidup tetap menyala.

Pertengahan tahun hendaknya menjadi kompas penuntun menuju sukses. Caranya? Tetaplah mengerling jerih dan hasil yang telah dirampungkan. Agar kita tetap memandang pada impian tahunan kita. Resolusi.

Selamat mengerling resolusi kita.

Juni: Mengerling Resolusi

Asyiknya dibimbing Guru Geli TIK

Zaman kini bukan ihwal lazim ramal-meramal. Namun, amat mungkin banyak menyepakati hasil akhir ramalan dari pengandaian berikut. (Seandainya) seorang guru aljabar mengajarkan dan bersikeras bahwa 1 + 1 = 3 kepada muridnya selama 10 tahun berturut-turut, bisa dipastikan ia bersumbangsih atas kehancuran sebuah generasi. Bila merunut rata-rata kelas di sekolah ialah 30 siswa, maka secara keseluruhannya si guru menelikung kesepakatan dalam matematika terhadap 30 siswa x 10 tahun = 300 siswa. Ini belum menyebut kekeliruan serupa yang turut dilakukan ke-300 orang tersebut bagi masyarakat di sekitarnya.

Terlalu ekstrem dan hiperbolis. Wajar saja jika segelintir pembaca berpendapat demikian. Saya petik hikmahnya: guru memangku pengaruh besar dalam membentuk pemahaman dan sikap generasi bangsa. Tanggung jawab sebesar ini, di satu sisi, menjadi beban tersendiri. Mereka dilema antara kesejahteraan yang kurang dan amanah moral berbagi pengetahuan. Sayangnya isu kesejahteraan inilah 'kambing hitam' atas minimnya pengembangan kompetensi guru dalam metode pengajaran. Bila dibiarkan akan berujung tidak jauh berbeda dengan hasil ramalan di atas.

Ihwal kesejahteraan secara bertahap akan ditanggulangi melalui program pemerintah semisal: Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK) dan Sertifikasi Guru. Nah, permasalahan utama ialah bergegas mengejar stagnansi metode pengajaran yang menyesuaikan tren kemajuan zaman. Mengapa? Menurut perhitungan James Canton dalam "The Extreme Future: The Top Trends That Will Reshape the World for the Next 5, 10 and 20 Years", Indonesia bakal satu diantara beberapa negara Asia yang berpengaruh di dunia. Musababnya, aset kekayaan alam dan jumlah sumber daya manusia penting dalam merealisasikan perhitungan Canton tersebut.

Jumlah siswa melek teknologi yang timpang dengan guru mereka ialah tantangan yang semestinya gegas ditanggulangi. Imbas buruknya siswa menyaring arus informasi dari Teknologi Komunikasi & Informasi (TIK) ini seolah tanpa pendamping. Terlebih pemanfaatan TIK ini amat jarang diterapkan dalam kegiatan belajar-mengajar. Patut disayangkan, mengingat Kementerian Pendidikan Nasional telah menyediakan fasilitas lengkap (bahan belajar interaktif, RPP, bank soal, serta media animasi gambar, video, audio dan presentasi) di situs http://belajar.kemdiknas.go.id. Jika demikian, tentu menyenangkan bila guru Indonesia geli TIK. Sengaja saya 'pelesetkan' agar mengubah perspektif guru akan teknologi ini.

Faktor usia umumnya mengganjal laju pemahaman para guru untuk turut memberdayakan TIK dalam kegiatan belajar mengajar. Alasan jamak mereka, sudah terlalu tua untuk belajar lagi. Dalam kajian fasilitator senior "Pembelajaran Orang Dewasa", dr. Yahya Wardoyo, SKM, menyebutkan bahwa orang dewasa tidak bisa begitu saja mau (dan dapat) belajar; suatu keengganan untuk belajar dari orang lain. Keengganan tersebut biasanya dikarenakan tiada motivasi merubah pendapat atau pandangan lama. Pendapat ini tentu berseberangan dengan teori Charles Darwin bahwasanya mereka yang mampu beradaptasi akan bertahan hidup.

Teori Darwin tersebut bukanlah kisah horor agar para guru ciut nyalinya. Energi kekhawatiran tersebut hendaknya disalurkan untuk menciptakan kreatifitas dalam kegiatan mengajar. Saling berbagi pengalaman dan ide bersama peserta didik adalah strategi awal menjadi guru geli TIK. Jurang pemahaman akan dijembatani melalui kerjasama dan komunikasi nan menyenangkan. Suasana tersebut tentu berimbas pada pencapaian kegiatan belajar agar siswa menyerap pengetahuan dengan baik.


Perlu Perintis Beragam Latar Belakang

Harapan supaya guru geli TIK bukan impian muluk, membutuhkan perintis yang mengajari para guru tersebut. Bila gemas menanti gebrakan pemerintah, mari bentuk tindak nyata yang dapat merangkul mereka. Kunci pertama ialah menggabungkan berbagai unsur guna menemukan pendekatan cespleng terhadap peningkatan kompetensi guru mahir memberdayakan TIK. Dalam kasus ini, pada umumnya menggunakan komputer dan Internet. Jika hanya mengandalkan (katakanlah) praktisi komputer saja pemahaman guru bakal buntu. Para pengajar di sekolah tersebut akan kesulitan bila tidak menemui kasus yang paling dekat dengan aktivitas mereka. Dengan demikian, minimalnya dibutuhkan kolaborasi praktisi komputer dan kalangan guru.

Materi pelatihan untuk gerakan ini sudah melimpah di dunia mayantara atawa Internet. Agar tidak dicap kaum "copy-paste" hendaknya sejumlah isi disunting rapi dan menjejali beberapa ide serta informasi milik tim sendiri. Akan lebih afdol, jika guru peserta pelatihan juga turut menyumbang saran yang menambah khasanah pengembangan kompetensi mereka.

Pilar akhir untuk gerakan ini ialah pendanaan. Sila dilirik lembaga filantropi yang teguh berkutat dalam penguatan kualitas pendidikan. Baik (pendekatannya) melalui guru maupun siswa. Dana dari lembaga seperti ini akan menjaga 'asap dapur' penggiat memajukan pendidikan Indonesia, termasuk gerakan guru geli TIK, 'tetap ngepul'. Disamping itu, bijak juga mempertimbangkan sejumlah infrastruktur yang dapat diberdayakan secara cuma-cuma dari pemerintah dan pihak korporasi swasta.

Adanya gebrakan ini akan menunjukkan sebuah pencerahan: Tidak perlu jadi petinggi tertentu untuk membuat perubahan di negara ini. Dengan mengetahui serta memiliki talenta mumpuni dalam satu titik persoalan strategis bangsa, semisal pendidikan, bakal ada harapan baru memajukan Indonesia. Tidak harus serta merta ataupun cepat dalam menuai hasil akan generasi yang mandiri, ahlak beragama, berjiwa nasionalis dan berempati pada sesama insan. Ini seperti mengingatkan pada petuah Bung Karno: "Tetapi betapa pun panjangnya sebuah perjalanan, ia harus dimulai dengan langkah-langkah pertama., dan itu mulai kami lakukan ...".


Ananta Bangun
Guru SMK Kesehatan Wirahusada Medan, Trainer, Semi-Blogger

* Tulisan ini adalah sari pendapat pribadi, diterbitkan di Harian Sumut Pos tanggal 3 Mei 2012.

Asyiknya dibimbing Guru Geli TIK

Daftarin Blog Dahulu, Copy-Paste Kemudian

permen yang dibeli di Koperasi Serba Jaya
Seibarat meneguk kopi pahit. Demikian saya rasakan usai silaturahmi sejenak di dua atau tiga blog milik teman sejawat. Musababnya, isi blog yang mereka asuh tidak bersumber dari jerih menulis dan menyunting. Istilah jamaknya: copy-paste saja. Saya merasa berdosa mendorong para sahabat tersebut memiliki blog pribadi.

"Kemarin, kam bilang kita mesti punya blog pribadi. Sekarang merepet soal copy-paste. Kami nggak tahu mau nulis apa," hardik mereka. Saya meringis. Perlahan beberapa permen saya sodorkan. Untung saja mereka suka, sembari memelototi pesan di balik bungkusnya.

Khotbah pun dimulai.

Tidak dipungkiri blog telah menggeser 'kursi duduknya' dalam kehidupan masyarakat. Bila dahulu hanya diakrabi pakar komputer saja, kini telah semakin umum dimiliki oleh orang awam. Blog telah menjadi hobi. Bersanding dengan olahraga, membaca dan menyiram bunga. Agar tidak dinilai udik ditempuhlah sejumlah cara. Termasuk diantaranya mendaftarkan blog dahulu, copy-paste kemudian.

memandu guru di Labuhan Batu belajar blog
Hal ini merupakan kekeliruan. Blog, lumrahnya, mengacu pada pendapat pribadi si pemiliknya. Sehingga lahirlah sudut pandang yang beragam. Sebaliknya, menumpuk artikel sama persis di ruang blog yang berbeda akan menjadi sampah digital di Internet. Sebuah sindiran yang lama didengungkan pakar Internet, Budi Rahardjo.

Tetapi masalahnya tidak semua narablog -pemilik blog- merasa mampu membuat karya tulis sendiri. Kolumnis Bahasa, Kunjana Rahardi dalam bukunya "Menulis Artikel Opini& Kolom di Media Massa" mengakui masalah ini. Menurutnya, menulis tidaklah mudah. Nah, apakah sahabat saya lalu diperbolehkan copy-paste dengan gigih?

Sebenarnya ada solusi praktis yang bisa dipinjam dari kode etik jurnalistik.

1. Menyunting judul dan beberapa paragraf 'tubuh' artikel untuk terbit di blog pribadi. Semisal: "Selamat Ulang Tahun kota Medan ke-50" menjadi "Wah! Ternyata kota Medan Lebih Tua dari Sumut". Ini tidak dilarang. Hanya perhatikan data pendukung untuk pembaharuan tersebut. Jika malas benar mengulik buku, sila kutip laman yang diakui kesahihannya (seperti: Wikipedia).

2. Mengujinya dengan/ di tempat yang berbeda. Sebuah artikel di blog lain mengisahkan 'makan tanpa sisa' di kota X sangat dipantangkan. Mengapa tidak melaganya dengan suntingan baru bahwa di kota Y 'makan tanpa sisa' malah dianggap orang bertanggung jawab. Pembaca bakal kagum dengan khasanah data tersebut.

3. Menambah informasi gambar/ video. Jika artikel sebelumnya minim data gambar/ video, mengapa tidak melengkapinya dengan karya kita. Sebagai contoh, gambar kantor Walikota Medan kita jejali juga dengan gambar tampak belakang, samping dan juga atas (seandainya memiliki helikopter sendiri).

4. Mencatumkan nama dan tautan asli artikel yang disunting. Ini merupakan aturan wajib jika tidak ingin dipandang sebelah mata. Pungutlah sebelah lagi mata pembaca dengan meyakinkan bahwa kita menghormati si pemilik karya tulis sebelumnya.

Membuat karya tulis sendiri memang afdol. Namun, siasat di atas dapat menolong jika ide menulis blog macet. Pun, menambah informasi terkait juga penting mengurangi kekhilafan dari sumber tunggal saja. Selamat ngeblog, tanpa copy-paste bulat-bulat.

* Tulisan ini terilhami dari WM Anto di blog pribadinya http://kaget.net

Daftarin Blog Dahulu, Copy-Paste Kemudian

Tentang Mulut

AnantaBangun.net
Bermula dari sebuah hikayat. Diantara masyarakat di kota X, turut menetap seorang gadis cantik. Kesempurnaan rupa tubuhnya terkikis satu kekurangan. Ia tidak memiliki mulut, karenanya ia sangat pendiam. Pun demikian, banyak penduduk mengagumi si gadis. Keadaan berubah tatkala pemerintah menangkap dan mencebloskan si gadis ke dalam penjara.

Sang pemerintah berdalih: si gadis sangat pendiam. Sikap tersebut di luar batas kewajaran, tegas seorang pegawai negara. Selepasnya dari "Hotel Prodeo", sang tokoh utama mengalami perubahan mencolok. Ia (akhirnya) memiliki mulut. Dan tentunya bisa berswara mengucapkan lafal-lafal selama ini diwakili isyarat tangan saja.

Perubahan tersebut membuatnya amat senang. Tak lelahnya ia bercengkerama, berdebat (bahkan) berteriak mengumandangkan vokal. Sikapnya menjadi di luar batas, hingga pihak keamanan kembali mencebloskannya ke penjara.

Anekdot tersebut dirangkum dari drama karya Putu Wijaya berjudul "Mulut". Secara simbolis, drama tersebut menggambarkan kondisi bertolak belakang antara Orde Baru dengan Masa Reformasi. Rezim di bawah mantan Presiden Soeharto teramat keras menekan penentangnya. Sikap otoriter ini kuat sebab ditopang kekuatan militer.

Kebablasan dalam kebebasan lalu berlangsung saat beralih ke Masa Reformasi. Para kaum pendiam berlomba adu suara. Baik dari sisi jumlah pendukung dan tingginya volume. Hanya, volume suara tidak sama besar dengan bukti upaya. Keadaan yang membuat miris.

Jika ditilik benar, hikmah drama tersebut menggarisbawahi pentingnya menakar porsi. Jadi, tidak hanya diet makanan, takaran ucapan dan fikiran memiliki alokasi wadahnya masing-masing. Fikiran tidak baik dibiarkan diam sebab sifatnya yang fleksibel menerawang waktu, kejadian dan harapan. Demikian juga halnya dalam menggunakan mulut untuk menyampaikan fikiran.

Tuntutan duniawi tak usai ataupun menguap dengan diam. Memecahkannya dengan ucapan nan berlebihan, di kemudian hari, malah menjadi bumerang balik. Permasalahan hidup hanya bisa dipecahkan dengan perbuatan. Aksi. Jika mengambil langkah sebaliknya? Kita hanya kembali 'dipenjarakan' kesia-siaan. Atau seperti telah tersebut di awal alinea 5 di atas, yakni 'Kebablasan dalam Kebebasan."

* Tulisan ini diadaptasi dari artikel Ramadhan Batubara, jurnalis Harian Sumut Pos. Berjudul "mulut."

Tentang Mulut

Resensi | Menembus Koran



dipinjam dari
pestabuku.info
Selain memperoleh keuntungan secara materi, kelebihan yang didapuk perusahaan media massa ialah peran untuk mempengaruhi pikiran dan pemahaman masyarakat. Ini menjadi kekuatan untuk mengungkap kebrobokan penguasa, tata pemerintahan yang timpang. Beberapa ungkapan umum mengatakan kekuatan tersebutlah yang menjadi arah kebijakan pemerintah. Beberapa malah hiperbolis. Misalnya saja, kalangan birokrat disebut takut dengan pengaruh media massa ini. Ini cukup menggelitik: apakah pemerintah takutnya pada media massa atau masyarakat?

Kecuali di kolom Opini dan Surat Pembaca, hampir seluruh isi media massa telah dirancang menurut kebijakan redaksi. Artinya, peluang masyarakat awam 'unjuk gigi' atas kelalain pemerintah atau ketimpangan sosial hanya terbuka di kolom ini. Sebelum menghela nafas lega, ada beberapa persyaratan yang mesti diketahui untuk mengirim tulisan Opini. Lho? Benar, ketentuan ini untuk menghindari polemik ataupun hendak menyesuaikan dengan karakter media yang bersangkutan.

Buku "Menembus Koran: Cara jitu menulis artikel layak jual" ini, termasuk lengkap mengupas panduan untuk mengirim karya tulis ke kolom opini di media cetak. Dengan font dan warna judul yang amat mirip Harian Kompas, sang penulis, Bramma Aji Putra mengkhususkan pada penulis mahasiswa. Walau tak disebut, Bramma mungkin mendorong mahasiswa untuk menulis di media sebagai alternatif demonstrasi.

Informasi yang bermanfaat di buku ini terdapat di bab "Rubrik dan Karakteristik Kolom Mahasiswa". Keseluruhannya terdapat 26 media massa. Bramma menuturkan tips karakteristik tulisan, alamat kontak, serta jumlah honorarium atas karya tulis yang berhasil dimuat. Contohnya saja, artikel opini di Harian Media Indonesia cenderung memuat sesuai tema redaksi di stasiun televisi Metro TV. Disamping itu, daftar agenda/ perayaan tahunan penting, menurut kalender, di buku ini juga bisa dijadikan bahan ilham menulis di kolom opini.

Meski bersifat pribadi, penuturan yang menyangkut motivasi menulis dan beberapa contoh tulisan Bramma, agak mengganggu. Kesan yang tersirat, sebagai upaya mempertebal halaman buku. Pun, rancangan tata letak teks kurang nyaman dibaca. Namun, lara tersebut bisa terlipur dengan emblem kuning di belakang buku. Bahwa Rp500,- dari tiap penjualan buku ini disumbang ke Rumah Yatim Indonesia, adalah hal yang menggugah. Sembari bersedekah, pembaca menimba ilmu untuk menulis yang juga menjadi oase ilham masyarakat luas. Melalui media massa, bukan untuk ditakuti siapa-siapa. Tetapi dicari dan dirindukan (tulisannya) oleh semua kalangan.


=== sekilas.

Judul              : Menembus Koran, Cara Jitu Menulis Artikel Layak Jual
Penulis          : Bramma Aji Putra
Penerbit        : Leutika | Yogyakarta
Terbit             : Juni 2010
Tebal              : 218 halaman

Resensi | Menembus Koran