Tampilkan postingan dengan label opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label opini. Tampilkan semua postingan
Juni: Mengerling Resolusi
dipinjam dari Rizalyan.com |
Tidak terasa hari telah menapak di bulan Juni. Di pertengahan
tahun ini ada sebuah ritual bijak bagi kita. Mengerling kembali resolusi untuk
tahun 2012. Bagaimana hasil jerih kita guna mewujud impian di tahun ini? Apakah
telah mencapai setengahnya? Atau memang belum sama sekali?
Ritual seperti ini amat jarang saya temui menjadi budaya hidup
sesama teman sejawat. Berkebalikan dengan kebiasaan mencantum sejumlah harapan
setiap kali Tahun Baru. Bila serius, ada rekan yang menoktahkannya dengan jelas
di buku atau dinding kamarnya. Mereka berdalih: menjadi pengingat yang efektif.
Jadi, jika memang keluar dari jalurnya itu pertanda sang rekan telah pindah
kamar. Atau kamarnya sendiri sudah tak manjur lagi memberi ilham.
Kebiasaan yang unik justru beramai-ramai (seolah) memamerkan
harapan di Tahun Baru. Medianya bisa beragam: dari mulut ke mulut, social
network semacam Facebook dan Twitter, dan baliho. Sebagai permisalan, saya
kerap menerbitkan status permohonan jodoh. Ada juga yang pernah saya lihat
memohon diberi rezeki untuk beli kapal pesiar."Lha! Untuk apa, bro?".
Saya menimpali liwat komentar Facebook. "Ndak. Cuman ingin merasakan punya
uang sebanyak itu." Hehehe.
Ini kebiasaan yang wajar mengingat manusia, sejatinya, senang
menjadi pusat perhatian. Tetapi, menyebutkan harapan Tahun Baru ini hanya demi
perhatian, juga kurang bijak. Menentukan pencapaian tersebut membuat langkah
hidup menjadi bijak. Juga menjaga api semangat hidup tetap menyala.
Pertengahan tahun hendaknya menjadi kompas penuntun menuju
sukses. Caranya? Tetaplah mengerling jerih dan hasil yang telah dirampungkan.
Agar kita tetap memandang pada impian tahunan kita. Resolusi.

Asyiknya dibimbing Guru Geli TIK
Zaman kini bukan ihwal lazim ramal-meramal. Namun, amat mungkin
banyak menyepakati hasil akhir ramalan dari pengandaian berikut. (Seandainya)
seorang guru aljabar mengajarkan dan bersikeras bahwa 1 + 1 = 3 kepada muridnya
selama 10 tahun berturut-turut, bisa dipastikan ia bersumbangsih atas
kehancuran sebuah generasi. Bila merunut rata-rata kelas di sekolah ialah 30
siswa, maka secara keseluruhannya si guru menelikung kesepakatan dalam
matematika terhadap 30 siswa x 10 tahun = 300 siswa. Ini belum menyebut
kekeliruan serupa yang turut dilakukan ke-300 orang tersebut bagi masyarakat di
sekitarnya.
Terlalu ekstrem dan hiperbolis. Wajar saja jika segelintir
pembaca berpendapat demikian. Saya petik hikmahnya: guru memangku pengaruh
besar dalam membentuk pemahaman dan sikap generasi bangsa. Tanggung jawab
sebesar ini, di satu sisi, menjadi beban tersendiri. Mereka dilema antara
kesejahteraan yang kurang dan amanah moral berbagi pengetahuan. Sayangnya isu
kesejahteraan inilah 'kambing hitam' atas minimnya pengembangan kompetensi guru
dalam metode pengajaran. Bila dibiarkan akan berujung tidak jauh berbeda dengan
hasil ramalan di atas.
Ihwal kesejahteraan secara bertahap akan ditanggulangi melalui
program pemerintah semisal: Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK)
dan Sertifikasi Guru. Nah, permasalahan utama ialah bergegas mengejar stagnansi
metode pengajaran yang menyesuaikan tren kemajuan zaman. Mengapa? Menurut
perhitungan James Canton dalam "The Extreme Future: The Top Trends That
Will Reshape the World for the Next 5, 10 and 20 Years", Indonesia bakal
satu diantara beberapa negara Asia yang berpengaruh di dunia. Musababnya, aset
kekayaan alam dan jumlah sumber daya manusia penting dalam merealisasikan perhitungan
Canton tersebut.
Jumlah siswa melek teknologi yang timpang dengan guru mereka
ialah tantangan yang semestinya gegas ditanggulangi. Imbas buruknya siswa
menyaring arus informasi dari Teknologi Komunikasi & Informasi (TIK) ini
seolah tanpa pendamping. Terlebih pemanfaatan TIK ini amat jarang diterapkan
dalam kegiatan belajar-mengajar. Patut disayangkan, mengingat Kementerian
Pendidikan Nasional telah menyediakan fasilitas lengkap (bahan belajar
interaktif, RPP, bank soal, serta media animasi gambar, video, audio dan
presentasi) di situs http://belajar.kemdiknas.go.id. Jika demikian, tentu
menyenangkan bila guru Indonesia geli TIK. Sengaja saya 'pelesetkan' agar
mengubah perspektif guru akan teknologi ini.
Faktor usia umumnya mengganjal laju pemahaman para guru untuk
turut memberdayakan TIK dalam kegiatan belajar mengajar. Alasan jamak mereka,
sudah terlalu tua untuk belajar lagi. Dalam kajian fasilitator senior
"Pembelajaran Orang Dewasa", dr. Yahya Wardoyo, SKM, menyebutkan
bahwa orang dewasa tidak bisa begitu saja mau (dan dapat) belajar; suatu
keengganan untuk belajar dari orang lain. Keengganan tersebut biasanya
dikarenakan tiada motivasi merubah pendapat atau pandangan lama. Pendapat ini
tentu berseberangan dengan teori Charles Darwin bahwasanya mereka yang mampu
beradaptasi akan bertahan hidup.
Teori Darwin tersebut bukanlah kisah horor agar para guru ciut
nyalinya. Energi kekhawatiran tersebut hendaknya disalurkan untuk menciptakan
kreatifitas dalam kegiatan mengajar. Saling berbagi pengalaman dan ide bersama
peserta didik adalah strategi awal menjadi guru geli TIK. Jurang pemahaman akan
dijembatani melalui kerjasama dan komunikasi nan menyenangkan. Suasana tersebut
tentu berimbas pada pencapaian kegiatan belajar agar siswa menyerap pengetahuan
dengan baik.
Perlu Perintis Beragam Latar Belakang
Harapan supaya guru geli TIK bukan impian muluk, membutuhkan
perintis yang mengajari para guru tersebut. Bila gemas menanti gebrakan
pemerintah, mari bentuk tindak nyata yang dapat merangkul mereka. Kunci pertama
ialah menggabungkan berbagai unsur guna menemukan pendekatan cespleng terhadap
peningkatan kompetensi guru mahir memberdayakan TIK. Dalam kasus ini, pada
umumnya menggunakan komputer dan Internet. Jika hanya mengandalkan (katakanlah)
praktisi komputer saja pemahaman guru bakal buntu. Para pengajar di sekolah
tersebut akan kesulitan bila tidak menemui kasus yang paling dekat dengan
aktivitas mereka. Dengan demikian, minimalnya dibutuhkan kolaborasi praktisi
komputer dan kalangan guru.
Materi pelatihan untuk gerakan ini sudah melimpah di dunia
mayantara atawa Internet. Agar tidak dicap kaum "copy-paste"
hendaknya sejumlah isi disunting rapi dan menjejali beberapa ide serta
informasi milik tim sendiri. Akan lebih afdol, jika guru peserta pelatihan juga
turut menyumbang saran yang menambah khasanah pengembangan kompetensi mereka.
Pilar akhir untuk gerakan ini ialah pendanaan. Sila dilirik
lembaga filantropi yang teguh berkutat dalam penguatan kualitas pendidikan.
Baik (pendekatannya) melalui guru maupun siswa. Dana dari lembaga seperti ini
akan menjaga 'asap dapur' penggiat memajukan pendidikan Indonesia, termasuk
gerakan guru geli TIK, 'tetap ngepul'. Disamping itu, bijak juga
mempertimbangkan sejumlah infrastruktur yang dapat diberdayakan secara
cuma-cuma dari pemerintah dan pihak korporasi swasta.
Adanya gebrakan ini akan menunjukkan sebuah pencerahan: Tidak
perlu jadi petinggi tertentu untuk membuat perubahan di negara ini. Dengan
mengetahui serta memiliki talenta mumpuni dalam satu titik persoalan strategis
bangsa, semisal pendidikan, bakal ada harapan baru memajukan Indonesia. Tidak
harus serta merta ataupun cepat dalam menuai hasil akan generasi yang mandiri,
ahlak beragama, berjiwa nasionalis dan berempati pada sesama insan. Ini seperti
mengingatkan pada petuah Bung Karno: "Tetapi betapa pun panjangnya sebuah
perjalanan, ia harus dimulai dengan langkah-langkah pertama., dan itu mulai
kami lakukan ...".
Ananta Bangun
Guru SMK Kesehatan Wirahusada Medan, Trainer, Semi-Blogger* Tulisan ini adalah sari pendapat pribadi, diterbitkan di Harian Sumut Pos tanggal 3 Mei 2012.
Asyiknya dibimbing Guru Geli TIK

Daftarin Blog Dahulu, Copy-Paste Kemudian
![]() |
permen yang dibeli di Koperasi Serba Jaya |
Seibarat meneguk kopi pahit. Demikian saya rasakan usai
silaturahmi sejenak di dua atau tiga blog milik teman sejawat. Musababnya, isi
blog yang mereka asuh tidak bersumber dari jerih menulis dan menyunting.
Istilah jamaknya: copy-paste saja. Saya merasa berdosa mendorong para sahabat
tersebut memiliki blog pribadi.
"Kemarin, kam bilang kita mesti punya blog pribadi.
Sekarang merepet soal copy-paste. Kami nggak tahu mau nulis apa," hardik
mereka. Saya meringis. Perlahan beberapa permen saya sodorkan. Untung saja
mereka suka, sembari memelototi pesan di balik bungkusnya.
Khotbah pun dimulai.
Tidak dipungkiri blog telah menggeser 'kursi duduknya' dalam
kehidupan masyarakat. Bila dahulu hanya diakrabi pakar komputer saja, kini
telah semakin umum dimiliki oleh orang awam. Blog telah menjadi hobi.
Bersanding dengan olahraga, membaca dan menyiram bunga. Agar tidak dinilai udik
ditempuhlah sejumlah cara. Termasuk diantaranya mendaftarkan blog dahulu,
copy-paste kemudian.
![]() |
memandu guru di Labuhan Batu belajar blog |
Hal ini merupakan kekeliruan. Blog, lumrahnya, mengacu pada
pendapat pribadi si pemiliknya. Sehingga lahirlah sudut pandang yang beragam.
Sebaliknya, menumpuk artikel sama persis di ruang blog yang berbeda akan
menjadi sampah digital di Internet. Sebuah sindiran yang lama didengungkan
pakar Internet, Budi Rahardjo.
Tetapi masalahnya tidak semua narablog -pemilik blog- merasa
mampu membuat karya tulis sendiri. Kolumnis Bahasa, Kunjana Rahardi dalam
bukunya "Menulis Artikel Opini& Kolom di Media Massa" mengakui
masalah ini. Menurutnya, menulis tidaklah mudah. Nah, apakah sahabat saya lalu
diperbolehkan copy-paste dengan gigih?
Sebenarnya ada solusi praktis yang bisa dipinjam dari kode etik
jurnalistik.
1. Menyunting judul dan beberapa paragraf 'tubuh' artikel untuk
terbit di blog pribadi. Semisal: "Selamat Ulang Tahun kota Medan
ke-50" menjadi "Wah! Ternyata kota Medan Lebih Tua dari Sumut".
Ini tidak dilarang. Hanya perhatikan data pendukung untuk pembaharuan tersebut.
Jika malas benar mengulik buku, sila kutip laman yang diakui kesahihannya
(seperti: Wikipedia).
2. Mengujinya dengan/ di tempat yang berbeda. Sebuah artikel di
blog lain mengisahkan 'makan tanpa sisa' di kota X sangat dipantangkan. Mengapa
tidak melaganya dengan suntingan baru bahwa di kota Y 'makan tanpa sisa' malah
dianggap orang bertanggung jawab. Pembaca bakal kagum dengan khasanah data
tersebut.
3. Menambah informasi gambar/ video. Jika artikel sebelumnya
minim data gambar/ video, mengapa tidak melengkapinya dengan karya kita.
Sebagai contoh, gambar kantor Walikota Medan kita jejali juga dengan gambar
tampak belakang, samping dan juga atas (seandainya memiliki helikopter
sendiri).
4. Mencatumkan nama dan tautan asli artikel yang disunting. Ini
merupakan aturan wajib jika tidak ingin dipandang sebelah mata. Pungutlah
sebelah lagi mata pembaca dengan meyakinkan bahwa kita menghormati si pemilik
karya tulis sebelumnya.
Membuat karya tulis sendiri memang afdol. Namun, siasat di atas
dapat menolong jika ide menulis blog macet. Pun, menambah informasi terkait
juga penting mengurangi kekhilafan dari sumber tunggal saja. Selamat ngeblog,
tanpa copy-paste bulat-bulat.
Daftarin Blog Dahulu, Copy-Paste Kemudian

Tentang Mulut
![]() |
AnantaBangun.net |
Bermula dari sebuah hikayat. Diantara
masyarakat di kota X, turut menetap seorang gadis cantik. Kesempurnaan rupa
tubuhnya terkikis satu kekurangan. Ia tidak memiliki mulut, karenanya ia sangat
pendiam. Pun demikian, banyak penduduk mengagumi si gadis. Keadaan berubah
tatkala pemerintah menangkap dan mencebloskan si gadis ke dalam penjara.
Sang pemerintah berdalih: si gadis sangat
pendiam. Sikap tersebut di luar batas kewajaran, tegas seorang pegawai negara.
Selepasnya dari "Hotel Prodeo", sang tokoh utama mengalami perubahan
mencolok. Ia (akhirnya) memiliki mulut. Dan tentunya bisa berswara mengucapkan
lafal-lafal selama ini diwakili isyarat tangan saja.
Perubahan tersebut membuatnya amat senang.
Tak lelahnya ia bercengkerama, berdebat (bahkan) berteriak mengumandangkan
vokal. Sikapnya menjadi di luar batas, hingga pihak keamanan kembali mencebloskannya
ke penjara.
Anekdot tersebut dirangkum dari drama karya
Putu Wijaya berjudul "Mulut". Secara simbolis, drama tersebut
menggambarkan kondisi bertolak belakang antara Orde Baru dengan Masa Reformasi.
Rezim di bawah mantan Presiden Soeharto teramat keras menekan penentangnya.
Sikap otoriter ini kuat sebab ditopang kekuatan militer.
Kebablasan dalam kebebasan lalu berlangsung
saat beralih ke Masa Reformasi. Para kaum pendiam berlomba adu suara. Baik dari
sisi jumlah pendukung dan tingginya volume. Hanya, volume suara tidak sama
besar dengan bukti upaya. Keadaan yang membuat miris.
Jika ditilik benar, hikmah drama tersebut menggarisbawahi pentingnya menakar porsi. Jadi, tidak hanya diet makanan, takaran ucapan dan fikiran memiliki alokasi wadahnya masing-masing. Fikiran tidak baik dibiarkan diam sebab sifatnya yang fleksibel menerawang waktu, kejadian dan harapan. Demikian juga halnya dalam menggunakan mulut untuk menyampaikan fikiran.
Tuntutan duniawi tak usai ataupun menguap dengan diam. Memecahkannya dengan ucapan nan berlebihan, di kemudian hari, malah menjadi bumerang balik. Permasalahan hidup hanya bisa dipecahkan dengan perbuatan. Aksi. Jika mengambil langkah sebaliknya? Kita hanya kembali 'dipenjarakan' kesia-siaan. Atau seperti telah tersebut di awal alinea 5 di atas, yakni 'Kebablasan dalam Kebebasan."
* Tulisan ini diadaptasi dari artikel Ramadhan Batubara, jurnalis Harian Sumut Pos. Berjudul "mulut."
Tentang Mulut

Resensi | Menembus Koran
![]() |
dipinjam dari
pestabuku.info
|
Kecuali di
kolom Opini dan Surat Pembaca, hampir seluruh isi media massa telah dirancang
menurut kebijakan redaksi. Artinya, peluang masyarakat awam 'unjuk gigi' atas
kelalain pemerintah atau ketimpangan sosial hanya terbuka di kolom ini. Sebelum
menghela nafas lega, ada beberapa persyaratan yang mesti diketahui untuk
mengirim tulisan Opini. Lho? Benar, ketentuan ini untuk menghindari polemik
ataupun hendak menyesuaikan dengan karakter media yang bersangkutan.
Buku
"Menembus Koran: Cara jitu menulis artikel layak jual" ini, termasuk
lengkap mengupas panduan untuk mengirim karya tulis ke kolom opini di media
cetak. Dengan font dan warna judul yang amat mirip Harian Kompas, sang penulis,
Bramma Aji Putra mengkhususkan pada penulis mahasiswa. Walau tak disebut,
Bramma mungkin mendorong mahasiswa untuk menulis di media sebagai alternatif
demonstrasi.
Informasi
yang bermanfaat di buku ini terdapat di bab "Rubrik dan Karakteristik
Kolom Mahasiswa". Keseluruhannya terdapat 26 media massa. Bramma
menuturkan tips karakteristik tulisan, alamat kontak, serta jumlah honorarium
atas karya tulis yang berhasil dimuat. Contohnya saja, artikel opini di Harian
Media Indonesia cenderung memuat sesuai tema redaksi di stasiun televisi Metro
TV. Disamping itu, daftar agenda/ perayaan tahunan penting, menurut kalender,
di buku ini juga bisa dijadikan bahan ilham menulis di kolom opini.
Meski
bersifat pribadi, penuturan yang menyangkut motivasi menulis dan beberapa
contoh tulisan Bramma, agak mengganggu. Kesan yang tersirat, sebagai upaya
mempertebal halaman buku. Pun, rancangan tata letak teks kurang nyaman dibaca.
Namun, lara tersebut bisa terlipur dengan emblem kuning di belakang buku. Bahwa
Rp500,- dari tiap penjualan buku ini disumbang ke Rumah Yatim Indonesia, adalah
hal yang menggugah. Sembari bersedekah, pembaca menimba ilmu untuk menulis yang
juga menjadi oase ilham masyarakat luas. Melalui media massa, bukan untuk
ditakuti siapa-siapa. Tetapi dicari dan dirindukan (tulisannya) oleh semua
kalangan.
=== sekilas.
Judul : Menembus Koran, Cara Jitu Menulis Artikel
Layak Jual
Penulis : Bramma Aji Putra
Penerbit : Leutika | Yogyakarta
Terbit : Juni 2010
Tebal : 218 halaman
Resensi | Menembus Koran
Langganan:
Postingan (Atom)