Hikayat Guru Merebus Kodok
dipinjam dari: Danspira.com |
Pakar organisasi, Peter M Senge, punya metafora menarik tentang
mengendalikan massa dalam bukunya "The Fifth Discipline". Ini populer
disebut sebagai 'teori merebus kodok'. Senge membuat ilustrasi yang
membandingkan teknik merebus hewan tersebut. Kodok pertama dimasukkan
bulat-bulat ke dalam air mendidih. Tentu saja, reptil itu meronta, melawan dan
gagal direbus. Di sudut lain, kodok kedua direndam ke dalam kuali berisi air
dingin. Kompor dinyalakan, selang beberapa menit, air menghangat namun si kodok
acuh karena sudah beradaptasi dengan perubahan suhu nan perlahan. Si kodok
tetap enggan beringsut saat air semakin memanas. Hingga ia tak bisa lagi keluar
karena terlanjur mendapat titel almarhum.
Teori merebus kodok a la Senge tadi menyela benak saya tatkala
berpartisipasi dalam Pelatihan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) 7 - 9
Mei 2012 lalu di Pondok Pesantren Modern Ar-Rasyid, Labuhan Batu Selatan.Adalah
Djalaluddin Pane Foundation (DPF) yang menggagas pelatihan ini bagi para guru
untuk merombak penyampaian bahan ajar. Menurut DPF, sejumlah bantuan perangkat
keras komputer dan infocus ke sekolah akan mubazir bila tak dibarengi pemahaman
guru untuk mengoperasikannya. Nah, apa kaitannya dengan 'merebus kodok' tadi?
Sasaran pelatihan ini bagi para guru belum melek teknologi TIK
menjadi tantangan yang jamak ditemui penjuru Indonesia — tidak hanya di
Labuhan Batu Selatan. Sangat mungkin akan muncul gejolak mempertahankan tradisi
mengajar yang lama. Disamping, perasaan minder laksana kabut menutup
pengembangan kompetensi diri. Siasat merebus kodok kedua di atas lah yang
menjadi ilham untuk 'merebus' sudut pandang negatif tersebut. Dengan demikian,
substansi utama mestinya dikuasai guru di Indonesia ialah memberdayakan Internet
dan aplikasi presentasi (semisal Microsoft Power Point). Sehingga setiap proses
belajar mengajar membuahkan ilmu pengetahuan. Baik bagi pendidik dan pihak yang
dididik.
Persoalannya, rasio jumlah penguasaan TIK antara guru dan murid
amat timpang. Tren kemajuan teknologi menjadi sebuah gaya hidup yang paling
merasuki generasi muda. Para guru tertinggal untuk mendampingi siswanya yang
larut dalam kecanggihan teknologi. Facebook, Twitter, Plurk, Blog, Forum dan
sebangsanya tak ubahnya 'cemilan' berlabel khusus anak muda. Di sisi lain,
sejumlah guru senior (dalam kadar usia) malah kepayahan merenangi arus . Lalu,
bagaimana menyiasatinya?
Penggalan kalimat di atas menjadi kiat saya guna menghenyakkan
para peserta. Kekagetan menjadi cair usai dijelaskan ini ialah sebuah akronim
dari Bersih, Jujur dan Disiplin. Pendekatan dengan teknik provokatif humoris
tersebut dapat ditiru dalam suasana belajar nan nyata. Komunikasi antara guru
dan siswa tidak kaku, dan namun produktif dengan porsi diskusi cukup.
Tim AT-TIK dalam pelatihan di Labusel - Mei 2012 |
Ah,benar sekali ini bang..
BalasHapusAku sendiri pun merasa lebih 'mencuri' perhatian murid ketika bisa mencontohkan penerapan TIK dalam proses belajar mengajar :D
inilah sebabnya, aku pun tergerak berbagi sejumput pengetahuan TIK dengan sahabat guru lainnya. Mari sama-sama, bang Nich. :)
BalasHapusmantab mas...
BalasHapusmakna tersirat nya bgus bget mas,,, asalkan jgan dipraktikan merebus kodok nya.... hehehe
benar, mas Joko.
BalasHapuspada hematnya ada 2 pemaknaan. Pertama, merebus atau menghapus ketidakpercayaan diri para guru untuk berubah. Kedua, metode pendekatan yang membumi dengan generasi muda. Utamanya, kalangan pelajar.