Bila Saya Guru Edison?
Di sela senggang waktu, terbit sebuah tanya menggelayut dalam benak saya. Itu tertera dalam judul tulisan ini. Pertanyaan kedua menetas: Mengapa Edison? Sebab ilmuwan yang mematenkan 2,332 penemuan [http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_Edison_patents] ini bukan sosok biasa. Ia terkenal memiliki pribadi senang bekerja keras. Menegaskannya dalam sebuah petuah "Jenius itu adalah 1% bakat dan 99% peluh (kerja keras)." Tentu, awam seperti saya berpraduga Edsion memiliki jalur pendidikan yang baik dengan segudang prestasi akademik. Tetapi, prakiraan tersebut salah.
Berkebalikan dari dugaan tersebut, Edison ternyata hanya menjalani 3 bulan masa pendidikan resmi [http://www.scribd.com/doc/37862017/Thomas-Alva-Edison-The-Man-and-the-Scientist-Subramanian-A]. Polah fikir dan kebiasaan "gila" bertanya mengusik gurunya (saat itu) G.B. Engle. Sampai, Engle menilai Edison adalah seorang siswa idiot. Penilaian tersebut membuat berang ibunya, Nancy Edison. Sebelum berlalu dari kantor Engle, ia berkata: "Bukan anak saya yang bodoh. Tetapi, andalah yang tidak bisa mengajar."
Ucapan ibu Edison ini menggema di bandul fikir saya. Nancy, merupakan anti-tesis dari Engle. Ia, dengan tekun, mendidik anaknya hingga mampu belajar sendiri dengan "melahap" buku-buku Ilmiah. Sebuah catatan pertama bagi pribadi di lingkup pendidikan: Penilaian bahwa peserta didik adalah bodoh atau tidak, ditentukan atas kerja keras dalam menyalurkan pengetahuan atawa Knowledge Transfer.
Kini, raga Thomas Alva Edison telah rapuh dalam rahim bumi. Kini, Edison-Edison muda di dunia (termasuk Indonesia) membutuhkan sosok Nancy Edison untuk mengasah kemandirian mereka menjadi jenius yang merengkuh segala bidang -- dari penemuan ilmiah hingga terobosan budaya serta seni. Agar mereka mengenal prinsip 'Jenius' a la Edison yakni 1% bakat dan 99% kerja keras. Muskil rasanya bila manusia tidak memiliki 1% bakat. :)
Sebelum ngiang pertanyaan di judul ini mengembun, teringat saya akan sebuah kalimat bijaknya William Arthur Ward:
Berkebalikan dari dugaan tersebut, Edison ternyata hanya menjalani 3 bulan masa pendidikan resmi [http://www.scribd.com/doc/37862017/Thomas-Alva-Edison-The-Man-and-the-Scientist-Subramanian-A]. Polah fikir dan kebiasaan "gila" bertanya mengusik gurunya (saat itu) G.B. Engle. Sampai, Engle menilai Edison adalah seorang siswa idiot. Penilaian tersebut membuat berang ibunya, Nancy Edison. Sebelum berlalu dari kantor Engle, ia berkata: "Bukan anak saya yang bodoh. Tetapi, andalah yang tidak bisa mengajar."
Ucapan ibu Edison ini menggema di bandul fikir saya. Nancy, merupakan anti-tesis dari Engle. Ia, dengan tekun, mendidik anaknya hingga mampu belajar sendiri dengan "melahap" buku-buku Ilmiah. Sebuah catatan pertama bagi pribadi di lingkup pendidikan: Penilaian bahwa peserta didik adalah bodoh atau tidak, ditentukan atas kerja keras dalam menyalurkan pengetahuan atawa Knowledge Transfer.
Kini, raga Thomas Alva Edison telah rapuh dalam rahim bumi. Kini, Edison-Edison muda di dunia (termasuk Indonesia) membutuhkan sosok Nancy Edison untuk mengasah kemandirian mereka menjadi jenius yang merengkuh segala bidang -- dari penemuan ilmiah hingga terobosan budaya serta seni. Agar mereka mengenal prinsip 'Jenius' a la Edison yakni 1% bakat dan 99% kerja keras. Muskil rasanya bila manusia tidak memiliki 1% bakat. :)
Sebelum ngiang pertanyaan di judul ini mengembun, teringat saya akan sebuah kalimat bijaknya William Arthur Ward:
"Guru biasa memberitahukan, Guru baik menjelaskan, Guru ulung memeragakan, Guru hebat mengilhami"
NB: Topik dan file presentasi "Bila Saya Guru Edison" ini hendak saya bawakan dalam sesi presentasi di Labuhan Batu Selatan, pada tanggal 12 Juli ini. Sebagai pengisi kegiatan Pelatihan TIK bertema: Teacher Competency Development Program yang didukung oleh Djalaluddin Pane Foundation (DPF).
Saya sebenarnya setuju dengan guru-nya Edison; dia memang bukan seorang jenius. Edison lebih cocok dikatakan sebagai businessman ketimbang innovator.
BalasHapus(abangda coba riset sedikit dan perbandingkan Edison dengan Nikolai Tesla)
Dan saya setuju dengan bagian 99% kerja keras. Dan sepertinya Edison punya jurus yang lebih ciamik lagi; pekerjakan 98 orang, sehingga jatah kita tinggal 1% kerja keras (kurang lebih begitu) :p
Sepertinya apa yang dialami oleh Edison dan gurunya, adalah tentang metode belajar yang konservatif diperhadapkan dengan anak yang punya bakat spesial.
wah. khasanah fikir saya terbarukan dengan tanggapan, brother Nich.
BalasHapusBaru "googling" sejenak mengenai riwayat Nikolai Tesla. Selanjutnya, akan ditelusur lebih mendalam.
Dan, memang benar mengenai sisi Edison sebagai "businessman". Beliau -- dalam sebuah buku 100 tokoh dunia -- memang memperkerjakan banyak pegawai di Laboratoriumnya, di Menlo Park. Namun, belum sampai mendapat sudut pandang hingga ia mendapat kerja keras 1% saja. hehehe.
Terima kasih, brother. :)
Heheh, gak sampai jadi 1% memang, brother.
BalasHapusGambaran saja, bahwa kadang kala kita butuh setiap tenaga yang bisa dipakai.
Wah..wah.. Seandainya Edison bisa menjadi salah satu trainer AT-TIK, hehehe..
BalasHapushehehe. bisa selangit harga pelatihannya, pal.
BalasHapus