[Latest News][7]

#RumBerdikari
2011
2012
2013
agama
agus sampurno
akronim
alkitab
ananta
ananta bangun
anantabangun.net
antar golong
anti streisand
AT-TIK
bahagia
bahasa indonesia
bangun
barbra streisand
becak
behasa inggris
belajar
Bertom Turnip
berton turnip
blindekuh
blog
blogger sumut
bramma sapta aji
budaya
buku
ceritera
chatting
columbus
dale carnegie
darmadi darmawangsa
diskominfo
djalaluddin pane foundation
download
DPF
e-mail
Einstein
enchanment
endorfin
etika
facebook
farid hardja
fastron blogging challenge
geman
gereja
gerhana bulan
google
googlism
guru
guy kawasaki
haisen
hari ibu
harry van yogya
helda
hikari
ibu
ice break.
ice breaking
ilmu
inspirasi
internet
ira lathief
jenuh
jepang
john holt
kaizen
keepvid
kiat menulis
komitmen
konsentrasi
koran
kristen
labuhanbatu
labusel
langkah
langkah-langkah
m nuh
m-plik
marketing
medan
media
membaca
menteri pendidikan
menulis
meutya hafid
motivasi
mplik
napaktilas
narkoba
ndikkar
ndorokakung
ngoge
normal is boring
opini
orde baru
orde lama
otak
panduan
paroki santa maria
pelatihan
pelatihan TIK
pemasaran
pemekaran
pendidikan
pengetahuan
peramban
pisa
pmi
pmr
politik
powerpoint
presentasi
prokrestus
qaris tajudin
radio
rantauprapat
ras
reformasi
relawan AT-TIK
religi
resensi
resolusi
restoran
sara
schooling
sederhana
sejarah
sekolah
selamat hari guyu
seminar
sharing
sheque
silat
sinar timur
SMK Kesehatan Wirahusada Medan
social media
starnews fm
strategi olah kelompok belajar
streisand
stroke
suku
sumatera utara
sumut
swiss
tcdp
teknologi
tema
the marketeers
thomas friedman
tiang bendera
TIK
tips
ToT
Tuhan
ujian nasional
UN
unduh
unschooling
usia
velangkani
veronica colondam
video
vinsensius
waktu
wanita
wikipedia
wirahusada
youtube
zurich

Ad Section

Tampilkan postingan dengan label DPF. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label DPF. Tampilkan semua postingan

Berpuluh Tahun Belajar TIK, Untuk Apa?


bersama Ustadz Muis, Kepsek PPM Ar-Rasyid
Fikiran saya tak jua lepas dari tanya di atas. Sejumput perenungan sebelum detak waktu tak lagi mengacuhkan tahun yang sarat dengan ramalan konyol: kiamat muncul di tahun 2012. Ringkasnya, pencerminan kembali napaktilas hidup dengan minat yang saya geluti semenjak berseragam putih-biru. Yakni Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).

Sering saya mengulas senyum sendiri tatkala jari kenangan mengulik momen kali pertama membuat PC komputer 'hang' dengan kombinasi menekan tombol keyboard tak beraturan. Saya bahkan lupa bilah apa saja yang telah ditekan. Esoknya, ia dikebumikan sang pemilik rental ke timbangan besi bapak pemulung. Saya masih hafal betul nama rental tersebut "Citra Computer" (di Simpang Sumber, USU - Medan) dengan tarif Rp1.000,- per jamnya.

Perjalanan saya mempelajari TIK kian mengalir dari jajaan murah majalah bekas di Pajak USU. Kemudian, mencuri hafal buku-buku TIK yang dipajang di toko buku Gramedia. Hingga ke meja-meja rembug bersama sahabat blogger di kota Medan ini. Sebuah pengalaman yang menuang ilham ke dalam kendi pengetahuan. Dan kerap juga menggelikan, mengingat latar belakang pendidikan sastra yang jarang nian menyentuh pendayagunaan TIK. 

Berpuluh Tahun Belajar TIK, Untuk Apa?

Menyaput Silam Menyongsong Esok di Labat, Labusel

Menitikkan air mata. Entah kali keberapa, saya dapat menyesap keharuan dalam napaktilas hidup. Saya biasa tergugah syahdu tatkala melayat, menjenguk karib ataupun kisah-kisah senada dari karya sastra. Kali ini, di luar ihwal tersebut, saya menitikkan air mata dalam keturut-sertaan sebagai relawan Trainer untuk pelatihan Internet dan Microsoft Powerpoint. Yang digelar serentak di Labuhanbatu Selatan dan Labuhanbatu.
 
Bukan pasir menghampar di pelataran Pondok Pesantren Modern Ar-Rasyid (Labusel) dan SMK Swasta Siti Banun (Labat), tempat pelatihan digelar. Bukan juga sambal pedas yang mendesak keluar air dari kantung mata saya. Namun, gegap semangat para guru yang menjadi peserta pelatihan bertemakan "Pemanfaatan TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) dalam Pendidikan". Mereka larut seutuhnya dalam tindak berbagi pengetahuan, lerai tawa usai permainan nan menggelitik, ataupun tertegun dengan kesimpulan satu presentasi saya menantang mereka untuk keluar dari tempurung masa silam.
 
Tantangan tersebut mudah saja saya ilustrasikan dari peribahasa moyang kita: Bagaikan katak dalam tempurung. Mengisahkan katak terperangkap sunyi tanpa cahya. Tiada suara selain suaranya sendiri. Tiada aroma selain bau tubuhnya sendiri. Dilema dalam hatinya: apakah tetap di dalam atau di luar? Di dalam tempurung, ia dapat belajar nyaman dengan kesesakan. Di luar, tantangan bisa jadi lebih mematikan jika ada seekor atau lebih ular siap mematuk.

Menilik peribahasa tadi, tempurung menyiratkan dua sisi zaman berseberangan. Masa silam mewarnakan kelamnya di dalam tempurung, dan di luar tempurung menyiratkan esok. Para guru dalam pelatihan tersebut seolah menapakkan sebelah langkahnya ke 'luar tempurung'. Mereka bisa kembali atau maju seturut suara hatinya. 

Menyaput Silam Menyongsong Esok di Labat, Labusel

Ke Labuhanbatu, Melabuhkan Asa Bangsa

backdrop seminar

Bila tak gegas mengetahui geliat perubahan di Labuhanbatu, daerah-daerah lain mungkin terjingkat kaget jika tiga kabupaten yang lekat dengan perkebunan kelapa sawit ini berpotensi menyandang gelar baru. Ketiganya (Labuhanbatu Induk, Labuhanbatu Utara, dan Labuhanbatu Selatan) berpeluang menjadi teladan pendidikan baru. Detak perubahan tersebut tampak dari antusiasme guru-guru setempat melibatkan diri dalam gebrakan baru bagi pendidikan nasional. Dalam satu seminar pendidikan nasional di Asrama Haji Rantauprapat (pada 13 Oktober lalu), gebrakan tersebut diperkenalkan sebagai program TCDP (Teacher's Competency Development Program).

Seminar tersebut merupakan satu dari empat program utama yang terangkum dalam TCDP. Dimana, inti dari TCDP ini merupakan upaya mengembangkan kompetensi guru-guru di Indonesia. Mengingat pencetus dan pengembang TCDP merupakan Djalaluddin Pane Foundation (DPF) berasal dari Sumatera Utara. Maka, sasaran perdana TCDP ialah provinsi Sumatera Utara sendiri. 

Dengan tema "Indonesia Terdidik Berlandas TIK", seminar ini digelar sebagai penggugah atas pola fikir lama para guru dalam menguasai TIK untuk pengajaran. Beragam kilah telah tercetus untuk menghindari undangan pelatihan TIK. Sehingga mencuatkan anekdot sederhana ini. Cecep: Cip, mengapa tidak turut serta dalam program pelatihan TIK ini | Cicip: Ah, saya terlalu banyak kekurangan, bang | Cecep: Aih, siapa bilang? Kamu hanya punya satu kekurangan | Cicip: Oh, apa itu, bang? | Cecep: Tidak punya kelebihan.

logo program TCDP

Mengingat pencetus dan pengembang TCDP merupakan Djalaluddin Pane Foundation (DPF) berasal dari Sumatera Utara. Maka, sasaran perdana TCDP ialah provinsi Sumatera Utara sendiri. Sedikit mengerling sejarahnya, DPF merupakan warisan nilai kemanusiaan dari (alm.) Djalaluddin Pane -- mantan Bupati Labuhanbatu sebelum dimekarkan menjadi tiga pemerintahan daerah. Program pengembangan kompetensi bagi guru ini ialah  gebrakan baru daripada program bantuan langsung tunai bagi masyarakat. Tindak "memberi ikan" tersebut membuai kemandirian para penerima donor langsung. Musti "diberi (nilai) umpan" agar dapat membangun masyarakat dari keterpurukan ekonomi. Harapan beliau inilah yang kemudian menghantar digelarnya seminar di atas.


Guru: Pengajar yang senang belajar

mas Agus Sampurno | gurukreatif,wordpress.com
Karena seminar ini ditujukan bagi guru, sebuah kewajaran pembicara utamanya berasal dari kalangan guru juga, yakni Agus Sampurno. Ia dinilai tepat mempertimbangkan rekam jejak prestasinya sebagai guru yang memberdayakan TIK dalam pengajaran. Pantas bila Acer mengangkatnya sebagai jawara kompetisi Guru Era Baru (Guraru) tahun 2011 lalu.


Sebagai penggugah, Sampurno menampilkan ilustrasi unik: menggambarkan seorang siswi yang tertidur dengan kepala di atas meja belajar. Menurutnya, gambaran tersebut merupakan hasil akhir yang kerap ditemukan dalam lingkungan belajar-mengajar oleh para guru yang enggan belajar. Dalam konteks ini, ia menyayangkan beberapa paradigma negatif yang menghantui fikiran para guru untuk mengadaptasikan TIK dalam budaya belajar-mengajarnya. "Bila dibuat perbandingannya dengan budaya belajar generasi muda terhadap TIK, adalah sebagai berikut: Guru takut salah, senang menghitung untung ruginya menggunakan teknologi, Siswa tidak takut salah dan mau mencoba, Siswa anggap teknologi adalah kesenangan." Keengganan belajar ini, di sisi lain, turut mendorong budaya Internet tidak sehat bagi pelajar.

Ke Labuhanbatu, Melabuhkan Asa Bangsa

Perkenalkan, Kartini 2.0


(dari kiri): ibu Juliawati, ibu Marsiti dan saya
Mereka adalah Kartini 2.0. Tidak hanya teknologi, manusia juga berkembang di arus zaman digital ini. Mengesampingkan fisik dan busana, mereka adalah srikandi baru yang mengutamakan tumbuhnya pemahaman dan kemampuan di bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Agar bersanding dengan amanah yang mereka tempuh hingga puluhan tahun: sebagai guru.

Saya mengenal mereka dalam program pelatihan bertajuk Teacher Competency Development Program (TCDP) yang didukung penuh oleh sebuah organisasi nirlaba, Djalaluddin Pane Foundation (DPF) [http://djalaluddinpane.org]. Pelatihan ini diadakan di Pondok Pesantren Modern Ar-Rasyid, di Torgamba, Labuhan Batu Selatan. Sebuah kabupaten yang dalam lingkup provinsi Sumatera Utara.

Usai pelatihan, dalam hati, saya membuat ikrar sendiri. Mencantum nama ibu Siti Marsiti dan Juliawati dalam tulisan saya. Bila boleh, hendak saya cuatkan dalam wadah yang lebih luas selain blog pribadi ini. Saya temukan jawabnya setelah melirik tautan lomba blog Fastron Blogging Challenge, di akun Twitter milik sahabat saya, Nicholas Sihotang [http://nichpakaich.net].

Lalu, mengapa kedua srikandi penebar ilmu pengetahuan di bumi Labuhan Batu Selatan ini, saya sebut Kartini 2.0 . Berikut rajut aksara ini mengalir.

Perkenalkan, Kartini 2.0

Mengarungi Dinamika dalam Program TCDP V & VI

"Pelatihan TIK, kali (ke-V & VI) ini benar-benar sarat dinamika" -- Hendra Yudha

Demikian Kepala bidang Peltasi dari Djalaluddin Pane Foundation (DPF), Hendra Yudha menyirat pelatihan kompetensi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) V dan VI tahun 2012 ini. Lema 'dinamika' sungguh terpatri dalam benak relawan Armada Trainer - TIK (AT-TIK) saat memangku amanah mengembangkan kompetensi pengetahuan guru-guru di daerah. Berbeda dengan agenda pelatihan sebelumnya, kali ini DPF dan AT-TIK bersinergi menggelar program ini serempak di dua kota: Rantauprapat (Labuhan Batu) dan Aek Batu (Labuhan Batu Selatan).

Bila mengutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi daring, diketahui bahwasanya lema 'dinamika' bermakna tenaga yang menggerakkan (khususnya mengarah pada perubahan). Utamanya bagi AT-TIK, dinamika pelatihan kali ke - V dan VI ini terasa mendalam. Kebijakan DPF memberi (hampir) kepercayaan penuh terhadap AT-TIK yang masih dalam tahap belajar ialah musababnya. Penanganan komunikasi nan pelik, menyiasati kemampuan infrastruktur bagi Pelatihan TIK, surutnya jumlah peserta pelatihan TIK serta kebijakan beberapa institusi yang belum mahfum gebrakan TCDP. Kesemuanya menumpuk sebagai tantangan terhadap upaya luhur agar Pendidikan Nasional berkembang ditopang kompetensi TIK.

Mengarungi Dinamika dalam Program TCDP V & VI

Bila Saya Guru Edison?

Di sela senggang waktu, terbit sebuah tanya menggelayut dalam benak saya. Itu tertera dalam judul tulisan ini. Pertanyaan kedua menetas: Mengapa Edison? Sebab ilmuwan yang mematenkan 2,332 penemuan [http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_Edison_patents] ini bukan sosok biasa. Ia terkenal memiliki pribadi senang bekerja keras. Menegaskannya dalam sebuah petuah "Jenius itu adalah 1% bakat dan 99% peluh (kerja keras)." Tentu, awam seperti saya berpraduga Edsion memiliki jalur pendidikan yang baik dengan segudang prestasi akademik. Tetapi, prakiraan tersebut salah.

Berkebalikan dari dugaan tersebut, Edison ternyata hanya menjalani 3 bulan masa pendidikan resmi [http://www.scribd.com/doc/37862017/Thomas-Alva-Edison-The-Man-and-the-Scientist-Subramanian-A]. Polah fikir dan kebiasaan "gila" bertanya mengusik gurunya (saat itu) G.B. Engle. Sampai, Engle menilai Edison adalah seorang siswa idiot. Penilaian tersebut membuat berang ibunya, Nancy Edison. Sebelum berlalu dari kantor Engle, ia berkata: "Bukan anak saya yang bodoh. Tetapi, andalah yang tidak bisa mengajar."

Ucapan ibu Edison ini menggema di bandul fikir saya. Nancy, merupakan anti-tesis dari Engle. Ia, dengan tekun, mendidik anaknya hingga mampu belajar sendiri dengan "melahap" buku-buku Ilmiah. Sebuah catatan pertama bagi pribadi di lingkup pendidikan: Penilaian bahwa peserta didik adalah bodoh atau tidak, ditentukan atas kerja keras dalam menyalurkan pengetahuan atawa Knowledge Transfer.

Kini, raga Thomas Alva Edison telah rapuh dalam rahim bumi. Kini, Edison-Edison muda di dunia (termasuk Indonesia) membutuhkan sosok Nancy Edison untuk mengasah kemandirian mereka menjadi jenius yang merengkuh segala bidang -- dari penemuan ilmiah hingga terobosan budaya serta seni. Agar mereka mengenal prinsip 'Jenius' a la Edison yakni 1% bakat dan 99% kerja keras. Muskil rasanya bila manusia tidak memiliki 1% bakat. :)

Sebelum ngiang pertanyaan di judul ini mengembun, teringat saya akan sebuah kalimat bijaknya William Arthur Ward: 

"Guru biasa memberitahukan, Guru baik menjelaskan, Guru ulung memeragakan, Guru hebat mengilhami"

Pertanyaan ini, saya rasa, bukan hanya mereka yang mendidik di sekolah. Dan saya titipkan juga tanya: "Bila Saya Guru Edison?". Jawabannya ada dalam relung hati kita masing-masing.

NB: Topik dan file presentasi "Bila Saya Guru Edison" ini hendak saya bawakan dalam sesi presentasi di Labuhan Batu Selatan, pada tanggal 12 Juli ini. Sebagai pengisi kegiatan Pelatihan TIK bertema: Teacher Competency Development Program yang didukung oleh Djalaluddin Pane Foundation (DPF).

Bila Saya Guru Edison?

Bukan Untuk Mengutak AT-ATIK

Pembentukan AT-TIK di kantor DPF
Tulisan ini lebih menjurus pribadi. Sore ini, sekira pukul 16.00 wib, para sahabat relawan yang tergabung dalam organisasi Armada Trainer - Teknologi Informasi & Komunikasi (AT-TIK) menentukan pengurus hariannya. Hasil pungut suara menetapkan saya sebagai Ketua, Adhy Kurnia Putra Fasril sebagai Sekretaris, dan Siti Nurhasannah sebagai Bendahara.

Terpilih sebagai ketua tak serta merta membuat saya senang. Saya mahfum tanggung jawab dan nama baik organisasi kini dipikulkan pada kami. Utamanya, dalam mempertahankan nilai profesionalitas terhadap Djalaluddin Pane Foundation (http://djalaluddinpane.org) -- yang dapat dikatakan ibu dari AT-TIK. Dipercaya oleh sahabat relawan AT-TIK melahirkan keharuan. Ini lah kali pertama saya duduk di posisi yang akan menetapkan keputusan sebuah organisasi.

Sejak meneladani semangat berbagi liwat blog, saya mendapat pencerahan dengan metode pelatihan DPF bagi guru-guru. Pendekatan ini amat menarik. Tidak hanya menyalurkan  faedah TIK untuk kegiatan belajar-mengajar, saya pun mendapat cakrawala pengetahuan baru. Satu diantaranya: kepercayaan diri membimbing orang dewasa. Sebuah napaktilas baru dalam kehidupan saya yang dulunya pendiam atawa pasif.

Pun, peningkatan kompetensi guru sangat mendukung kemajuan bangsa. Saya meyakini petuah bijak "Tanpa Satu, Mustahil Ada Seribu". Sementara peserta guru dalam pelatihan yang digelar di wilayah konsentrasi DPF (Labuhan Batu, Labuhan Batu Selatan) ternyata lebih dari satu. Dari satu peserta inipun sangat mungkin melahirkan generasi pemimpin bangsa. Oleh karenanya, DPF melahirkan AT-TIK agar dapat melebarkan sayapnya. Tidak hanya di Labuhan Batu & Labuhan Batu Selatan saja, namun seluruh Sumatera Utara.

Apakah impian ini dapat tercapai? Saya tak jawab dalam tulisan ini, tapi melalui kerja sama dan kerja keras kami -- para relawan AT-TIK. Saya belajar memimpin AT-TIK, tetapi bukan untuk mengutak AT-TIK. Terima kasih sahabats.

“Coming together is a beginning. Keeping together is progress. Working together is success.”
------- Henry Ford

Bukan Untuk Mengutak AT-ATIK