Tampilkan postingan dengan label DPF. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label DPF. Tampilkan semua postingan

Berpuluh Tahun Belajar TIK, Untuk Apa?
![]() |
bersama Ustadz Muis, Kepsek PPM Ar-Rasyid |
Fikiran saya tak jua lepas dari tanya di atas.
Sejumput perenungan sebelum detak waktu tak lagi mengacuhkan tahun yang sarat
dengan ramalan konyol: kiamat muncul di tahun 2012. Ringkasnya, pencerminan
kembali napaktilas hidup dengan minat yang saya geluti semenjak berseragam
putih-biru. Yakni Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).
Sering saya mengulas senyum sendiri tatkala jari kenangan mengulik momen kali pertama membuat PC komputer 'hang' dengan kombinasi menekan tombol keyboard tak beraturan. Saya bahkan lupa bilah apa saja yang telah ditekan. Esoknya, ia dikebumikan sang pemilik rental ke timbangan besi bapak pemulung. Saya masih hafal betul nama rental tersebut "Citra Computer" (di Simpang Sumber, USU - Medan) dengan tarif Rp1.000,- per jamnya.
Perjalanan saya mempelajari TIK kian mengalir dari jajaan murah majalah bekas di Pajak USU. Kemudian, mencuri hafal buku-buku TIK yang dipajang di toko buku Gramedia. Hingga ke meja-meja rembug bersama sahabat blogger di kota Medan ini. Sebuah pengalaman yang menuang ilham ke dalam kendi pengetahuan. Dan kerap juga menggelikan, mengingat latar belakang pendidikan sastra yang jarang nian menyentuh pendayagunaan TIK.
Sering saya mengulas senyum sendiri tatkala jari kenangan mengulik momen kali pertama membuat PC komputer 'hang' dengan kombinasi menekan tombol keyboard tak beraturan. Saya bahkan lupa bilah apa saja yang telah ditekan. Esoknya, ia dikebumikan sang pemilik rental ke timbangan besi bapak pemulung. Saya masih hafal betul nama rental tersebut "Citra Computer" (di Simpang Sumber, USU - Medan) dengan tarif Rp1.000,- per jamnya.
Perjalanan saya mempelajari TIK kian mengalir dari jajaan murah majalah bekas di Pajak USU. Kemudian, mencuri hafal buku-buku TIK yang dipajang di toko buku Gramedia. Hingga ke meja-meja rembug bersama sahabat blogger di kota Medan ini. Sebuah pengalaman yang menuang ilham ke dalam kendi pengetahuan. Dan kerap juga menggelikan, mengingat latar belakang pendidikan sastra yang jarang nian menyentuh pendayagunaan TIK.
Menyaput Silam Menyongsong Esok di Labat, Labusel
Menitikkan air mata. Entah kali keberapa, saya dapat menyesap keharuan dalam napaktilas hidup. Saya biasa tergugah syahdu tatkala melayat, menjenguk karib ataupun kisah-kisah senada dari karya sastra. Kali ini, di luar ihwal tersebut, saya menitikkan air mata dalam keturut-sertaan sebagai relawan Trainer untuk pelatihan Internet dan Microsoft Powerpoint. Yang digelar serentak di Labuhanbatu Selatan dan Labuhanbatu.
Bukan pasir menghampar di pelataran Pondok Pesantren Modern Ar-Rasyid (Labusel) dan SMK Swasta Siti Banun (Labat), tempat pelatihan digelar. Bukan juga sambal pedas yang mendesak keluar air dari kantung mata saya. Namun, gegap semangat para guru yang menjadi peserta pelatihan bertemakan "Pemanfaatan TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) dalam Pendidikan". Mereka larut seutuhnya dalam tindak berbagi pengetahuan, lerai tawa usai permainan nan menggelitik, ataupun tertegun dengan kesimpulan satu presentasi saya menantang mereka untuk keluar dari tempurung masa silam.
Tantangan tersebut mudah saja saya ilustrasikan dari peribahasa moyang kita: Bagaikan katak dalam tempurung. Mengisahkan katak terperangkap sunyi tanpa cahya. Tiada suara selain suaranya sendiri. Tiada aroma selain bau tubuhnya sendiri. Dilema dalam hatinya: apakah tetap di dalam atau di luar? Di dalam tempurung, ia dapat belajar nyaman dengan kesesakan. Di luar, tantangan bisa jadi lebih mematikan jika ada seekor atau lebih ular siap mematuk.
Menilik peribahasa tadi, tempurung menyiratkan dua sisi zaman berseberangan. Masa silam mewarnakan kelamnya di dalam tempurung, dan di luar tempurung menyiratkan esok. Para guru dalam pelatihan tersebut seolah menapakkan sebelah langkahnya ke 'luar tempurung'. Mereka bisa kembali atau maju seturut suara hatinya.
Menyaput Silam Menyongsong Esok di Labat, Labusel

Ke Labuhanbatu, Melabuhkan Asa Bangsa
![]() |
backdrop seminar |
Bila
tak gegas mengetahui geliat perubahan di Labuhanbatu, daerah-daerah lain
mungkin terjingkat kaget jika tiga kabupaten yang lekat dengan perkebunan
kelapa sawit ini berpotensi menyandang gelar baru. Ketiganya (Labuhanbatu
Induk, Labuhanbatu Utara, dan Labuhanbatu Selatan) berpeluang menjadi teladan
pendidikan baru. Detak perubahan tersebut tampak dari antusiasme guru-guru
setempat melibatkan diri dalam gebrakan baru bagi pendidikan nasional. Dalam
satu seminar pendidikan nasional di Asrama Haji Rantauprapat (pada 13 Oktober
lalu), gebrakan tersebut diperkenalkan sebagai program TCDP (Teacher's
Competency Development Program).
Seminar
tersebut merupakan satu dari empat program utama yang terangkum dalam TCDP.
Dimana, inti dari TCDP ini merupakan upaya mengembangkan kompetensi guru-guru
di Indonesia. Mengingat pencetus dan pengembang TCDP merupakan Djalaluddin Pane
Foundation (DPF) berasal dari Sumatera Utara. Maka, sasaran perdana TCDP ialah
provinsi Sumatera Utara sendiri.
Dengan
tema "Indonesia Terdidik Berlandas TIK", seminar ini digelar sebagai
penggugah atas pola fikir lama para guru dalam menguasai TIK untuk pengajaran.
Beragam kilah telah tercetus untuk menghindari undangan pelatihan TIK. Sehingga
mencuatkan anekdot sederhana ini. Cecep: Cip, mengapa tidak turut serta dalam
program pelatihan TIK ini | Cicip: Ah, saya terlalu banyak kekurangan, bang |
Cecep: Aih, siapa bilang? Kamu hanya punya satu kekurangan | Cicip: Oh, apa
itu, bang? | Cecep: Tidak punya kelebihan.
Mengingat
pencetus dan pengembang TCDP merupakan Djalaluddin Pane Foundation (DPF)
berasal dari Sumatera Utara. Maka, sasaran perdana TCDP ialah provinsi Sumatera
Utara sendiri. Sedikit mengerling sejarahnya, DPF merupakan warisan nilai
kemanusiaan dari (alm.) Djalaluddin Pane -- mantan Bupati Labuhanbatu sebelum
dimekarkan menjadi tiga pemerintahan daerah. Program pengembangan kompetensi
bagi guru ini ialah gebrakan baru
daripada program bantuan langsung tunai bagi masyarakat. Tindak "memberi
ikan" tersebut membuai kemandirian para penerima donor langsung. Musti
"diberi (nilai) umpan" agar dapat membangun masyarakat dari
keterpurukan ekonomi. Harapan beliau inilah yang kemudian menghantar digelarnya
seminar di atas.
Guru:
Pengajar yang senang belajar
![]() |
mas Agus Sampurno | gurukreatif,wordpress.com |
Sebagai
penggugah, Sampurno menampilkan ilustrasi unik: menggambarkan seorang siswi
yang tertidur dengan kepala di atas meja belajar. Menurutnya, gambaran tersebut
merupakan hasil akhir yang kerap ditemukan dalam lingkungan belajar-mengajar
oleh para guru yang enggan belajar. Dalam konteks ini, ia menyayangkan beberapa
paradigma negatif yang menghantui fikiran para guru untuk mengadaptasikan TIK
dalam budaya belajar-mengajarnya. "Bila dibuat perbandingannya dengan budaya
belajar generasi muda terhadap TIK, adalah sebagai berikut: Guru takut salah,
senang menghitung untung ruginya menggunakan teknologi, Siswa tidak takut salah
dan mau mencoba, Siswa anggap teknologi adalah kesenangan." Keengganan
belajar ini, di sisi lain, turut mendorong budaya Internet tidak sehat bagi
pelajar.
Ke Labuhanbatu, Melabuhkan Asa Bangsa

Perkenalkan, Kartini 2.0
![]() |
(dari kiri): ibu Juliawati, ibu Marsiti dan saya |
Mereka adalah Kartini
2.0. Tidak hanya teknologi, manusia juga berkembang di arus zaman digital ini.
Mengesampingkan fisik dan busana, mereka adalah srikandi baru yang mengutamakan
tumbuhnya pemahaman dan kemampuan di bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi
(TIK). Agar bersanding dengan amanah yang mereka tempuh hingga puluhan tahun:
sebagai guru.
Saya mengenal mereka
dalam program pelatihan bertajuk Teacher Competency Development Program (TCDP)
yang didukung penuh oleh sebuah organisasi nirlaba, Djalaluddin Pane Foundation
(DPF) [http://djalaluddinpane.org].
Pelatihan ini diadakan di Pondok Pesantren Modern Ar-Rasyid, di Torgamba,
Labuhan Batu Selatan. Sebuah kabupaten yang dalam lingkup provinsi Sumatera
Utara.
Usai pelatihan, dalam
hati, saya membuat ikrar sendiri. Mencantum nama ibu Siti Marsiti dan Juliawati
dalam tulisan saya. Bila boleh, hendak saya cuatkan dalam wadah yang lebih luas
selain blog pribadi ini. Saya temukan jawabnya setelah melirik tautan lomba
blog Fastron Blogging Challenge, di akun Twitter milik sahabat saya, Nicholas
Sihotang [http://nichpakaich.net].
Lalu, mengapa kedua
srikandi penebar ilmu pengetahuan di bumi Labuhan Batu Selatan ini, saya sebut
Kartini 2.0 . Berikut rajut aksara ini mengalir.
Perkenalkan, Kartini 2.0

Mengarungi Dinamika dalam Program TCDP V & VI
"Pelatihan TIK, kali (ke-V & VI) ini benar-benar
sarat dinamika" -- Hendra Yudha
Demikian
Kepala bidang Peltasi dari Djalaluddin Pane Foundation (DPF), Hendra Yudha
menyirat pelatihan kompetensi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) V dan VI
tahun 2012 ini. Lema 'dinamika' sungguh terpatri dalam benak relawan Armada
Trainer - TIK (AT-TIK) saat memangku amanah mengembangkan kompetensi
pengetahuan guru-guru di daerah. Berbeda dengan agenda pelatihan sebelumnya,
kali ini DPF dan AT-TIK bersinergi menggelar program ini serempak di dua kota:
Rantauprapat (Labuhan Batu) dan Aek Batu (Labuhan Batu Selatan).
Bila
mengutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi daring, diketahui
bahwasanya lema 'dinamika' bermakna tenaga yang menggerakkan (khususnya
mengarah pada perubahan). Utamanya bagi AT-TIK, dinamika pelatihan kali ke - V
dan VI ini terasa mendalam. Kebijakan DPF memberi (hampir) kepercayaan penuh
terhadap AT-TIK yang masih dalam tahap belajar ialah musababnya. Penanganan
komunikasi nan pelik, menyiasati kemampuan infrastruktur bagi Pelatihan TIK,
surutnya jumlah peserta pelatihan TIK serta kebijakan beberapa institusi yang
belum mahfum gebrakan TCDP. Kesemuanya menumpuk sebagai tantangan terhadap
upaya luhur agar Pendidikan Nasional berkembang ditopang kompetensi TIK.
Mengarungi Dinamika dalam Program TCDP V & VI

Bila Saya Guru Edison?
Di sela senggang waktu, terbit sebuah tanya menggelayut dalam benak saya. Itu tertera dalam judul tulisan ini. Pertanyaan kedua menetas: Mengapa Edison? Sebab ilmuwan yang mematenkan 2,332 penemuan [http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_Edison_patents] ini bukan sosok biasa. Ia terkenal memiliki pribadi senang bekerja keras. Menegaskannya dalam sebuah petuah "Jenius itu adalah 1% bakat dan 99% peluh (kerja keras)." Tentu, awam seperti saya berpraduga Edsion memiliki jalur pendidikan yang baik dengan segudang prestasi akademik. Tetapi, prakiraan tersebut salah.
Berkebalikan dari dugaan tersebut, Edison ternyata hanya menjalani 3 bulan masa pendidikan resmi [http://www.scribd.com/doc/37862017/Thomas-Alva-Edison-The-Man-and-the-Scientist-Subramanian-A]. Polah fikir dan kebiasaan "gila" bertanya mengusik gurunya (saat itu) G.B. Engle. Sampai, Engle menilai Edison adalah seorang siswa idiot. Penilaian tersebut membuat berang ibunya, Nancy Edison. Sebelum berlalu dari kantor Engle, ia berkata: "Bukan anak saya yang bodoh. Tetapi, andalah yang tidak bisa mengajar."
Ucapan ibu Edison ini menggema di bandul fikir saya. Nancy, merupakan anti-tesis dari Engle. Ia, dengan tekun, mendidik anaknya hingga mampu belajar sendiri dengan "melahap" buku-buku Ilmiah. Sebuah catatan pertama bagi pribadi di lingkup pendidikan: Penilaian bahwa peserta didik adalah bodoh atau tidak, ditentukan atas kerja keras dalam menyalurkan pengetahuan atawa Knowledge Transfer.
Kini, raga Thomas Alva Edison telah rapuh dalam rahim bumi. Kini, Edison-Edison muda di dunia (termasuk Indonesia) membutuhkan sosok Nancy Edison untuk mengasah kemandirian mereka menjadi jenius yang merengkuh segala bidang -- dari penemuan ilmiah hingga terobosan budaya serta seni. Agar mereka mengenal prinsip 'Jenius' a la Edison yakni 1% bakat dan 99% kerja keras. Muskil rasanya bila manusia tidak memiliki 1% bakat. :)
Sebelum ngiang pertanyaan di judul ini mengembun, teringat saya akan sebuah kalimat bijaknya William Arthur Ward:
Berkebalikan dari dugaan tersebut, Edison ternyata hanya menjalani 3 bulan masa pendidikan resmi [http://www.scribd.com/doc/37862017/Thomas-Alva-Edison-The-Man-and-the-Scientist-Subramanian-A]. Polah fikir dan kebiasaan "gila" bertanya mengusik gurunya (saat itu) G.B. Engle. Sampai, Engle menilai Edison adalah seorang siswa idiot. Penilaian tersebut membuat berang ibunya, Nancy Edison. Sebelum berlalu dari kantor Engle, ia berkata: "Bukan anak saya yang bodoh. Tetapi, andalah yang tidak bisa mengajar."
Ucapan ibu Edison ini menggema di bandul fikir saya. Nancy, merupakan anti-tesis dari Engle. Ia, dengan tekun, mendidik anaknya hingga mampu belajar sendiri dengan "melahap" buku-buku Ilmiah. Sebuah catatan pertama bagi pribadi di lingkup pendidikan: Penilaian bahwa peserta didik adalah bodoh atau tidak, ditentukan atas kerja keras dalam menyalurkan pengetahuan atawa Knowledge Transfer.
Kini, raga Thomas Alva Edison telah rapuh dalam rahim bumi. Kini, Edison-Edison muda di dunia (termasuk Indonesia) membutuhkan sosok Nancy Edison untuk mengasah kemandirian mereka menjadi jenius yang merengkuh segala bidang -- dari penemuan ilmiah hingga terobosan budaya serta seni. Agar mereka mengenal prinsip 'Jenius' a la Edison yakni 1% bakat dan 99% kerja keras. Muskil rasanya bila manusia tidak memiliki 1% bakat. :)
Sebelum ngiang pertanyaan di judul ini mengembun, teringat saya akan sebuah kalimat bijaknya William Arthur Ward:
"Guru biasa memberitahukan, Guru baik menjelaskan, Guru ulung memeragakan, Guru hebat mengilhami"
NB: Topik dan file presentasi "Bila Saya Guru Edison" ini hendak saya bawakan dalam sesi presentasi di Labuhan Batu Selatan, pada tanggal 12 Juli ini. Sebagai pengisi kegiatan Pelatihan TIK bertema: Teacher Competency Development Program yang didukung oleh Djalaluddin Pane Foundation (DPF).
Bila Saya Guru Edison?
Bukan Untuk Mengutak AT-ATIK
Pembentukan AT-TIK di kantor DPF |
Tulisan ini lebih
menjurus pribadi. Sore ini, sekira pukul 16.00 wib, para sahabat relawan yang
tergabung dalam organisasi Armada Trainer - Teknologi Informasi &
Komunikasi (AT-TIK) menentukan pengurus hariannya. Hasil pungut suara
menetapkan saya sebagai Ketua, Adhy Kurnia Putra Fasril sebagai Sekretaris, dan
Siti Nurhasannah sebagai Bendahara.
Terpilih sebagai
ketua tak serta merta membuat saya senang. Saya mahfum tanggung jawab dan nama
baik organisasi kini dipikulkan pada kami. Utamanya, dalam mempertahankan nilai
profesionalitas terhadap Djalaluddin Pane Foundation (http://djalaluddinpane.org)
-- yang dapat dikatakan ibu dari AT-TIK. Dipercaya oleh sahabat relawan AT-TIK
melahirkan keharuan. Ini lah kali pertama saya duduk di posisi yang akan
menetapkan keputusan sebuah organisasi.
Sejak meneladani
semangat berbagi liwat blog, saya mendapat pencerahan dengan metode pelatihan
DPF bagi guru-guru. Pendekatan ini amat menarik. Tidak hanya menyalurkan faedah TIK untuk kegiatan belajar-mengajar,
saya pun mendapat cakrawala pengetahuan baru. Satu diantaranya: kepercayaan
diri membimbing orang dewasa. Sebuah napaktilas baru dalam kehidupan saya yang
dulunya pendiam atawa pasif.
Pun, peningkatan
kompetensi guru sangat mendukung kemajuan bangsa. Saya meyakini petuah bijak
"Tanpa Satu, Mustahil Ada Seribu". Sementara peserta guru dalam
pelatihan yang digelar di wilayah konsentrasi DPF (Labuhan Batu, Labuhan Batu
Selatan) ternyata lebih dari satu. Dari satu peserta inipun sangat mungkin
melahirkan generasi pemimpin bangsa. Oleh karenanya, DPF melahirkan AT-TIK agar
dapat melebarkan sayapnya. Tidak hanya di Labuhan Batu & Labuhan Batu
Selatan saja, namun seluruh Sumatera Utara.
Apakah impian ini
dapat tercapai? Saya tak jawab dalam tulisan ini, tapi melalui kerja sama dan
kerja keras kami -- para relawan AT-TIK. Saya belajar memimpin AT-TIK, tetapi
bukan untuk mengutak AT-TIK. Terima kasih sahabats.
“Coming together is a beginning. Keeping together is progress. Working
together is success.”
------- Henry Ford
Bukan Untuk Mengutak AT-ATIK
Langganan:
Postingan (Atom)