[Latest News][7]

#RumBerdikari
2011
2012
2013
agama
agus sampurno
akronim
alkitab
ananta
ananta bangun
anantabangun.net
antar golong
anti streisand
AT-TIK
bahagia
bahasa indonesia
bangun
barbra streisand
becak
behasa inggris
belajar
Bertom Turnip
berton turnip
blindekuh
blog
blogger sumut
bramma sapta aji
budaya
buku
ceritera
chatting
columbus
dale carnegie
darmadi darmawangsa
diskominfo
djalaluddin pane foundation
download
DPF
e-mail
Einstein
enchanment
endorfin
etika
facebook
farid hardja
fastron blogging challenge
geman
gereja
gerhana bulan
google
googlism
guru
guy kawasaki
haisen
hari ibu
harry van yogya
helda
hikari
ibu
ice break.
ice breaking
ilmu
inspirasi
internet
ira lathief
jenuh
jepang
john holt
kaizen
keepvid
kiat menulis
komitmen
konsentrasi
koran
kristen
labuhanbatu
labusel
langkah
langkah-langkah
m nuh
m-plik
marketing
medan
media
membaca
menteri pendidikan
menulis
meutya hafid
motivasi
mplik
napaktilas
narkoba
ndikkar
ndorokakung
ngoge
normal is boring
opini
orde baru
orde lama
otak
panduan
paroki santa maria
pelatihan
pelatihan TIK
pemasaran
pemekaran
pendidikan
pengetahuan
peramban
pisa
pmi
pmr
politik
powerpoint
presentasi
prokrestus
qaris tajudin
radio
rantauprapat
ras
reformasi
relawan AT-TIK
religi
resensi
resolusi
restoran
sara
schooling
sederhana
sejarah
sekolah
selamat hari guyu
seminar
sharing
sheque
silat
sinar timur
SMK Kesehatan Wirahusada Medan
social media
starnews fm
strategi olah kelompok belajar
streisand
stroke
suku
sumatera utara
sumut
swiss
tcdp
teknologi
tema
the marketeers
thomas friedman
tiang bendera
TIK
tips
ToT
Tuhan
ujian nasional
UN
unduh
unschooling
usia
velangkani
veronica colondam
video
vinsensius
waktu
wanita
wikipedia
wirahusada
youtube
zurich

Ad Section

Tampilkan postingan dengan label belajar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label belajar. Tampilkan semua postingan

Lebih sulit mana: Belajar Berjalan atau Statistika?


Jenius Fisika, Albert Einstein menuturkan kiatnya dalam mengajar: "Saya tidak pernah mengajar. Saya hanya menciptakan kondisi bagi mereka (mahasiswa) untuk belajar."

Belajar jadi beban bila konsep pemikiran masih berkutat pada guru, buku, ruang kelas, papan tulis, dan pernik-pernik belajar a la sekolahan.

Konsep belajar memberi batasan. Di luar ruang kelas, tindak belajar pun menguap. Berganti dengan cengkerama, bermain, atau seling kegiatan yang menyenangkan. Beberapa insan beranggapan telah selesai belajara setelah menggondol gelar kesarjanaan. Dengan demikian belajar pun bersifat kronologis. Yang berurut dari Taman Kanak-kanak dan berhenti pada terminal Universitas atau Perguruan Tinggi.

Saya terkagum membaca ulasan sebuah artikel Kesehatan. Beberapa menit setelah terlahir, bayi belajar mengenali bau tubuh ibunya. Sehingga wajar jika ia mengendus bau tubuh asing akan memberi reaksi paling alamiah: menangis.

Sebuah tulisan lain bersifat motivasi juga menyadarkan saya. Betapa besar tekad dan naluri saya belajar berjalan semasa bayi dahulu. Saya kerap dapati bayi dari kerabat dan sahabat tiada letih merangkak, berdiri, berjalan, terjatuh, merangkak. Berulang-ulang.

Sebagaimana dituturkan oleh Einstein. Belajar semestinya tak berbatas. Tidak harus dijejali pernik kaku tersebut sebelumnya. Ia merupakan suatu kondisi yang menggugah dan kadangkala memaksa kita untuk belajar. Memberi pemahaman dan pengenalan akan sesuatu yang baru. Boleh juga yang bersifat menggali lebih mendalam dan mengarah pada penemuan baru. Karenanya belajar memberi perubahan sebagai dampak baru bagi insan bersangkutan. Sebagaimana pernah disebut Trainer Pendidikan, Berton Turnip bahwa "belajar adalah berubah."

Bila telah memahami konteks belajar yang melibatkan pengalaman hidup. Maka, kita dapat menjawab pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini. Apakah belajar berjalan lebih sulit daripada belajar Statistika? Sila cantum jawaban di kolom komentar.

Lebih sulit mana: Belajar Berjalan atau Statistika?

"StrOKe" untuk Belajar nan Menyenangkan

bersama bapak Sofyan Lubis, guru di PPM Ar-Rasyid
"Dulu saya TBC, sekarang saya jadi Flu." Petikan kalimat ini, beberapa kali saya lontar dalam sesi pelatihan atau belajar di kelas. Reaksi umum dari peserta pelatihan atau siswa ialah mengernyitkan dahi. Mungkin, mereka menduga saya benar-benar sakit hingga galau di saat jarum jam menunjukkan saatnya makan siang. "Iya. Saya sebelumnya Tidak Bisa Computer. Nah, sekarang (setelah tahu komputer) malah Facebookan meLulu." Senandung tawa pun berderai.

Saya suka nakal meminjam atau mengutak-atik kata-kata baku menjadi akronim berisi kepanjangan yang menggelitik. Misalkan saja, penggunaan frasa akronim 'Asam Urat' yang dapat dipanjangkan menjadi Asal Sampai kantor/ sekolah Uring-uringan atau Titip absen. Bagi saya, ini merupakan satu strategi untuk menjadikan kegiatan belajar nan menyenangkan. Nah, agar tetap berciri khas akronim menggelitik kita sebut saja -- maaf, ini tidak bermaksud menyindir -- StrOKe atawa Strategi Olah Kelompok bElajar. :)

Kiat StrOKe lebih ajeg disebutkan seiring menyusutnya tingkat konsentrasi dalam pelatihan/ belajar di kelas. Boleh juga kita terapkan guna mencairkan suasana kaku (ice breaking) karena perasaan risih saat memulai perkenalan dalam suasana belajar-mengajar. Kiat ini menjadi pilihan tatkala upaya ice breaking di luar ruangan terkendala. Katakanlah, cuaca sedang hujan. Atau, bila saja, beberapa peserta terhalang secara fisik seperti: mengandung atau sedang cedera organ tubuh.

Dalam satu pelatihan Training of Trainers (ToT): Fasilitasi dan Komunikasi, trainer Sri Handayani memaparkan, tingkat konsentrasi manusia dalam proses belajar pasif (tidak bergerak) cenderung menurun. Ia membuat ilustrasi dalam grafik kurva dengan sumbu X dan Y. Ice Breaking pun menjadi alat untuk 'memompa' kembali semangat para peserta pelatihan/ siswa. Tetapi, grafik konsentrasi tidak akan dapat menyamai pada saat sesi awal pembelajaran.

"StrOKe" untuk Belajar nan Menyenangkan

Belajar Takut Pada 'Sebutir Pasir'

Sir Edmund Hillary & Tenzing Norgay
Pernah mendengar nama Sir Edmund Hillary? Jika tidak ingin dipelototin kelompok pendaki gunung, jangan coba acung tangan. Beliau adalah legenda yang harum namanya usai dinobatkan sebagai manusia pertama yang mencapai puncak gunung Everest. Seusai penaklukan gunung tertinggi di dunia itu, ia pun melontarkan sebuah petuah yang menyentuh sanubari belajar.

Dalam satu wawancara, Hillary mengungkapkan tiada khawatir akan binatang buas, bongkah es raksasa, jurang yang curam, padang gersang nan luas. Tetapi sebutir pasir. Iya, sebutir pasir merupakan momok mengerikan bagi seorang Sir Edmund Hillary. Berikut penjelasannya:

"Sebutir pasir yang masuk di sela - sela jari kaki sering sekali menjadi awal malapetaka. Ia bisa masuk ke kulit kaki atau menyelusup lewat kuku. Lama - lama jari kaki terkena infeksi, lalu membusuk. Tanpa sadar, kaki pun tak bisa digerakkan. Itulah malapetaka bagi seorang penjelajah sebab dia harus ditandu."

Menurut Hillary, harimau, buaya, dan beruang, meski buas, adalah binatang yang secara naluriah takut menghadapi manusia. Dan juga seorang penjelajah sudah punya persiapan memadai menghadapi jurang yang dalam dan ganasnya padang pasir. Tetapi, jika menghadapi sebutir pasir yang akan masuk ke jari kaki, seorang penjelajah tak mempersiapkannya. Dia cenderung mengabaikannya.

Sebutir pasir, bila ditilik secara ukurannya, tentu tidak sebanding dengan tantangan besar laiknya hewan buas atau keganasan alam lain. Namun, Hillary menandaskan pentingnya perhatian hingga bagian yang terinci. Ihwal kecil yang dipandang sepele, di kemudian hari dapat menjadi musibah. Belajar takut pada 'sebutir pasir' a la Edmund Hillary adalah kompas abadi yang menuntun pada kebijaksanaan menakluk tantangan hidup. Seolah menggenapi satu wahyu: Bila engkau bijak pada perkara kecil, maka demikianlah kebijakanmu berlaku pada perkara yang besar.

Selamat belajar!

* Ilham dan gambar tulisan ini dikutip dari http://belantaraindonesia.org

Belajar Takut Pada 'Sebutir Pasir'