
Lebih sulit mana: Belajar Berjalan atau Statistika?
Jenius Fisika, Albert Einstein menuturkan kiatnya dalam mengajar: "Saya tidak pernah mengajar. Saya hanya menciptakan kondisi bagi mereka (mahasiswa) untuk belajar."
Belajar jadi beban bila konsep pemikiran masih berkutat pada guru, buku, ruang kelas, papan tulis, dan pernik-pernik belajar a la sekolahan.
Konsep belajar memberi batasan. Di luar ruang kelas, tindak belajar pun menguap. Berganti dengan cengkerama, bermain, atau seling kegiatan yang menyenangkan. Beberapa insan beranggapan telah selesai belajara setelah menggondol gelar kesarjanaan. Dengan demikian belajar pun bersifat kronologis. Yang berurut dari Taman Kanak-kanak dan berhenti pada terminal Universitas atau Perguruan Tinggi.
Saya terkagum membaca ulasan sebuah artikel Kesehatan. Beberapa menit setelah terlahir, bayi belajar mengenali bau tubuh ibunya. Sehingga wajar jika ia mengendus bau tubuh asing akan memberi reaksi paling alamiah: menangis.
Sebuah tulisan lain bersifat motivasi juga menyadarkan saya. Betapa besar tekad dan naluri saya belajar berjalan semasa bayi dahulu. Saya kerap dapati bayi dari kerabat dan sahabat tiada letih merangkak, berdiri, berjalan, terjatuh, merangkak. Berulang-ulang.
Sebagaimana dituturkan oleh Einstein. Belajar semestinya tak berbatas. Tidak harus dijejali pernik kaku tersebut sebelumnya. Ia merupakan suatu kondisi yang menggugah dan kadangkala memaksa kita untuk belajar. Memberi pemahaman dan pengenalan akan sesuatu yang baru. Boleh juga yang bersifat menggali lebih mendalam dan mengarah pada penemuan baru. Karenanya belajar memberi perubahan sebagai dampak baru bagi insan bersangkutan. Sebagaimana pernah disebut Trainer Pendidikan, Berton Turnip bahwa "belajar adalah berubah."
Bila telah memahami konteks belajar yang melibatkan pengalaman hidup. Maka, kita dapat menjawab pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini. Apakah belajar berjalan lebih sulit daripada belajar Statistika? Sila cantum jawaban di kolom komentar.
"StrOKe" untuk Belajar nan Menyenangkan
bersama bapak Sofyan Lubis, guru di PPM Ar-Rasyid |
"StrOKe" untuk Belajar nan Menyenangkan

Belajar Takut Pada 'Sebutir Pasir'
![]() |
Sir Edmund Hillary & Tenzing Norgay |
"Sebutir pasir yang masuk di sela - sela jari kaki sering sekali menjadi awal malapetaka. Ia bisa masuk ke kulit kaki atau menyelusup lewat kuku. Lama - lama jari kaki terkena infeksi, lalu membusuk. Tanpa sadar, kaki pun tak bisa digerakkan. Itulah malapetaka bagi seorang penjelajah sebab dia harus ditandu."