Melihat Wanita di Mata Meutya
Penggal nama di atas selengkapnya tertera Meutya Viada Hafid. Sebagaimana
orang Indonesia umumnya, saya mengetahui nama tersebut menyusul peristiwa
penyanderaannya oleh faksi Mujahidin Irak. Satu pengalaman unik yang
mengingatkan pada petuah mantan Perdana Menteri Inggris, Winston Churchill:
"Saya baru merasakan hidup saat peluru berdesing di atas kepala
saya." Benar bahwasanya kisah penyanderaan Meutya dan rekannya,
Budiyanto, dapat diulik dalam memoar
'168 Jam Dalam Sandera'. Namun, hikmah dan jalannya pengalaman tersebut lebih
terserap dengan berbincang langsung ke tokoh utamanya.
Kesempatan tersebut datang usai saya turut serta dalam pelatihan penulisan
dan penerjemahan berita di Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara -
Jakarta, pada September 2009. Saya langsung tanya saja: Bagaimana karakternya
bisa terpolah hingga berani mengarung Irak yang belum stabil keamanannya?
Utamanya melihat kodrat dirinya sebagai seorang wanita.
Dengan tenang, beliau menuturkan bahwa sosok orangtuanya mengilhami sebagian
besar karakter juang tersebut. Ia telah belajar mandiri sejak mengambil
pendidikan menengah atas di Crescent Girls School Singapore, Singapura. Tatkala
melanjut ke University of New South Wales, Meutya juga belajar mencari nafkah
di negeri Kangguru tersebut. Musababnya, krisis moneter berimbas pada pemutusan
hak beasiswa. Ia lalu mengambil kerja partuh waktu di dua tempat: restoran
cepat saji dan pabrik pengepakan majalah. Setelah melayani tamu-tamu di
restoran, ia lalu bekerja menempelkan lembaran tambahan atau hadiah ke halaman
tengah majalah. “Selama 10 jam dipotong istirahat makan siang 30 menit,
tanganku terus-menerus bergerak naik-turun menyerupai mesin, menempelkan
hadiah. Jika kelamaan, badanku sering limbung karena pusing terus-menerus melihat
ribuan majalah yang tak berhenti berputar," tutur Meutya sebagaimana juga
diucapkan dalam buku memoarnya sendiri.
Dia mengakui dukungan materiil dan doa dari keluargan juga memotivasinya
untuk selalu tegar dalam tekanan dan cobaan. Saya memang temukan hal tersebut
dicantum dalam memoar '168 Jam Dalam Sandera'. Kekuatan rohani jua yang
membuatnya dapat melunakkan penyandera dari Mujahidin Irak. Hingga akhirnya, ia
bebas dan tiba di Indonesia.
Pengakuan lain yang cukup membuat alis terangkat ialah karirnya sebagai
jurnalis ternyata diawali sifat iseng. Meski demikian, prestasi yang ditorehnya
hampir menyaput kesan iseng tersebut. Diantaranya ialah penghargaan sebagai
satu dari lima Tokoh Pers Inspiratif Indonesia versi Mizan, pada 9
Februari 2012. Tentu saja, pengalaman disandera di gurun Ramadi yang menjadi
nilai lebih Meutya. Hal ini dipertegas sendiri oleh Mizan dalam pernyataannya,
"Dan, yang tak kalah pentingnya, Meutya juga menyadarkan pada kita bahwa
wartawan bukan hanya profesi kaum pria.”
Pernyataan
yang juga dibuktikan Meutya di ranah politik saat dipercaya menjabat Anggota
DPR-RI. Pernyataan yang tetap dibuktikannya saat mewakili provinsi Sumatera
Utara. Bahwa sosok wanita di era kemajuan teknologi ini tak lagi dipandang dari
kodrat jenis kelamin, namun lebih pada kegigihan mengemban amanah.
* Karya tulis ini diterbitkan untuk turut serta dalam lomba menulis blog dengan tema "Woman in Digital Era" yang diselenggarakan oleh Fastron melalui laman resminya http://fastronbloggingchallenge.com/
Mantap, ada saingan nih untuk ngedapetin MacMini... hehehe...
BalasHapusAh. Tulisan ini sebagai pelepas rindu keberaksaraan yang telah lama terpendam karena ragam kegiatan belakangan ini, pal. Mohon masukan dan kritik dari kam, pal. Hiehehehe.
BalasHapusTerimakasih banyak atas tulisannya, Ananta. Jadi obat penyemangat di kala letih :)
BalasHapusSaya juga hatur terima kasih atas kesediaan mbak Mut untuk menjadi tokoh penggugah para wanita Indonesia. Salam hangat buat seluruh sahabat di Meutya Hafid Foundation, mbak. :)
BalasHapus